Muhammadiyah memiliki sejarah panjang yang membuat para peneliti tertarik menjadikannya objek kajian. Beberapa penelitian tersebut diantaranya: Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over the Banyan Tree: a Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town. (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1983); Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Bandung: Pustaka Jaya, 1985); Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1989); Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996); Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung, Mizan, 1998); Herman L. Beck, “The Rupture between Muhammadiyah and Ahmadiyah”, BKI (2005); James L. Peacock, Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam (Menlo Park, California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, 1978).
Muhammadiyah mengalami perubahan dinamika di internalnya. Pada periode awal- era kultural, Muhammadiyah begitu terbuka, bekerjasama dengan hampir semua kekuatan sosial baik lokal maupun nasional. Pada periode ini, Abdul Munir Mulkhan menyebut Muhammadiyah memiliki sikap toleran, terbuka serta apresiatif terhadap budaya Jawa dan budaya asing lainnya.
Najib Burhani menambahkan, bahwa Muhammadiyah periode awal tidak memiliki doktrin yang ketat atau memaksakan sistematisasi teologis kepada para anggotanya. Pada periode ini Muhammadiyah lebih memperhatikan kesejahteraan sosial dan kegiatan pendidikan ketimbang keyakinan dan perilaku beragama seperti masalah-masalah akidah dan syariah.
Pendirian Majelis Tarjih pada 1927 dan kongres Muhammadiyah kesembilan belas di Bukittinggi pada 1930 adalah dua peristiwa yang tampaknya menjadi faktor internal yang menyebabkan pergeseran sikap Muhammadiyah, termasuk sikap terhadap identitas Jawa. Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, kemenangan Wahabi menguasai Mekah dan Madinah pada 1924, dan nasionalisme Indonesia yang ditandai Sumpah Pemuda pada 1928 merupakan tiga faktor eksternal yang secara tidak langsung mendorong perubahan sikap-sikap Muhammadiyah. (Ahmad Najib Burhani; 2010).
Formasilasi syariahistis memuncak ketika tarjih berkembang sebagai lembaga fatwa syariah, lebih menekankan pada pembersihan TBC dengan sifat doktrinal dan meluas ke segala bentuk yang di beberapa daerah berujung pada timbulnya kekerasan fisik. Zikir bersama, membuka rapat dengan al-Fatihah dan segala pujian kepada Nabi dilarang. Identitas Islam murni berubah menjadi “asal bukan seperti NU”. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi saat kongres di bulan Agustus tahun 1924 yang dibuka dengan membaca al-Fatihah. (Abdul Munir Mulkhan; 2000)
Secara sederhana, Abdul Munir Mulkhan membagi periodesasi kepemimpinan Muhammadiyah menjadi tiga periode. Periode awal yaitu pada periode Ahmad Dahlan, selanjutnya pada periode dominasi ahli syariah, dan periode ketiga dominasi pimpinan berpendidikan tinggi modern. (Abdul Munir Mulkhan; 2010)
Penulis akan mengkaji genealogi (dinamika, transformasi, dan kontinuitas dalam gerak perkembangan historis) tafsir Muhammadiyah, perbedaan corak tafsir Muhammadiyah dalam tiga periodisasi waktu serta pengaruh tokoh pemimpin terhadap perkembangan corak tafsir Muhammadiyah. Meski pada awalnya para pengkaji tafsir kurang melirik Muhammadiyah sebagai “produsen tafsir” melainkan terbatas pada kajian historis-organisatoris, peran Muhammadiyah dalam penafsiran Al-Qur’an cukup besar. Hal ini sebagaimana tesis Ahmad Najib Burhani (Ahmad Najib Burhani; 2010).
Penelitian ini menggunakan teori yang digagas oleh Michel Foucault, bahwa kebenaran dan pengetahuan memiliki hubungan yang erat dengan sistem kekuasaan serta bersifat saling mempengaruhi. Bagi Foucault, kekuasaan tidak hanya menjadi pemegang kendali terhadap bentuk dan distribusi pengetahuan, tetapi juga sebaliknya, pengetahuan menjadi instrumen kekuasaan yang esensial. Dalam konteks ini, terdapat keterkaitan antara kekuasaan dan pengetahuan, di mana keduanya saling membentuk dan memodifikasi satu sama lain. Foucault menyoroti bahwa pengetahuan bukanlah suatu entitas netral yang eksis di luar pengaruh kekuasaan, melainkan terlibat dalam konstruksi dan pengaturan kebenaran yang dapat digunakan sebagai alat kekuasaan. Begitu pula, sistem kekuasaan memiliki kemampuan untuk membentuk narasi dan konstruksi pengetahuan yang mendukung atau mempertahankan dominasinya. (Michel Foucault; 1980) Kekuasaan bukan hanya monopoli kekuatan pada kalangan dan kelas tertentu, melainkan bersifat produktif dan akan memproduksi pengetahuan (I.B. Wirawan; 2015).
Dalam konteks pengolahan data dan sumber informasi, terdapat nasihat krusial dalam disiplin studi sejarah “Jangan mengumpulkan bukti-bukti sebelum berfikir, sebab berfikir berarti menanyakan permasalahan, dan tidak ada bukti kecuali berkaitan dengan sebuah permasalahan”. (Sartono Kartodirdjo; 1992) Nasihat ini menekankan pentingnya penelitian yang terfokus dan terarah, di mana pengumpulan bukti atau data seharusnya bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sebuah langkah yang terintegrasi sebagai upaya memahami lebih mendalam terhadap fenomena atau peristiwa yang sedang diselidiki.
Berkaitan dengan sumber data yang menjadi objek penelitian, terdapat beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan dengan objek kajian penulis. Salah satu penelitian yang menyinggung tafsir Muhammadiyah misalnya Islah Gusmian dengan judul Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Era Awal Abad 20 M. (Islah Gusmian; 2015)Penelitian ini menjadikan naskah kuno sebagai objek kajian utama, di antaranya tafsir Muhammadiyah.
Selain penelitian naskah kuno, terdapat beberapa penelitian yang memang fokus terhadap tafsir Muhammadiyah abad 20. Penelitian pertama dilakukan oleh Ali Aulia Imron yang menjadi tesis di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan kini telah dikonversi menjadi sebuah jurnal. (Aly Aulia; 2014) Ali Aulia mengkaji kitab tafsir Muhammadiyah baik individu maupun kolektif, dari segi metodologi, gaya bahasa dan juga sistematika penyajian. Pada penelitiannya, Ali Aulia Imron menggunakan periodesasi Islah Gusmian sebagai acuan. Bagi penulis, periodesasi tersebut kurang tepat, karena tidak mencakup perubahan yang terjadi di Muhammadiyah, yaitu antara sesudah dan sebelum 1930. Selain itu, kajian Ali tidak mencakup seluruh tafsir Muhammadiyah, melainkan hanya beberapa saja.
Selanjutnyapenelitian yang dilakukan Siti Mariyatul Kiptiyah yang telah menjadi buku dengan judul Warisan Islam Nusantara (Siti Mariatul Kiptiyah; 2002). Penelitian ini memang mengkaji tafsir Muhammadiyah, namun fokus pembahasannya hanya Tafsir Muhammadiyah yang berbahasa dan beraksara Jawa, yaitu Quran Jawen dan Tafsir Quran Jawen Pandam lan Pandoming Dumadi. Penelitian ini akan menjadi rujukan sekunder bagi penulis dalam melakukan penelitian.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurdin Zuhdi dan telah menjadi buku dengan judul Tafsir At-Tanwir Muhammadiyah: Teks, Konteks dan Integrasi Ilmu Pengetahuan (Nurdin Zuhdi; 2021) juga tak luput dari pembacaan penulis. Penelitian ini menyinggung beberapa kitab tafsir Muhammadiyah periode awal, namun tidak begitu komprehensif. Penelitian ini lebih fokus terhadap karya tafsir terbaru milik Muhammadiyah, yaitu tafsir At-Tanwir, baik dari segi metodologi, sistematika, konten dan lain sebagainya.
Dari pelacakan yang dilakukan, penulis menemukan bahwa Muhammadiyah telah menulis beberapa kitab tafsir yang terbagi menjadi tiga periode kepemimpinan sebagaimana penelitian Abdul Munir Mulkhan. Pada periode pertama, Muhammadiyah menghasilkan dua kitab tafsir, yaitu Qur’an Jawen dan Tafsir Qur’an Jawen Pandum lan Panduming Dumadi. Tafsir Muhammadiyah periode awal baik Qur’an Jawen maupun Tafsir Qur’an Jawen Pandum lan Panduming Dumadi keduanya menggunakan bahasa Jawa dengan aksara cacarakan. Penggunaan bahasa Jawa aksara Carakan pada tafsir Muhammadiyah menunjukkan eksistensi Muhammadiyah sebagai organisasi reformis, lebih dekat dengan budaya dan tradisi Jawa yang hidup di lingkungan kraton.
Pada periode kedua, Muhammadiyah kembali menerbitkan dua kitab tafsir, yaitu Tafsir Langkah Muhammadiyah dan 17 Kelompok ayat-ayat Al-Qur’an Ajaran KHA Dahlan. Tafsir Langkah Muhammadiyah pada awalnya tidak ditujukan sebagai kitab tafsir, melainkan kumpulan pengajian rutin yang disampaikan oleh Mas Mansur. Di kemudian hari, Tafsir Langkah Muhammadiyah menjadi doktrin gerakan Muhammadiyah. 17 Kelompok ayat-ayat Al-Qur’an Ajaran KHA Dahlan tidak ditulis langsung oleh Ahmad Dahlan, melainkan hasil catatan salah satu muridnya, KRH. Hadjid.
Meski pada periode kedua Muhammadiyah didominasi ahli syariah, tafsir Muhammadiyah tidak didominasi penafsiran dengan corak fiqhi dan mencerminkan purifikasi Islam secara radikal. Tema tentang pentingnya persatuan tidak dilupakan, bersanding dengan keimanan. Selanjutnya tema-tema tentang pentingnya kehidupan sosial, kewajiban terhadap sesama masih diperhatikan dalam tafsir Muhammadiyah generasi kedua. Pembahasan yang ada pada tafsir Muhammadiyah generasi kedua masih menitik beratkan pada kepedulian sosial. Pada generasi kedua, tafsir Muhammadiyah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.
Pada periode generasi kepemimpinan berpendidikan tinggi modern, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih telah menghasilkan 2 karya tafsir, yaitu Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama dan tafsir At-Tanwir. Pada Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama, ayat-ayat yang ditafsirkan yaitu seputar hubungan sosial antar umat beragama. Tafsir ini merupakan tafsir tematik, sebagai respon atas berbagai persoalan yang tengah terjadi pada masa kemunculannya. Selanjutnya tafsir At-Tanwir yanghingga saat ini belum selesai penulisannya. Tafsir At-Tanwir ditargetkan akan selesai pada 15 tahun mendatang.
Secara genealogis, tafsir Muhammadiyah antara periode satu dengan periode lainnya seolah kitab tafsir yang berdiri sendiri, tidak ada kaitan antara satu dengan lainnya. Meski demikian, ditemukan satu kesamaan tafsir Muhammadiyah antar-periode, yaitu bersifat responsif-kontekstual, menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan persoalan yang tengah terjadi, baik persoalan sosial, keagamaan hingga kenegaraan.
Terdapat beberapa perbedaan dari tafsir Muhammadiyah antar-periode, baik dari bahasa maupun dari lembaga yang mengeluarkan. Pada periode awal, tafsir Muhammadiyah menggunakan bahasa Jawa beraksara Carakan sebagai pengantar. Pada generasi kedua hingga ketiga, Muhammadiyah menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar. Selain itu, lembaga yang mengeluarkan tafsir Muhammadiyah mengalami perbedaan dari ketiga periode tersebut. Pada periode pertama dan kedua, Muhammadiyah belum memiliki lembaga khusus dalam mengeluarkan tafsir. Pada generasi ketiga, Majelis Tarjih menjadi lembaga yang memiliki otoritas untuk menghasilkan kitab tafsir.
Dominasi pemikiran kepemimpinan tidak begitu mempengaruhi tafsir Muhammadiyah. Pada periode awal, dominasi pimpinan Muhammadiyah yang dekat dengan budaya Jawa mempengaruhi penafsirannya, namun pada periode kedua, dominasi ahli syariah tidak mempengaruhi hasil karya tafsirnya. Pada periode selanjutnya, dominasi lulusan Barat cukup berpengaruh pada penafsiran yang dilakukan, bahkan dinilai sebagai tafsir yang mengarah pada liberasi agama.