Definisi Al-Dakhīl Fī Al-Tafsīr
Secara etimologi term al-Dakhīl memiliki beberapa makna, antara lain; (a) orang yang berafiliasi kepada yang bukan komunitasnya, (b) merujuk kepada tamu, ia disebut dakhīl karena ia masuk ke rumah orang lain yang dikunjunginya, (c) bermakna kata serapan, karena ia berasal dari bahasa asing, dan (d) orang asing yang datang dengan tujuan melakukan eksploitasi. (Ibrāhīm Muṣṭafā, 1990: 275)
Menurut Ibn Manẓūr, dakhīl adalah semua unsur eksternal yang masuk ke dalam diri manusia, dan dapat merusak akal, mental, serta fisiknya. (Ibn Manẓūr, 1956: 241) Sementara menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī kata dakhīl yang tersusun dari huruf dāl, khā, dan lām maknanya berfokus pada aib dan cacat internal. (Al-Rāghib Al-Aṣfahānī, 166)
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Fairūzabādī yang mengartikan kata dakhil dengan penyakit atau zat berbahaya yang masuk ke dalam tubuh atau akal manusia. (Muḥammad Al-Fairuzabadi, 375) Dan menurut al-Zamakhsyarī dakhil merupakan suatu penyakit atau aib yang masuk ke dalam tubuh atau ke dalam makanan sehingga bisa merusaknya. (Al-Zamakhsyarī, 127)
Dari berbagai makna kebahasaan yang telah diuraikan di atas, substansi makna dari al-Dakhīl adalah sesuatu yang masuk kepada objek tertentu dan ia sifatnya merusak dan membawa aib serta dapat memengaruhi objek yang dimasukinya tersebut.
Secara terminologi menurut Jamāl Muṣṭafa al-Najjār, al-dakhīl fī al-tafsir adalah sesuatu yang erat dengan kebohongan yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw, sahabat, tabi’in atau penafsiran dengan menggunakan riwayat yang memang bersumber dari sahabat, atau tabi’in tetapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya periwayatan tersebut, atau sesuatu yang lahir dari pendapat yang tercela (menafsirkan al-Qur’an dengan pemikiran yang keliru). (Jamāl Muṣṭafa Al-Najjār, 2009: 26)
Sedangkan menurut Ibrāhim Khalifah, al-dakhīl adalah tafsir al-Qur’an yang tidak memiliki dasar yang jelas dari ajaran Islam, baik berupa tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan palsu, ataupun menggunakan akal (penalaran) yang belum mencukupi prasyarat ijtihad. (Ibrāhim Khālīfah, 1996: 15) Hal yang sama dikemukakan oleh Fāyed bahwa al-dakhīl adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber, argumentasi dan data yang valid serta ilmiah, baik dari al-Qur’an, hadis ṣaḥīḥ, pendapat sahabat dan tabi’in, maupun dari akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad. (Abd al-Wahhāb Fāyed, 13)
Membincangkan al-dakhīl fī al-tafsir, harus dibarengi dengan pembahasan mengenai al-aṣīl fi al-tafsīr. Secara etimologi al-aṣīl berasal dari bahasa Arab al-aṣl yang bermakna asal, valid, dasar, pokok, dan sumber. (Aḥmad Ibn Muḥammad Ibn ‘Alī al-Fayyūmī, 2000: 119) Dalam bahasa Arab kata al-aṣīl digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki asal usul yang kuat, seperti rajulun aṣīlun yang bermakna pemuda yang memiliki asal usul atau silsilah yang jelas dan memiliki akal yang kuat dan sehat. (Ibn Manẓūr, 1956: 16) Hal ini menunjukkan bahwa makna al-aṣīl adalah sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti, jelas, otentik, dan valid.
Secara terminologi menurut Fayed, ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, namun menurut Fayed perbedaan pendapat tersebut dapat dikerucutkan menjadi dua definisi: pertama, tafsir yang memiliki asal usul, dalil-dalil, serta argumentasi yang jelas dari agama. Kedua, tafsir yang nafas dan ruhnya bersandarkan pada al-Qur’an, sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in. (Abd al-Wahhāb Fāyed, 13)
Hal senada dikemukakan oleh Ḥusain Muḥammad Ibrāhīm bahwa al-aṣīl fi al-tafsīr adalah tafsir yang memiliki dasar dan rujukan yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan, baik sumber tersebut berasal dari al-Qur’an, hadis ṣaḥīh, pendapat para sahabat dan tabi’in yang valid, atau bersumber dari rasio sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad. (Ḥusain Muḥammad, 11)
Dari berbagai definisi yang dicantumkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan al-dakhīl fi al-tafsīr dan al-aṣīl fi al-tafsīr berporos pada dua hal yaitu; menyangkut mengenai validitas data dan sumber penafsiran yang berbasis ma’ṡūr dan menyangkut akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad atau berbasis ra’yu. Artinya, ketika kedua aspek ini dipertanyakan pada sebuah penafsiran, maka penafsiran tersebut senantiasa perlu dikaji, dikritisi, dan dievaluasi secara mendalam.
Al-Dakhīl dalam Tafsīr: Sebuah Kewajaran?
Pada bagian ini penulis akan mencoba melihat mengapa narasi-narasi yang sering disebut dengan al-dakhīl bisa masuk dalam berbagai kitab-kitab tafsir.
Walid Saleh pertama kali mendiskusikan teori mengenai tafsir sebagai tradisi (laporan sejarah yang memuat narasi tertentu dan diwariskan dari generasi ke generasi) yang genealogis, dalam artian selalu ada hubungan dialektika antara sebuah kitab tafsir dengan materi-materi penafsiran yang mendahuluinya. Jika seorang mufassir tidak setuju dengan pandangan mufassir sebelumnya, ia tidak serta merta membuang pandangan tersebut, melainkan tetap mencantumkannya dan menambah kritik setelahnya.
Walid Saleh memberi contoh mengenai fenomena isrā’īliyāt. Beberapa mufassir era pertengahan kurang berkenan dan berusaha menghindari keberadaan materi-materi isrā’īliyāt yang mereka anggap bersumber dari tradisi Yahudi. Namun demikian, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa isrā’īliyāt memiliki sanad yang membuatnya mengikuti alur kesarjanaan tradisional tak bisa dipersoalkan. Sehingga, tidak ada seorang mufassir pun yang mampu menghilangkan riwayat-riwayat isrā’īliyāt dari tafsir mereka. (Walid Saleh, 2004: 15)
Menurut Shahab Ahmed antara hadis, sirah, dan tafsir memiliki karakteritik dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Genre hadits dibentuk untuk mendefinisikan, membentuk, dan menetapkan norma-norma, hukum, praksis, dan akidah melalui dokumentasi otoritatif dari sabda dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, sehingga untuk menjadikan sabda dan perbuatan nabi otoritatif, maka memerlukan metodologi untuk menetapkan keaslian hadis tersebut untuk menjadi otoritatif diamalkan.
Sementara itu genre sirah tidak dirancang untuk hal demikian, melainkan ia dirancang untuk menarasikan kisah-kisah kehidupan, kepahlawanan, keajaiban, dan lain-lain dari pribadi Nabi Muhammad, sehingga kitab-kitab sirah akan menjaring sebanyak mungkin memori komunitas awal mengenai kehidupan Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak memerlukan metodologi ketat yang menitikberatkan pada otoritas individu seperti yang ada dalam kitab-kitab hadis.
Sementara itu munculnya narasi-narasi yang sering diklaim sebagai riwayat yang ḍa’īf bahkan mauḍu’ sebagai contoh mengenai “the satanic verses”dalam kitab-kitab tafsir awal. Meminjam analisis Shahab Ahmed hal ini dikarenakan para ulama yang melakukan kerja penafsiran senantiasa ingin mengaitkan makna teks dengan peristiwa-peristiwa historis dan lingkungan budaya kehidupan Nabi Muhammad Saw yang jarang terungkap secara eksplisit dalam al-Qur’an, dengan kata lain mufassir membutuhkan konteks eksternal untuk dapat memahami ayat al-Qur’an yang hendak ditafsirkan tersebut. (Shahab Ahmed, 2017: 276)
Dengan demikian narasi-narasi tentang “the satanic verses” dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir awal untuk membuat Qs. al-Najm: 53: 19 serta Qs. al-Hajj: 22: 52-55 dapat dipahami dengan baik, dengan kata lain para mufassir bergantung pada sumber-sumber data di luar al-Qur’an bukan hanya untuk memahami lokasi kronologis dan konteks historis peristiwa tersebut, tetapi untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dan berhubungan dengan peristiwa tersebut. (Shahab Ahmed, 2017: 276) Ditambah lagi tafsir-tafsir awal tampaknya lebih peduli dengan berbagai kemungkinan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dibandingkan dengan klaim kebenaran ekslusif tentang ayat-ayat al-Qur’an, sehingga mufassir awal tidak perlu untuk menanamkan klaim kebenaran pada otoritas tertentu yang dianggap tak tercela. (Shahab Ahmed, 2017: 31)
Cara kerja tafsir-tafsir awal sebenarnya lebih menekankan pada berbagai tawaran atas makna-makna al-Qur’an dengan menjadikan riwayat-riwayat yang “diklaim” sebagai al-dakhīl sebagai sumber data untuk memahami makna ayat-ayat al-Qur’an yang perlu di interpretasikan karena ayat-ayat al-Qur’an bersifat musykil dan diperlukan sumber eksternal untuk memahami ayat tersebut secara utuh dan komprehensif.
Berdasarkan data-data di atas, penulis beranggapan bahwa munculnya al-dakhīl dalam kitab-kitab tafsir merupakan sebuah “kewajaran” berdasarkan argumen bahwa tafsir sebagai tradisi genealogis dan fungsi awal tafsir sebagai sebuah genre. Namun “kewajaran” ini mencoba dipertanyakan kevalidan, keotentikan, serta asal-usulnya salah satunya dengan menggunakan metodologi hadis sebagai pisau analisis. Namun pertanyaan lebih lanjutnya relevankah metodologi hadis digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah narasi-narasi yang “diklaim” sebagai al-dakhīl dalam kitab tafsir yang sedari awal tujuan kedua genre ini berbeda? Pertanyaan ini tentunya membutuhkan riset dan analisis yang lebih lanjut.
Refrensi
Ibrāhīm Muṣṭafā, Al-Mu’jam Al-Wasīṭ (Istanbul: Dār al-Da’wah, 1990)
Ibn Manẓūr, Lisān Al-‘Arab, Juz XI, (Beirut: Dār Ṣādir, 1956)
Al-Rāghib Al-Aṣfahānī, Al-Mufradāt Fī Gharīb Al-Qur’ān (Lebanon: Dār al-Ma’rifah)
Muḥammad Al-Fairuzabadi, Al-Qāmūs Al-Muḥīṭ, Juz III, (Kairo: Dār al-Turāṡ)
Al-Zamakhsyarī, Asās Al-Balāghah (Beirut: Dār Ṣādir)
Ibrāhim Khālīfah, Al-Dakhīl Fī Al-Tafsīr (Kairo: Universitas al-Azhār, 1996)
‘Abd al-Wahhāb Fāyed, Al-Dakhīl Fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm, Juz I, (Kairo: Universitas al-Azhār)
Aḥmad Ibn Muḥammad Ibn ‘Alī al-Fayyūmī, Al-Miṣbāḥ Al-Munīr Fī Gharīb Al-Syarḥ Al-Kabīr (Kairo: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 2000)
Ḥusain Muḥammad Ibrāhīm Muḥammad ‘Umar, Al-Dakhīl Fī Tafsīr Al-Qur’an Al-Karīm (Kairo: Universitas al-Azhār)
Walid Saleh, The Formation of the Classical Tradition: The Qur’an Commentary of Al-Tha’labi (Leiden: Brill, 2004)
Shahab Ahmed, Before Orthodoxy: The Satanic Verses in Early Islam (London: Harvard University Press, 2017)