Dalam perbincangan yang terus berkembang mengenai isu-isu gender, perspektif “insider” dan “outsider” memainkan peran penting dalam membentuk pemahaman yang lebih komprehensif. “insider” adalah feminis Muslim yang terlibat dalam perjuangan kesetaraan gender dalam Islam. Sementara “outside”” mengacu pada para feminis Barat yang bukan berasal dari komunitas Muslim atau tidak memiliki pengalaman langsung dengan budaya Islam, namun mereka mengkaji dan memperjuangkan kesetaraan gender (gender equality).
Melalui integrasi perspektif “insider” dan “outsider,” kita dapat mencapai pendekatan yang lebih holistik dan efektif dalam menanggapi tantangan gender dalam masyarakat. Integrasi ini memungkinkan kita untuk memanfaatkan kompleksitas dan keunikan masing-masing perspektif untuk merancang strategi yang lebih komprehensif dan sustainable (berkelanjutan).
Kesetaraan Gender dalam Kacamata Outsider
Gerakan feminis di Barat memiliki akar yang kompleks dan berasal dari sejumlah faktor historis, sosial, dan budaya (Susan de-Gaia, Encyclopedia of Women in World Religions, hal. 94). Pada periode Pencerahan (Enlightenment period), pemikir seperti Mary Wollstonecraft sudah menyoroti isu-isu kesetaraan gender. Gerakan suffragette (gerakan politik yang bertujuan untuk memperjuangkan hak pilih perempuan) muncul pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Perubahan sosial dan ekonomi selama Revolusi Industri juga meningkatkan kesadaran akan hak-hak perempuan.
Gerakan abolisionis untuk mengakhiri perbudakan juga turut membentuk kesadaran tentang ketidakadilan sosial, termasuk perlakuan tidak setara terhadap perempuan. Karya sastra dan seni, seperti novel-novel karya Charlotte Bronte dan Mary Wollstonecraft, juga memainkan peran penting dalam membentuk kesadaran tentang isu-isu gender. Semua faktor ini, bersama dengan banyak faktor lainnya, membentuk fondasi gerakan feminis di Barat dan memicu perubahan sosial yang signifikan dalam hak-hak perempuan.
Salah satu feminis yang muncul pada abad Pencerahan adalah Mary Astell (1666–1731). Ia adalah seorang intelektual Inggris yang dikenal karena karya-karyanya dalam bidang pemikiran politik, etika, dan pemikiran feminis pada abad ke-17 dan ke-18. Salah satunya “A Serious Proposal to the Ladies” (1694), adalah seruan untuk pendidikan yang lebih baik bagi perempuan.
Astell mengadopsi beberapa teori, salah satunya adalah teori kontrak sosial yang terinspirasi dari pandangan Thomas Hobbes dan John Locke, filsuf abad ke-17. Astell mempertimbangkan gagasan bahwa struktur masyarakat dan institusi seperti pernikahan harus didasarkan pada kesepakatan yang dibuat oleh individu yang terlibat (Anita Pacheco, A Companion to Early Modern Women’s Writing, hal. 216).
Pada abad ke-19, muncul tokoh-tokoh penting seperti Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony, dan John Stuart Mill. Mereka berperan besar dalam gerakan hak suara perempuan dan perjuangan untuk kesetaraan gender, khususnya dalam konteks sosial dan politik.
Sementara itu, John Stuart Mill adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal dengan konsepnya “utilitarianism.” Konsep ini menekankan bahwa tindakan yang paling baik adalah yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terlibat. Pandangannya ini berdampak luas dalam etika, politik, dan ekonomi.
Abad ke-20 muncul nama Bеtty Friеdan (1921-2006), Gloria Mariе Stеinеm, Audrе Lordе dan Simonе dе Bеauvoir (1908-1986). Salah satu konsep penting yang digagas oleh Simonе dе Bеauvoir adalah “mitos perempuan” (the myth of woman), yang menyoroti bagaimana pandangan tradisional tentang perempuan, seperti “lemah,” “cantik,” “sensitif” dan sebagainya telah digunakan untuk menindas dan membatasi potensi mereka (Paula J. Caplan, The Myth of Women’s Masochism: With a New Preface by the Author, hal. 208).
Pada abad ke-21, Chimamanda Ngozi Adichie dan Roxane Gay adalah dua penulis dan intelektual yang memainkan peran penting dalam wacana feminis kontemporer. Adichie, seorang penulis Nigeria, dikenal karena karyanya yang berfokus pada pengalaman perempuan Nigeria dan Afrika. Dia terkenal atas karyanya “We Should All Be Feminists” yang menjadi dasar bagi pidato TEDx-nya yang terkenal, serta novel-novelnya seperti “Half of a Yellow Sun” dan “Americanah.”
Namun Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf, penulis, dan pemikir politik Prancis abad ke-18 dinilai kontroversial bagi banyak feminis Barat, karena pandangannya tentang peran perempuan dalam masyarakat dan pendidikan. Dalam karyanya, “Emile, or On Education,” Rousseau menyarankan pendidikan yang terpisah antara anak laki-laki dan perempuan. Baginya, peran utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengasuh anak, sementara laki-laki harus mendapat pendidikan yang lebih formal untuk menjadi warga negara yang baik.
Wacana Kesetaraan Gender Perspetif Insider
Sementara perspektif insider menekankan pada reinterpretasi ajaran Islam yang ada untuk memastikan bahwa kesetaraan gender diakui dan dipromosikan dalam ajaran dan praktik agama. Ini melibatkan kritik terhadap interpretasi patriarkis yang tradisional dan upaya untuk mengartikulasikan pemahaman baru yang lebih inklusif dan progresif terhadap teks-teks suci dan tradisi keagamaan.
Insider sering kali berjuang tidak hanya dalam konteks ajaran agama, tetapi juga untuk reformasi sosial dan kultural yang lebih luas dalam masyarakat Muslim. Mereka menantang norma-norma patriarkis yang membatasi peran dan hak perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan kehidupan publik secara umum.
Sejatinya para feminis Muslim terbagi menjadi tiga aliran, yaitu rejectionist, revisionist, dan liberationist.
Pertama, Rejectionist. Aliran ini menolak secara tegas ajaran atau praktik yang dianggap merugikan perempuan dalam Islam. Mereka menekankan perlunya menolak atau memperdebatkan interpretasi tradisional tentang ajaran agama yang dianggap mendukung ketidaksetaraan gender.
Aliran rejectionist ini salah satunya dipelopori oleh Nawal El-Saadawi. Ia meyakini bahwa perubahan fundamental diperlukan untuk mencapai kesetaraan gender. El-Saadawi mengadvokasi penghapusan peran gender yang terikat dan struktur sosial yang mendukungnya. Dalam pandangannya, hierarki kekuasaan yang didasarkan pada jenis kelamin harus dihapuskan agar kesetaraan gender dapat terwujud. Pendekatan ini menuntut transformasi radikal dalam budaya dan masyarakat untuk mencapai keadilan gender yang komprehensif.
Contoh konkret dari gerakan rejectionist mencakup upaya untuk menolak praktek-praktek yang dianggap merugikan perempuan dalam konteks Islam. Misalnya, gerakan ini menentang praktik poligami dan sistem waris yang sering kali mengakibatkan ketidaksetaraan dalam hubungan pernikahan dan keluarga. Selain itu, gerakan rejectionist menentang aturan sosial yang membatasi kebebasan perempuan, seperti pembatasan terhadap mobilitas, pendidikan, atau hak untuk bekerja di luar rumah.
Kedua, Revisionist. Aliran ini mencoba untuk merevisi atau menafsir ulang ajaran Islam secara hati-hati dengan mempertimbangkan konteks budaya dan historisnya. Mereka berpendapat bahwa nilai-nilai universal kesetaraan gender dapat ditemukan dalam ajaran Islam, namun perlu direvisi agar sesuai dengan kebutuhan dan realitas masa kini.
Aliran revisionist diprakarsai oleh tokoh-tokoh seperti Amina Wadud, Rifaat Hasan, dan Fatima Nassef. Mereka berpandangan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur’an yang tidak sejalan dengan pesan “kesetaraan” atau “egalitarian” harus ditafsir ulang. Mereka menekankan perlunya melihat kembali teks-teks agama dengan kacamata yang lebih inklusif dan progresif, serta mengidentifikasi ayat-ayat yang mendukung nilai-nilai kesetaraan gender dalam Islam.
Bahkan secara eksplisit mereka mengatakan bahwa “seluruh ayat Al-Qur’an” mengandung pesan “kesetaraan” (egalitarian). Upaya mereka dalam menafsir ulang teks-teks agama ini bertujuan untuk memperkuat posisi perempuan dalam Islam dan mendorong perubahan sosial yang lebih progresif.
Ketiga, Liberationist. Aliran ini mendorong perubahan sosial yang lebih radikal untuk mencapai kesetaraan gender dalam masyarakat Islam. Mereka percaya bahwa transformasi struktural yang singnifikan diperlukan untuk mengatasi ketidakadilan gender, termasuk pembebasan perempuan dari sistem yang menindas.
Aliran liberationist ini dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Laila Ahmed dan Fatima Mernissi. Mereka menyoroti bahwa hak-hak perempuan sering dibatasi oleh sistem pemahaman agama yang patriarkal. Dalam upaya untuk menciptakan perubahan, para pemimpin aliran ini mendorong perjuangan untuk kesetaraan gender dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial. Menurutnya, pembebasan perempuan dari struktur-struktur yang menindas, terutama yang berakar pada interpretasi agama yang diskriminatif, adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Salah satu Pemikiran Leila dalam konteks ini adalah tentang kebebasan bagi perempuan dalam memilih cara berpakaian mereka. Bagi Leila, ketika pemerintah atau lembaga lain mencoba mendikte atau mengatur cara perempuan memakai hijab atau tidak, itu seolah-olah mengurung kebebasan perempuan itu sendiri (Haideh Moghissi, Women and Islam: Women’s Movements in Muslim societies, hal. 245).
Dalam konteks ini, pemaknaan hijab bukan hanya tentang menutup aurat perempuan, tetapi juga tentang penegasan hak perempuan untuk membuat keputusan yang berdaulat terhadap tubuh dan identitas mereka sendiri. Leila mendorong adanya pemahaman yang lebih luas tentang hijab sebagai simbol kebebasan dan pilihan bagi perempuan, bukan sebagai alat kontrol atau penindasan.
Kesimpulan
Realitas bahwa terjadi perdebatan panjang di antara feminis Barat maupun feminis muslim mengenai peran sejati perempuan mencerminkan kompleksitas dan keragaman pandangan dalam gerakan feminis itu sendiri. Berbagai perspektif dan pendekatan yang berbeda terhadap feminisme mencerminkan realitas bahwa tidak ada konsensus tunggal tentang apa yang merupakan “peran sejati” perempuan.
Karena itu, penting untuk memberikan ruang bagi berbagai perspektif dan pengalaman perempuan untuk menjadi atensi tersendiri yang sifatnya dinamis. Dengan menghargai pluralitas pandangan dan membangun strategi yang inklusif, gerakan feminis dapat menjadi lebih responsif dan efektif dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
Referensi
Caplan, Paula J., The Myth of Women’s Masochism: With a New Preface by the Author, iUniverse, 2005.
De-Gaia, Susan. Encyclopedia of Women in World Religions: Faith and Culture Across History, California: ABC-CLIO, 2018.
Moghissi, Haideh. Women and Islam: Women’s Movements in Muslim societies, New York: Routledge, 2005
Pacheco, Anita. A Companion to Early Modern Women’s Writing, London: Blackwell Publishing, 2008.