Tantangan hidup selalu ada, dan manusia akan terus dihadapkan pada berbagai masalah. Beban hidup, tekanan kerja, tuntutan kehidupan, dan budaya persaingan adalah bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan.
Jika tidak ditangani dengan baik, hal-hal ini dapat menyebabkan depresi, perasaan putus asa, kehilangan makna hidup, gangguan mental, gangguan panik, gangguan kepribadian, atau bahkan skizofrenia, yang dapat mendorong seseorang untuk memilih untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Selain itu, masalah hubungan sosial yang buruk atau rasa terisolasi, serta kehilangan orang terdekat atau yang disayangi juga dapat menjadi pemicu perilaku bunuh diri.
Dari sudut psikologis, setiap orang memiliki beberapa jenis kecerdasan, termasuk Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Intelligence Quotient (IQ) adalah istilah yang merujuk pada klasifikasi kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alfred Binet pada awal abad ke-20 (Misbach, 2008).
Kemudian, Daniel Goleman mengenalkan istilah Emotional Quotient (EQ), yang mengacu pada kumpulan keterampilan untuk mengelola dan menggunakan emosi, mengendalikan diri, dan beradaptasi dengan lingkungan. Sementara itu, Spiritual Quotient (SQ) adalah jenis kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk menghadapi masalah dan nilai-nilai, yang diperkenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall (Misbach, 2008).
Dari situasi di atas, IQ, EQ, dan SQ dirasa belum cukup. Maka, diperlukan keterampilan untuk menghadapi tantangan dan masalah kehidupan tanpa mengarah ke tindakan negatif seperti bunuh diri atau penggunaan obat terlarang sebagai tanda keputusasaan seseorang. Paul G. Stoltz memperkenalkan konsep kecerdasan baru yang disebut Adversity Quotient (AQ) sebagai tambahan dari ketiga kecerdasan tersebut.
Menurut Stoltz, individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient (AQ) yang tinggi tidak akan mudah menyerah saat dihadapkan pada kesulitan. Mereka akan tetap gigih dan bertekad untuk menghadapi berbagai rintangan dalam hidup mereka dengan cara yang efektif (Amaliya, 2018).
Stoltz menjelaskan bahwa Adversity Quotient (AQ) memiliki tiga aspek. Pertama, AQ merupakan suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan berbagai aspek kesuksesan. Kedua, AQ adalah ukuran untuk menilai bagaimana individu merespons tantangan atau kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian alat berbasis ilmiah yang digunakan untuk meningkatkan cara individu merespons ketika dihadapkan dengan kesulitan (Stoltz, 1997).
Dalam pandangan Islam, orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi adalah yang mampu bersabar, optimis, dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi setiap tantangan kehidupan. Bahkan, satu abad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli menyadari bahwa psikologi memiliki keterkaitan dengan isu-isu yang sangat mendalam dalam kehidupan batin manusia, termasuk agama (Jalaluddin, 2019).
Al-Qur’an mengindikasikan bahwa manusia akan menghadapi ujian dan cobaan seperti yang disebutkan dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah [2]: 155-157. Dalam Tafsir Al-Misbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa kehidupan dunia ditandai oleh pastinya keberadaan berbagai macam ujian dan cobaan (Shihab, 2007).
Dengan demikian, maka menjadi penting untuk mengeksplorasi rumusan Al-Qur’an tentang Adversity Quotient (AQ) sebagai bekal dalam menghadapi cobaan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Konsep AQ perspektif Al-Qur’an
Dalam teori kecerdasan adversitas, terdapat empat dimensi dalam menghadapi cobaan dan sikap yang harus ditanamkan dalam diri saat menghadapi cobaan adalah dengan bersabar, sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dalam QS. Thaha [20]: 130. Nabi Muhammad diperingatkan melalui ayat tersebut untuk mengontrol dirinya, bersabar, dan tabah dalam menghadapi segala macam omongan dan cemoohan dari orang-orang (Hadi, 2018).
Beberapa unsur yang termasuk dalam sikap sabar meliputi menahan diri, menerima dengan ikhlas, tabah, gigih, optimis, menunjukkan perilaku positif, mengandalkan Allah dalam menghadapi masalah, dan bersyukur (Amaliya, 2018).
Semua elemen tersebut memiliki relevansi dengan keempat dimensi kecerdasan adversitas yang dikemukakan oleh Stoltz. Dengan mendasarkan pada pembahasan ini, kita dapat menganalisis konsep Adversity Quotient (AQ) dalam menghadapi cobaan dari perspektif Al-Qur’an.
Pertama, Control Dimensions (Kendali)
Dimensi ini dimulai dengan keyakinan bahwa segala hal dapat dicapai atau dilakukan. Dalam dimensi ini, Stoltz mengajukan pertanyaan seputar sejauh mana seseorang merasa memiliki kendali terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan (Stoltz, 1997). Dengan kata lain, kontrol adalah suatu aktivitas pengendalian tingkah laku (Alamsyah et al., 2018). Al-Qur’an memberikan peringatan tentang sabar dan melakukan kebaikan serta mencegah kemungkaran, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Kahf [18]: 28.
“Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.”
Dalam asbābun nuzūl, ayat tersebut turun terkait dengan Umayyah bin Khalaf al-Jumhi yang mendesak Rasulullah Saw. untuk melakukan perbuatan yang tidak disukai Allah Swt., yaitu mengusir orang-orang fakir yang ada di sekitarnya untuk memberi jalan kepada para penguasa Quraisy di Mekah (As-Suyuthi, 2002).
Ketika dikaitkan dengan dimensi kendali dalam Adversity Quotient, bersikap sabar dengan mengendalikan diri adalah respons awal seseorang saat menghadapi cobaan. Oleh karena itu, Stoltz menyimpulkan bahwa memiliki kendali merupakan titik awal di mana harapan dan tindakan dapat tumbuh dan berkembang (Stoltz, 1997).
Kedua, Origin and Ownership Dimensions (Asal-usul dan Pengakuan)
Dalam dimensi ini, yang lebih penting adalah sejauh mana individu mampu mengenali konsekuensi dari kesulitan itu. Mengakui konsekuensi yang timbul dari kesulitan mencerminkan sikap tanggung jawab atau ownership (Stoltz, 1997). Dalam perspektif Islam, dimensi ini lebih menekankan sikap optimis dan tidak menyerah melalui penerimaan dan keikhlasan yang sungguh-sungguh.
Menerima diri dianggap sebagai aspek penting dari kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik aktualisasi diri dan ketenangan (Gamayanti, 2016). Menerima dan berserah diri terhadap apa yang terjadi dapat membantu menghindari perasaan serakah dan beban pikiran lainnya. Hal ini dapat memunculkan harapan positif untuk terus maju dan melihat peluang di tengah cobaan yang dihadapi (Mahmudah & Zuhriah, 2021).
Al-Qur’an memberikan peringatan agar selalu optimis dan yakin pada Allah SWT, karena Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Anfal [8]: 66.
“Sekarang (saat turunnya ayat ini) Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui sesungguhnya ada kelemahan padamu. Jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh) dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Apabila sikap ikhlas terus dipraktikkan, akan menerangi kehidupan rohani. Hal ini akan menghasilkan perasaan syukur dan cinta yang akan membawa ketenangan, kesabaran, dan kebahagiaan (Syarbini, 2013).
Penerimaan dan sikap ikhlas tidak hanya menerima asal-usul suatu kesulitan, tetapi juga mengakui penyebab dari kesulitan, baik berasal dari diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Dengan kesadaran ini, individu yang memiliki tingkat AQ tinggi tidak akan menyalahkan orang lain sambil menghindari tanggung jawab. Mereka mampu belajar dari kesalahan dan rasa tanggung jawab membuat individu cenderung kuat dalam menghadapi rintangan daripada individu dengan tingkat AQ rendah (Stoltz, 1997).
Ketiga, Reach Dimensions (Jangkauan)
Semakin tinggi tingkat AQ seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk membatasi masalah pada peristiwa yang sedang dihadapi. Di sisi lain, semakin rendah tingkat AQ individu, semakin besar kemungkinannya untuk melihat peristiwa buruk sebagai bencana yang menyebar, yang dapat menghisap kebahagiaan dan ketenangan pikiran (Stoltz, 1997).
Dalam perspektif Islam, dimensi ini dapat diwujudkan dengan memiliki sikap berjiwa besar melalui ketenangan, kesabaran, keteguhan, dan tidak terjerumus dalam kegelisahan atau kelemahan.
Dalam karyanya, M. Quraish Shihab mengutip pernyataan Mutawalli asy-Sya’rawi bahwa sikap tidak lemah, tidak lesu, dan tidak menyerah merupakan konsep yang berurutan. Kelemahan terkait dengan fisik yang dapat menyebabkan perasaan lesu dan melemahkan tekad, yang pada akhirnya dapat menyebabkan sikap penyerahan diri (Shihab, 2007).
Islam mengajarkan untuk tetap sabar dan bersikap tenang saat menghadapi kesulitan atau cobaan, sebagaimana dalam QS. Ar-Rum [30] ayat 60: “Demikianlah Allah mengunci hati orang-orang yang tidak (mau) mengetahui.” Sebab, Allah Swt. akan memenuhi janji-Nya dengan memberikan pertolongan-Nya dan menghasilkan akibat yang lebih baik bagimu, baik di dunia maupun di akhirat (Ibn Katsir, 1999).
Allah juga memberikan pengajaran untuk tetap tegar dan tidak merasa lemah atau lesu menghadapi kesulitan sebagaimana dalam QS. Ali-Imran [3] ayat 146: “Betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(-nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat, dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah mencintai orang-orang yang sabar.”
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan dimensi jangkauan pada kecerdasan adversitas, sikap tenang, tidak gelisah, tidak lemah, dan tidak berlarut-larut dapat membantu membatasi lingkup masalah terhadap peristiwa yang sedang terjadi dengan sikap berserah kepada Allah.
Keempat, Endurance Dimensions (Daya Tahan)
Dimensi ini merupakan dimensi terakhir pada Adversity Quotient. Semakin rendah daya tahan individu, semakin besar kemungkinannya bahwa individu tersebut akan menganggap kesulitan dan penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya (Stoltz, 1997). Dalam pandangan Islam, dimensi ini terkait dengan berjihad melalui sikap tabah, gigih, berperilaku positif, bergantung hanya kepada Allah SWT, dan bersyukur (Mahmudah & Zuhriah, 2021).
Sikap gigih dalam menghadapi kesulitan juga merupakan bagian dari kesabaran dalam dimensi ini. Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah benar-benar melindungi orang-orang yang berhijrah setelah mereka diuji, dan kemudian mereka berjihad dan bersabar (Amaliya, 2018) sebagaimana dalam QS. An-Nahl [16] ayat 110:
“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (adalah pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah setelah menderita cobaan. Lalu, mereka berjihad dan bersabar. Sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Berpikiran positif juga menjadi salah satu unsur sabar dalam menghadapi cobaan sebagai dimensi daya tahan seperti yang Allah firmankan dalam QS. Fushshilat [41] ayat 35: “(Sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak (pula) dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan dimensi daya tahan, Islam mengajarkan untuk selalu berjuang (berjihad) dalam menghadapi kesulitan dan cobaan.
Secara prinsip, Islam telah memberikan panduan tentang bagaimana individu dapat menghadapi cobaan. Islam menggambarkan potensi yang dimiliki setiap individu seperti yang dijelaskan dalam dimensi Adversity Quotient. Selain itu, Islam juga menguraikan langkah-langkah untuk meningkatkan AQ seseorang dan memberikan panduan tentang sikap yang harus dimiliki individu untuk mencegah serta bangkit kembali ketika dihadapkan pada cobaan.
Hemat kata, menurut Paul G. Stoltz, konsep Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang untuk mengubah rintangan menjadi peluang. Adapun dalam pandangan Islam, nilai-nilai AQ, jika dilihat dari perspektif Al-Qur’an, memiliki relevansi dengan elemen-elemen kesabaran, seperti bersikap sabar, optimis, dan tidak mudah menyerah, memiliki jiwa besar, dan berjuang melalui berbagai kesulitan.
Referensi
Alamsyah, F. H., Uzra’, G. N. F., Rahmalia, I. D., & Rusdi, A. (2018). Kontrol Diri pada Individu yang Orangtuanya Bercerai ditinjau dari Pemaafan dan Religiusitas. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 6(2), 142. https://doi.org/10.22219/jipt.v6i2.5590
Amaliya, N. K. (2018). Adversity Quotient Dalam Al-Qur’an. Al-Adabiya: Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 12(2), 227–254. https://doi.org/10.37680/adabiya.v12i2.16
As-Suyuthi, J. (2002). Asbabun Nuzul.
Gamayanti, W. (2016). Gambaran Penerimaan Diri (Self-Acceptance) pada Orang yang Mengalami Skizofrenia. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 3(1), 139–152. https://doi.org/10.15575/psy.v3i1.1100
Hadi, S. (2018). KONSEP SABAR DALAM AL-QUR’AN. https://doi.org/10.33753/madani.v1i2.25
Ibn Katsir, A. al-F. I. ibn U. (1999). Tafsir al-Quran al-Azhim (S. ibn M. As-Salamah, Ed.; Vol. 3). Daar ath-Thaybah li an-Nasyr wa at-Tawzi’.
Jalaluddin. (2019). Psikologi Agama. Raja Grafindo Persada.
Mahmudah, M., & Zuhriah, F. (2021). KONSEP ADVERSITY QUOTIENT (AQ) DALAM MENGHADAPI COBAAN (DITINJAU DARI PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN HADIS). Tarbiyah Islamiyah, 11(1).
Misbach, I. H. (2008, December). Antara IQ, EQ, dan SQ. Makalah Penelitian Nasional Guru Se-Indonesia Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indoneisa.
Shihab, M. Q. (2007). Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Vol. 1). Lentera Hati.
Stoltz, P. G. (1997). Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. John Wiley & Sons.
Syarbini, A. (2013). Kunci Rahasia Meraih Sukses Menurut Al-Qur’an. Elex Media Komputindo.