Kriminalitas Berlapis dalam Gratifikasi Seksual

Wajah Baru Gratifikasi

Gratifikasi merupakan salah satu tindakan tercela yang kerap terjadi di kalangan pejabat negara. Terdapat beragam motif dan bentuk gratifikasi bahkan ia mengalami transformasi. Jika sebelumnya bentuk gratifikasi yang banyak dikenal adalah dalam bentuk uang dan barang, kini gratifikasi menjelma dalam wajah baru, yaitu pelayanan seksual. Hal ini mungkin disebabkan rasa bosan terhadap uang dan kekayaan, atau karena takut tertangkap tangan KPK.

Bacaan Lainnya

Pelayanan seksual yang dimaksud tentu bukanlah hal yang dibolehkan dalam Islam layaknya hubungan antara suami dan istri. Gratifikasi seksual adalah pemberian layanan seksual dari seseorang kepada orang lain, yang tidak dalam koridor hubungan yang diizinkan agama, yang dimaksudkan untuk memperoleh tujuan yang diinginkan.

Merujuk kepada hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 12B ayat (1) disebutkan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Frasa “fasilitas lainnya” inilah yang membuka peluang untuk mengkategorikan pelayanan seksual sebagai bentuk gratifikasi.

Namun selanjutnya disebutkan unsur-unsur gratifikasi yang salah satunya adalah bahwa penerima gratifikasi merupakan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Artinya, jika yang menerima gratifikasi bukan pegawai negeri/pejabat negara, ia tidak dapat dikenakan sanksi gratifikasi. Hal inilah yang kemudian menjadi problem ketika ingin mempidanakan tindakan suap-menyuap dengan bentuk pelayanan seksual. Tidak ada payung hukum yang berlaku di Indonesia yang dapat menjadi pijakan dalam memperkarakan kasus suap pada selain pegawai negeri/pejabat negara.

Sementara itu, untuk kasus perzinaan yang diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP, adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Sedangkan proses pidananya hanya dapat ditindak jika ada pelaporan dari suami atau istri dari terduga pelaku zina.

Hal ini juga menjadi problem kedua dalam kasus gratifikasi seksual. Jika ingin dimasukkan ke dalam kasus perzinaan, harus dilaporkan oleh pasangan sahnya. Jika tidak ada laporan, atau pelaku merupakan seseorang yang belum menikah, maka ia tidak bisa dipidana. Selain dua problem tersebut, dari sisi wacana kesetaraan gender, gratifikasi seksual merupakan bentuk dari pelecehan terhadap perempuan. Lantas bagaimanakah kasus gratifikasi seksual ini dalam khazanah Islam?

Wacana Tafsir

Gratifikasi seksual merupakan tindak kejahatan dengan kriminalitas berlapis. Maka membahas isu gratifikasi seksual akan kurang kompleks jika tidak mengurai unsur-unsur yang meliputinya. Setidaknya terdapat tiga unsur kejahatan yang meliputi tindak gratifikasi seksual, yaitu: 1) suap (rishwah); 2) zina; dan 3) menjadikan perempuan sebagai objek.

Sebagaimana hukum positif yang berlaku, Al-Qur’an juga tidak secara spesifik menyentuh topik gratifikasi dalam bentuk pelayanan seksual sebagaimana dimaksud dalam konteks modern. Al-Qur’an hanya memberikan pedoman dan prinsip-prinsip moral yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal etika seksual dan integritas moral. Mengenai integritas moral telah disinggung dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 188:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 188)

Menurut Al-Qurṭubī, mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat berarti ia telah memakannya dengan cara yang batil. Termasuk dalam hal ini adalah ketika hakim memutuskan perkara yang kamu ketahui bahwa itu batil. Yang haram tidak serta merta berubah menjadi halal lantaran putusan hakim itu. (Al-Qurṭubī, t.t: 337-338)

Sedangkan menurut Al-Maraghī, di antara makna dari larangan “janganlah kamu memakan harta di antara kamu” adalah memberikan harta kepada hakim (pejabat) sebagai suap dan lain-lain. (Al-Maraghī, 1974: 81)

Pada intinya, Q.S. Al-Baqarah [2]: 188 ini mengajarkan tentang integritas moral, bahwa diharamkan kepemilikan harta dengan cara yang dilarang syariat seperti menipu, korupsi, sogok menyogok, dll. Integritas moral ini akan sangat terlihat dalam putusan hakim. Apakah hakim dapat tergoda dengan rayuan harta atau tidak. Hakim di sini dapat juga dimaknai lebih luas dengan orang yang menyalahgunakan kewenangannya untuk suatu kepentingan tertentu.

Adapun mengenai etika seksual, Islam melarang perbuatan zina sebagaimana terdapat dalam Q.S. Al-Isra’ [17]: 32 : وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا “Janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya (zina) itu adalah perbuatan keji dan jalan terburuk.“. Ayat ini secara jelas melarang untuk mendekati perbuatan zina dengan melakukan perbuatan yang dapat merangsang atau menjerumuskan kepada perbuatan zina, karena zina adalah suatu perbuatan yang keji.

Nilai selanjutnya yang juga penting untuk dibahas adalah perempuan sebagai khalifah fil ardh. Dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 dikatakan bahwa Allah akan menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardh. Ini umum untuk laki-laki dan perempuan. Mereka setara di hadapan Allah. Yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Dalam kasus gratifikasi seksual, perempuan dijadikan objek layaknya barang. Tindakan ini merupakan pelecehan terhadap perempuan secara nyata.

Analisis

Gratifikasi seksual tidak diatur secara jelas dalam undang-undang Tipikor. Meski terdapat frasa “fasilitas lainnya” yang bisa saja mencakup pelayanan seksual, akan tetapi pada kenyataannya belum pernah ada sepanjang sejarah hukum di Indonesia penerima atau pemberi gratifikasi seksual diperkarakan. Dalam proses pembuktian terhadap tindak pidana gratifikasi berupa layanan seksual, dalam prakteknya memang tidaklah mudah untuk dibuktikan terkecuali tertangkap tangan dan disertai alat bukti lainnya.

Kalau pun dimasukkan ke dalam perzinahan, pelaku harus sudah menikah dan dilaporkan oleh pasangannya. Belum adanya payung hukum yang memadai terhadap tindak gratifikasi seksual menjadi tantangan tersendiri bagi pelajar keilmuan Islam, khususnya pelajar Tafsir.

Terlebih, khazanah keIslaman sendiri tidak menyinggung gratifikasi seksual secara spesifik. Namun begitu, Al-Qur’an memberikan panduan berupa nilai moral dan etika termasuk dalam hal seksual. Islam melarang penyalahgunaan wewenang untuk memuluskan suatu tujuan tertentu, Islam juga memberikan panduan etika dalam hubungan seksual, untuk tidak berhubungan dengan yang bukan pasangan sah.

Tidak selesai di situ, gratifikasi seksual sering kali melibatkan ketidaksetaraan kekuasaan dan eksploitasi. Perempuan dijadikan objek dalam gratifikasi seksual. Gratifikasi seksual merupakan wujud dari merendahkan martabat perempuan. Padahal Islam mendorong perlakuan adil terhadap semua individu, tanpa memandang jenis kelamin. Ajaran Islam menegaskan bahwa perempuan bukan hamba laki-laki, sebab keduanya sama-sama memiliki status sebagai khalifah fil ardh.

Laki-laki dan perempuan sama-sama hanya boleh menggunakan tubuhnya dan tubuh orang lain secara bermartabat, yaitu dalam hal-hal yang dibolehkan agama (halal), baik (ṭayyib) dan pantas (ma’ruf). Hanya dengan cara inilah manusia mampu membuat dirinya memberikan maslahat, baik untuk diri pribadi maupun orang lain. Tubuh laki-laki dan perempuan adalah sama-sama milik Allah. Namun keduanya sama-sama bertanggung jawab untuk menggunakan tubuhnya secara bermartabat. (Nur Rofiah, 2023: 20)

Gratifikasi seks adalah wujud dari merendahkan martabat perempuan, dan ini menjadi preseden buruk terhadap isu kesetaraan gender yang selama ini sedang mengalami proses perkembangan. Kita seakan kembali ke zaman kuno, di mana perempuan dijadikan hadiah bagi para raja dan penguasa. Selaras dengan era Jahiliyah, yang memposisikan perempuan sebagai sebuah “barang”, yang bisa diberikan dan diwariskan kepada orang lain. Gratifikasi seks menjadi pertanda bahwa mentalitas dan nalar para pejabat kita sama dengan nalar masyarakat Jahiliyah dalam memandang perempuan.

Untuk mengatasi problem ini secara nyata, diperlukan perbaikan sistem yang mengikat masyarakat. Regulasi mengenai tindak kejahatan ini seharusnya disinggung secara jelas dalam hukum positif. Selain itu, perlu juga diupayakan perbaikan nalar masyarakat, agar hormat terhadap hukum Ilahi. Al-Qur’an memberikan panduan nilai-nilai termasuk soal integritas moral dan etika seksual, serta bagaimana kedudukan perempuan dalam Islam. Penerapan nilai-nilai inilah yang menjadi tantangan kita bersama, khususnya penggiat kajian Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Al-Qurṭubī. Al-Jāmi’ l Aḥkām al-Qur`an. t.t. t.p. 1952. vol. 2.

Al-Maraghī. Tafsir Al-Maraghi. Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi. 1974. vol. 2.

Rofiah,Nur.  Nalar Kritis Muslimah: Refleksi Atas Keperempuanan, Kemanusiaan, Dan Keislaman. Bandung: Afkaruna.id. 2023.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *