Al-Zamakhsyari dan magnum opusnya, Al-Kasysyāf dikatakan telah menjadi pemenang dalam kontestasi karya tafsir paling berpengaruh di abad pertengahan. Ada sekitar 40 karya tafsir baik dari Sunni maupun Syi’ah yang melanjutkan narasi eksegesis al-Zamakhsyari (Husayn ‘Alamy Mehr, An Introduction to The History of Tafsir and Commentators of the Qur’an, h. 238). Dalam bahasa Walid A. Saleh, hermeneutics won over sectarian divisions (Periodization in the Sunni Qur’an Commentary Tradition, h. 59).
Lebih lanjut, Saleh (h. 59) mengelaborasi dalam analisisnya bahwa Al-Kasysyāf tidak hanya menandai periode retorik yang begitu gemilang dalam sejarah studi tafsir, namun juga berhasil mentransformasi tren penafsiran sebelumnya yang dikatakan begitu dominan pada tradisi. Analisis Saleh menantang untuk dibuktikan, dan tulisan ini akan mencoba melihatnya dengan melanjutkan kajian terhadap Q.S. al-Baqarah (2): 183 yang membahas perihal puasa Ramadhan.
Siapa Kaum Terdahulu?
Tampil berbeda dengan dua mufassir sebelumnya yang telah dikaji, Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) dan Abu Ishaq al-Tsa’labi (w. 427 H), al-Zamakhsyari (w. 538 H) memulai penafsirannya terhadap Q.S. al-Baqarah: 183 tanpa menyinggung pembahasan terhadap dua redaksi awal ayat, ya ayyuhā alladzīna āmanū maupun al-shiyām. Ia langsung memulai penafsirannya pada segmen ayat, ka mā kutiba ‘alā alladzīna min qablikum.
Jārullah menginterpretasi bahwa kewajiban puasa ialah kewajiban yang telah berlaku bagi para Nabi dan umat sejak masa Adam as. hingga masa saat ini (min ladun ādam ilā ‘ahdikum). Dengan mengutip riwayat yang berasal dari Ali ibn Abi Thalib ra. yang mengatakan bahwa puasa sudah berlaku sejak Adam as. (awwaluhum ādam), al-Zamakhsyari menghadirkan narasi bahwa puasa merupakan ibadah tua nan orisinil (‘ibādah qadīmah ashliyah) yang status wajibnya telah ditetapkan oleh Tuhan sejak masa lampau hingga masa umat Nabi Muhammad saw., sehingga ritual liturgis ini bukanlah ritual yang hanya dimiliki oleh umat Islam era Nabi Muhammad saw. semata.
Pada pembahasan siapa yang dimaksud kaum terdahulu, al-Zamakhsyari hanya membawa narasi riwayat yang menyatakan bahwa alladzīna min qablikum merupakan ahl al-injīl. Kemudian, pada tradisi selanjutnya yang didokumentasikan oleh al-Zamakhsyari, informasi yang didapat sama halnya dengan tradisi yang dinukil oleh dua mufassir pendahulunya. Dari perihal bulan yang diwajibkan berpuasa (baik bagi Nashrani maupun Muslim saat ini), lalu kronologi penambahan jumlah bilangan hari puasa oleh umat Nashrani, serta ketentuan pelaksanaan puasa yang dimulai dari setelah shalat Isya’ ataupun setelah tidur malam—sebagaimana yang dialami umat Islam di periode awal turunnya syariat puasa.
Meskipun memiliki kesamaan informasi yang disampaikan, namun ada satu hal yang menjadi pembeda antara al-Kasysyāf dengan dua kitab sebelumnya. Hal ini berkaitan erat dengan metode periwayatan tradisi yang menjadi materi penafsiran. Al-Zamakhsyari sama sekali tidak menuliskan sumber atau rantai sanad dari tradisi-tradisi yang didokumentasikannya. Ia hanya menuliskan qīla (dikatakan/ katanya), berbeda dengan para pendahulunya yang mencantumkan sumber tradisi dan melengkapinya dengan rantai transmisinya.
La’allakum Tattaqūn
Pasca mengeksposisi historisitas kewajiban ibadah puasa, al-Zamakhsyari beranjak pada redaksi la’allakum tattaqūn. Dalam menafsirkan ayat ini, ia membawa beberapa narasi eksegesis. Pertama, ia mengaitkannya dengan uraian historisitas kewajiban puasa sebelumnya dan menjelaskan bahwa makna la’allakum tattaqūn ialah menjaga keberlangsungan ritual puasa serta mengagungkannya sebab orisinalitasnya serta antiknya ibadah ini (al-muẖāfazhah ‘alaihā wa ta’zhīmiha li ashālatihā wa qidamihā).
Kedua, al-Zamakhsyari memaknai redaksi tersebut dengan menambahkan kata al-ma’āshī (la’allakum tattaqūn al-ma’āshī/ supaya kalian menjaga diri kalian dari maksiat). Al-Zamakhsyari menambahkan rasionalisasi di balik pemaknaan ini. Ia menjelaskan bahwa puasa menjauhkan/ mencegah serta menghindarkan/ menghalangi diri orang yang berpuasa dari terjerumus dalam keburukan (li anna al-shāim azhlafa li nafsih wa arda’a lahā min mawāqi’ah al-sū’). Ia menyisipkan hadis Nabi Saw. sebagai pijakan argumennya: fa ‘alaih bi al-shaum, fa inna al-shaum lahu wijā’ (maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa baginya merupakan penghalang—dari kemaksiatan).
Ketiga, al-Zamakhsyari menulis la’allakum tantazhimūn fī zumrah al-muttaqīn, li anna al-shaum syi’ārahum (semoga kalian termasuk dalam golongan muttaqīn, karena puasa merupakan atribut yang melekat pada mereka). Pada tiga interpretasi yang dihadirkan oleh al-Zamakhsyari, tidak ada satu pun yang mewarisi narasi eksegesis yang dibawa baik oleh Ibn Jarir maupun al-Tsa’labi. Keduanya membawa penafsiran yang sama terhadap redaksi la’allakum tattaqūn yang mengaitkannya dengan ketentuan yuridis ibadah puasa itu sendiri yaitu menjaga diri dari makan, minum dan berhubungan seks.
Tren yang dibawa oleh al-Zamakhsyari tidak hanya memperlihatkan eksplorasi pemaknaan yang berbeda. Ia juga telah memberikan perhatian yang intens terhadap salah satu redaksi ayat yang sebelumnya tidak mendapatkan ruang yang memadai dalam narasi eksegesis dua mufassir pendahulunya. al-Zamakhsyari bahkan juga membawa satu tradisi “baru” yang menjadi bagian dari materi interpretasinya. Pada konteks ini, saya sendiri penasaran apakah tren yang dibawa al-Zamakhsyari akan berlanjut pada generasi mufassir setelahnya ataukah tren Ibn Jarir dan al-Tsa’labi yang kembali muncul?
Catatan Trajektori
Di ruang ini, saya akan menuliskan beberapa hal yang sudah tercatat selama membaca tiga tafsir yang berasal dari tiga masa yang berbeda ini, 4; 5; 6 Hijriah, dan saya sebut sebagai catatan trajektori. Setidaknya, ada tiga poin yang bisa dibagikan setelah melihat dinamika narasi serta materi eksegesis dalam tiga karya monumental tersebut, khususnya jika ditinjau dari karya yang paling akhir.
Pertama, terhentinya analisis linguistik term al-shiyām atau al-shaum. Bagian ini sebenarnya cukup mengherankan bagi saya. Sebagai sebuah karya tafsir yang dikatakan memiliki concern dalam kajian bahasa, al-Kasysyāf justru tidak mewarisi materi penafsiran yang begitu kental akan analisis linguistik seperti pembahasan makna al-shiyām atau al-shaum. Al-Zamakhsyari bahkan meninggalkannya satu paket dengan lafaz yā ayyuhā alladzīna āmanū. Temuan ini tentu membuat saya bertanya-tanya dan mempertanyakan relevansi analisis Saleh di awal.
Kedua, perihal “kaum terdahulu” merupakan ruang diskusi yang mempersyaratkan adanya tradisi. Redaksi alladzīna min qablikum menjadi satu-satunya diskusi yang masih mendapatkan perhatian yang intens oleh para mufasir. Masing-masing mufasir membawa tradisi yang mereka wariskan sebagai materi interpretasi. Namun, memang ada yang berubah jika merujuk pada al-Kasysyāf. Di satu sisi narasi-narasi historis itu tetap eksis dan memuat informasi yang sama halnya dengan informasi historis yang didokumentasikan para pendahulunya. Di sisi lain, pencantuman sumber atau rantai transmisi terlihat sudah tidak lagi menjadi prioritas.
Ketiga, redakasi la’allakum tattaqūn yang dahulu ditinggalkan dan kini mendapatkan ruang interpretasi yang memadai. Jika merujuk pada penafsiran Ibn Jarir dan al-Tsa’labi, redaksi ini dimaknai secara terbatas pada koridor yurisprudensi Islam atau fiqh yang memang sangat berkaitan dengan konteks pemahaman ayat secara holistik. Sedangkan, pada penafsiran al-Zamakhsyari, redaksi ini mendapatkan elaborasi yang lebih ekstensif.
Mulai dari pengaitannya terhadap historisitas kewajiban puasa, lalu memaknainya sebagai media untuk menghindarkan manusia dari setiap hal yang masuk dalam kategori maksiat serta menjadikan puasa sebagai bagian dain atribut yang harus dimiliki oleh golongan yang disebut muttaqīn. Meskipun bagian ini seakan membuktikan analisis Saleh mengenai dominannya analisis retoris, namun ada pertanyaan kritis yang muncul dari poin ini: apakah ketiadaan narasi pada dua tafsir sebelumnya disebabkan oleh absennya tradisi? Tapi jika iya, mengapa mereka begitu intens untuk mengurai term al-shiyām atau al-shaum dalam kacamata analisis kebahasaan?
Ketiga poin dari catatan trajektori ini memperlihatkan bagaimana dinamisnya narasi eksegesis atau penafsiran al-Qur’an. Dinamika yang terjadi juga memperlihatkan bahwa ada materi penafsiran yang terus diwariskan secara utuh dari generasi ke generasi dan ada juga yang tetap diwariskan dengan modifikasi, serta ada juga materi baru yang muncul dan berbeda dari sebelumnya. Lantas, apa lagi yang membuat para pengkaji tafsir enggan untuk membuka kembali lembar-lembar tafsir klasik dan menjadikannya sebagai sebuah kajian yang serius?