Pendidikan gender menjadi domain penting dalam masyarakat kontemporer, dengan banyak pandangan yang berbeda mengenai bagaimana paradigma pendidikan gender seharusnya dibangun. Dalam hal ini, pemikiran Jean-Jacques Rousseau dan ajaran Al-Qur’an menawarkan sudut pandang yang unik terhadap isu ini yang sering kali dinilai kontroversial oleh sebagian kalangan.
Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf Perancis abad ke-18 yang terkenal dengan karyanya “Emile, or On Education”, menggagas tentang pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia. Dalam karyanya tersebut, Rousseau menyoroti perbedaan yang mendasar antara pendidikan untuk laki-laki dan perempuan. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan peran gender yang telah ditetapkan secara alamiah, dimana laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang berbeda dalam masyarakat.
Di sisi lain, Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam, menawarkan pandangan yang unik tentang gender dan pendidikan. Al-Qur’an menekankan pentingnya pendidikan bagi semua individu tanpa memandang gender. Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, diberikan hak untuk mendapatkan pendidikan dan diberi tanggung jawab untuk mencari ilmu sebagai bagian dari perintah agama. Namun terdapat satu ayat dalam Al-Qur’an yaitu QS. Ali Imran/3: 36 yang secara eksplisit menyebutkan bahwa “anak laki-laki tidaklah sama dengan anak perempuan.”
Tinjauan atas pemikiran Rousseau dan ajaran Al-Qur’an mengenai pendidikan gender memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting dan menarik untuk dianalisis lebih lanjut. Bagaimana paradigma pendidikan gender dapat disesuaikan dengan nilai-nilai alamiah dan keadilan sosial? Bagaimana pandangan tradisional tentang peran gender dapat diintegrasikan dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan?
Langkah awal kita perlu meninjau kembali pandangan-pandangan Rousseau tentang pendidikan perempuan khususnya yang disebutkan secara eksplisit dalam karyanya “Émile”. Karya ini menggabungkan unsur novel dengan esai didaktis, dan membahas filsafat pendidikan. Rousseau menulis karya ini pada tahun 1762 dengan tujuan untuk menggambarkan proses pendidikan yang ideal, yang berbeda dengan sistem pendidikan formal yang ada pada zamannya.
Menariknya, bagian terakhir dari buku ini Rousseau menggambarkan pendidikan Sophie, gadis yang menikahi Émile. Dalam pandangan Rousseau, pendidikan anak perempuan seharusnya mirip dengan anak laki-laki dalam hal kealamiannya, tetapi berbeda karena perbedaan seksual. Seorang anak perempuan tidak bisa dididik untuk menjadi seorang laki-laki. Menurutnya, seorang perempuan seharusnya menjadi pusat keluarga dan seorang ibu rumah tangga.
Inti dari argumen Rousseau adalah gagasan bahwa tujuan utama kehidupan seorang perempuan adalah untuk memenuhi peran istri dan ibu. Oleh karena itu, Rousseau berpendapat bahwa perempuan tidak memerlukan tingkat pendidikan yang sama dengan laki-laki. Menurutnya, Laki-laki dan perempuan secara inheren berbeda dalam karakter dan temperamen, pendidikan mereka harus mencerminkan perbedaan tersebut. Rousseau menegaskan, “Once it is demonstrated that man and woman are not, and should not be constituted the same… they should not have the same education.” (Jean-Jacques Rousseau, Rousseau on Women, Love, and Family, hal. 72).
Beberapa kritikus seperti Mary Wollstonecraft menganggap “Emile” sebagai bukti bahwa Rousseau berpandangan negatif terhadap perempuan. Mereka diasosiasikan sebagai makhluk yang lemah dan seharusnya tunduk pada laki-laki, sementara yang lain berpendapat bahwa ia menulis secara ironis. Beberapa juga menyoroti kontradiksi mendasar dalam “Emile” tentang perempuan dan pendidikan.
Bagi Wollstonecraft, argumen yang diungkapkan oleh Rousseau menimbulkan paradoks dalam pandangannya terhadap perempuan dan pendidikan. Pada satu sisi ia menganggap perempuan bertanggung jawab atas pendidikan seorang anak, sementara ia juga meyakini bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas rasional yang cukup untuk melakukan tugas tersebut. Kontradiksi ini menimbulkan keraguan tentang konsistensi pemikiran Rousseau dalam hal peran dan kompetensi perempuan dalam masyarakat.
Namun kompleksitas dari pemikiran Rousseau tersebut kita perlu melihatnya secara kontekstual. Pada zamannya, pandangan Rousseau tentang perempuan tercermin dalam kerangka sosial dan budaya yang sangat patriarkis. Abad ke-18, di mana Rousseau hidup dan berkarya, merupakan periode di mana norma-norma gender yang hierarkis sangat mendominasi masyarakat Eropa. Perempuan dianggap memiliki peran yang terbatas dan ditentukan oleh norma-norma patriarkis yang mengharuskan mereka untuk menjadi ibu rumah tangga yang setia pada peran domestik.
Dalam konteks ini, pandangan Rousseau tentang perempuan bukanlah anomali, tetapi merupakan cerminan dari norma-norma gender yang ada pada masa itu. Pandangan Rousseau tentang perempuan bisa dipandang sebagai langkah awal dalam refleksi kritis terhadap norma-norma gender yang ada pada zamannya. Meskipun pandangannya pada saat itu dinilai kontradiktif dan terbatas, namun telah membuka ruang bagi diskusi lebih lanjut tentang kesetaraan gender (gender equality) di kalangan feminis berikutnya.
Karena itu, penulis melihat ada beberapa dampak positif yang dapat diidentifikasi dari pemikiran Rousseau.
Pertama, Stimulasi Diskusi. Pemikiran Rousseau tentang perempuan telah merangsang diskusi yang luas tentang peran dan hak perempuan dalam masyarakat. Kontroversi yang muncul dari pandangannya mendorong pemikir lain, termasuk Mary Wollstonecraft, untuk mengeksplorasi dan membela hak-hak perempuan dengan lebih lanjut. Ini membuka jalan bagi gerakan feminis dan pemikiran yang lebih progresif tentang kesetaraan gender.
Kedua, Reformasi Pendidikan: Meskipun Rousseau membatasi pendidikan perempuan pada disiplin ilmu tertentu dalam karyanya “Emile”, pengakuannya tentang pentingnya pendidikan sebagai instrumen sosial membantu memicu reformasi pendidikan yang lebih inklusif.
Ketiga, Perhatian terhadap Peran Domestik. Meskipun pandangan ini dapat dianggap sebagai pembatasan terhadap perempuan karena menempatkan mereka dalam peran tradisional yang terbatas, namun Rousseau juga membawa kesadaran akan pentingnya pekerjaan domestik yang seringkali diabaikan atau dianggap remeh oleh sebagian pihak. Dengan menekankan pentingnya peran domestik perempuan, Rousseau secara tidak langsung membantu memunculkan perdebatan tentang penghargaan dan pengakuan yang lebih besar terhadap peran perempuan dalam kehidupan keluarga.
Ini mendorong refleksi tentang nilai-nilai yang mendasari peran domestik dalam masyarakat, serta memberikan dorongan untuk menghargai pekerjaan rumah tangga sebagai kontribusi yang signifikan terhadap keberlangsungan dan kesejahteraan rumah tangga secara keseluruhan. Selain itu, kesadaran yang ia bangkitkan tentang pentingnya pekerjaan domestik telah membawa dampak positif dalam mengubah persepsi dan pengakuan terhadap peran domestik perempuan dalam masyarakat.
Upaya yang dilakukan oleh Rousseau juga memiliki kesamaan dengan persepsi yang dibangun oleh Al-Qur’an mengenai paradigma pendidikan anak perempuan, sekaligus menyangkut peran dan tugasnya dalam ranah domestik. Pernyataan dalam QS. Ali Imran/3: 36 bahwa “Anak laki-laki tidaklah sama dengan anak perempuan,” berimplikasi pada perbedaan pendidikan dan pola asuh anak perempuan.
Secara ilmiah, beberapa penelitian juga telah mengidentifikasi perbedaan persepsi dan perlakuan dalam pola asuh antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini karena anak perempuan cenderung menunjukkan karakteristik negatif seperti sensitif, mudah menangis, rentan terpengaruh, kurang agresif dan lain sebagainya (Asti Musman, Seni Mendidik Anak di Era 4.0, hal. 27-29).
Menurut data yang dirilis oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pada tahun 2021, terdapat 2.971 kasus yang melibatkan anak-anak sebagai korban pengasuhan bermasalah, menjadikannya kasus dengan jumlah aduan tertinggi (Humas KPAI, Data Kasus Anak Korban Pengasuhan Bermasalah Tinggi: Kpai Lakukan Advokasi, 2022).
Fenomena ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk kesibukan orang tua dalam bekerja, perceraian, dan kurangnya pengalaman dalam mengasuh anak. Pengalihan pengasuhan anak ini dapat berpotensi menyebabkan kurangnya interaksi kasih sayang antara orang tua dan anak, sehingga anak tidak merasa kehadiran peran orang tua di rumah. Dampaknya dapat berupa ketidakstabilan emosi, kurangnya rasa percaya diri, gangguan pada perkembangan fisik dan psikis, bahkan terganggunya inner child anak di masa depan (Andi Sri Suriati Amal, Role Juggling: Perempuan Sebagai Muslimah, Ibu, dan Istri, hal. 57).
Hasil penelitian yang disebutkan menunjukkan pentingnya peran orang tua dalam mengasuh dan merawat anak-anak mereka. Orang tua memiliki kewajiban untuk memastikan kualitas pertumbuhan anak-anak, mencegah penelantaran, dan menghindari perlakuan yang tidak adil terhadap mereka. Selaras dengan itu, dalam pandangan Islam, orang tua dianggap memiliki peran sentral sebagai wadah pertama dan utama dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak-anak (Al-Umm al-madrasat al-ula fi mustaqbal al-thafl).
Karena itu, Al-Qur’an memberikan afirmasi positif terhadap peran domestik perempuan salah satunya dapat dilihat dalam QS. Al-Qashsash ayat 7:
Artinya: Kami mengilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia (Musa). Jika engkau khawatir atas (keselamatan)-nya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil dalam sebuah peti yang mengapung). Janganlah engkau takut dan janganlah (pula) bersedih. Sesungguhnya Kami pasti mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai salah seorang rasul.
Di dalam ayat tersebut, Allah memberi arahan kepada Ibu Musa untuk merawat dan menyusui Musa dengan penuh keyakinan dan keteguhan hati. Ini menunjukkan bahwa perempuan harus memiliki keteguhan hati dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai pengasuh. Namun perlu digarisbawahi bahwa Al-Qur’an tidak membatasi perempuan dalam peran domestik. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas memberikan ruang kepada perempuan untuk berkiprah di ranah publik, seperti
Berdasarkan uraian di atas, konsep Fiqh al-Awlawiyat dalam konteks ini dapat menjadi alternatif atau solusi untuk menangani dualitas tersebut. Fiqh al-Awlawiyat merupakan suatu pendekatan dalam hukum Islam dimana keputusan atau penyelesaian masalah didasarkan pada prioritas tertentu, dengan mempertimbangkan tingkat urgensi atau kepentingan dari berbagai hukum atau prinsip syariah yang relevan. Skala prioritas tersebut dipertimbangkan berdasarkan maslahah (kemaslahatan) dan mafsadah (kemudharatan) yang ditimbulkan.
Sebagai penutup, penulis menegaskan kembali pentingnya pemahaman bagi perempuan terhadap peran yang akan mereka emban, baik dalam ranah domestik maupun publik. Hal ini melibatkan pemahaman tentang dinamika peran-peran tersebut serta pengetahuan yang luas dalam bidang kerumahtanggaan dan pendidikan anak. Dengan demikian, perempuan dapat menjalankan kedua atau salah satu peran tersebut secara efektif dan efisien, sehingga tercipta kehidupan keluarga yang penuh kasih, harmonis, dan berkelanjutan.
REFERENSI
Amal, Andi Sri Suriati. Role Juggling: Perempuan Sebagai Muslimah, Ibu, dan Istri, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Humas KPAI, Data Kasus Anak Korban Pengasuhan Bermasalah Tinggi: Kpai Lakukan Advokasi, diakses melalui link: https://www.kpai.go.id/publikasi/data-kasus-anak-korban-pengasuhan-bermasalah-tinggi-kpai-lakukan-advokasi pada 15 April 2024.
Musman, Asti. Seni Mendidik Anak di Era 4.0, Tangerang Selatan: Anak Hebat Indonesia, 2020.
Rousseau, Jean-Jacques. Rousseau on Women, Love, and Family, London: Dartmouth College Press, 2009.