Nalar Pemikiran Reformis Muhammad Thaha
Salah satu pemikiran Mahmoud Muhammad Thaha yang akan diulas pada artikel ini ialah gagasannya mengenai redefinisi konsep nasakh. Namun sebelumnya, ada hal mendasar yang harus diurai sebelum masuk dalam konstruksi pemikiran Thaha yaitu argumentasinya mengenai gagasan pembaruan Islam. Thaha mengelaborasi Q.S. Al-Maidah/5: 3 sebagai basis argumentasinya dan menyatakan bahwa adalah sebuah kesalahan jika memaknai bahwa ayat tersebut menjadi dasar bagi pemahaman bahwa Islam telah berwujud dalam format yang final (final form).
Sebab baginya, jika merujuk pada Q.S. Al-Nahl/16: 44, maka akan ditemukan bahwa bentuk “penjelasan” terhadap al-Qur’an baik dalam bentuk uraian yurisprudensi atau hukum Islam, maupun interpretasi (tafsir), ialah sejauh yang sesuai untuk waktu penjelasan tersebut dihasilkan dan sesuai dengan kapasitas pembaca dan kemampuan audiensnya. Oleh karena itu, al-Qur’an tidak pernah bisa final penjelasannya dan begitupun dengan Islam juga tidak pernah bisa mencapai bentuk final.
Islam dan al-Qur’an adalah dua hal yang “abadi” dalam prosesnya. Hal ini diindikasikan oleh redaksi, “sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Tuhan adalah Islam.” (Q.S. Ali Imran/3: 19). Kalimat “di sisi/ عند” bukanlah kalimat yang menerangkan keterikatan terhadap ruang dan waktu dan justru melampaui keduanya. Sebab itu, maka perjalanan bersama al-Qur’an dan dinamisasi Islam merupakan proses yang abadi (eternal) sebagaimana proses perjalanan menuju Tuhan (Thaha, 1969: 162-168) (Naim, 1987: 146-150).
Ulasan Pengantar Pemikiran Muhammad Thaha
Uraian sebelumnya memperlihatkan bahwa Thaha memiliki visi pemikiran yang reformis. Maka bukan hal yang mengherankan jika ia melakukan pembaruan-pembaruan pada hal-hal yang telah dianggap “mapan” selama ini. Mengenai konsep naskh, ada dua unsur utama yang menjadi landasan pacu bagi pemikirannya yaitu perihal al-risālah al-‘ūla (first message)dan al-risalah al-tsāniyah (second message). Thaha membuka pembahasan ini dengan mengelaborasi dua term yang secara umum dimaknai sama namun menurutnya berbeda yaitu “muslim” dan “mukmin”.
Baginya, kata muslim dan mukmin meskipun tidak berbeda secara esensi namun secara proporsional berbeda. Sebab tidak semua yang disebut “mukmin” itu “muslim”, akan tetapi semua yang disebut “muslim” pasti “mukmin”. Pembagian ini didasari oleh pandangan Thaha bahwa term “mukmin” diarahkan pada umat yang menerima “risalah pertama” dan terminologi ini berbeda halnya dengan istilah “Islam awal” yang menjadi alasan bagi disematkannya istilah “muslim” terhadap pemeluk Islam di era awal (Makkiyah) yang sejatinya/ pada realitanya merupakan—apa yang disebut oleh Thaha dengan istilah—“Islam akhir” atau penerima “risalah kedua” (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Untuk memperkuat uraian filosofisnya mengenai term “mukmin” dan “muslim”, Thaha membawa satu contoh yaitu penggalan Q.S. Ali Imran/3: 19, inna al-dīn ‘inda Allah al-Islām. Hal menarik dari uraiannya ialah ia mengatakan bahwa yang dimaksud “Islam” pada ayat tersebut ialah “Islam akhir” dan bukanlah “Islam awal”. Sebab “Islam awal” tidak mencerminkan ibrah dari Islam itu sendiri melainkan hanya memperlihatkan Islam sebagai agama yang “melindungi budak dari pedang”. Keterangan ini sangat menarik sebab seolah Thaha ingin mengatakan bahwa Islam yang tercermin pada pewahyuan di Makkah merupakan Islam dalam formatnya yang “esensial/ fundamental” sedangkan Islam yang terkonstruksi di Madinah ialah Islam “praktis” (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Pembagian kedua term, “muslim” dan “mukmin” tidak bisa dilepaskan dari kategorisasi Thaha terhadap al-Qur’an kepada dua segmentasi yaitu “Islam” dan “iman”. Baginya, pewahyuan yang terbagi ke dalam dua fase, Makkiyah dan Madaniyah, telah membawa kekhasan tersendiri bagi tiap-tiap ayat al-Qur’an yang turun. Ia menuturkan bahwa ayat-ayat yang termasuk dalam kategori Makkiyah menempati fase “Islam” sedangkan Madaniyah berada pada fase “iman”.
Ia juga menyebut beberapa karakteristik ayat-ayat Madinah seperti: 1) terdapat khitab dengan lafadz yā ayyuhā al-ladzīn āmanū—kecuali Q.S. Al-Hajj/ 22; 2) terdapat penyebutan kaum munafik; 3) terdapat penyebutan “jihad” serta penjelasannya. Berbeda halnya dengan karakter ayat-ayat Makkiyah di antaranya: 1) terdapat penyebutan sajadah; 2) didahului oleh huruf Thahajji—kecuali al-Baqarah/2 dan Ali Imran/3; 3) serta terdapat khitab dengan lafadz yā ayyuhā al-nās dan yā banī ādam—kecuali pada Q.S. Al-Baqarah/2 dan Q.S. Al-Nisa/4(Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Selain dari yang telah disebutkan, Thaha memberikan tambahan bahwa sebab perbedaan karakteristik antara Makkiyah dan Madaniyah juga tidak bisa dilepaskan dari tumpang tindih antara “Islam” dan “iman”. Thaha, bahkan, memberikan kritik dan tawaran pemikirannya bahwa perdebatan mengenai Makki dan Madani, yang menurutnya, bukanlah disebabkan oleh perbedaan ruang maupun waktu yang membersamai turunnya ayat. Melainkan hal tersebut disebabkan oleh perbedaan “level” audiens.
Di satu sisi penggunaan kalimat yā ayyuhā al-ladzīn āmanū dikhususkan untuk umat yang telah ditentukan (definitif), dan adapun di sisi lain penggunaan yā ayyuhā al-nās diperuntukkan kepada audiens secara umum. Kemudian, untuk memperkuat argumentasinya, Thaha mengelaborasi perbedaan-perbedaan karakter Makkiyah dan Madaniyah secara keseluruhan dari apa yang telah ia sebutkan sebelumnya.
Namun pada artikel ini, tidak semua elaborasi Thaha akan diulas melainkan dicukupkan pada poin “penyebutan kaum munafik”. Sebab uraian poin kedua ini telah cukup memperlihatkan apa sebenarnya yang ingin ditekankan oleh pemikiran Thaha terhadap rekonfigurasi konsep Makki-Madani(Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Mengenai penyebutan kaum munafik pada ayat-ayat Madaniyah, Thaha berargumen bahwa “orang-orang munafik” untuk pertama kalinya disebutkan di Madinah, selama bentang waktu sepuluh tahun masa pewahyuan, tetapi tidak pernah disebutkan selama tiga belas tahun periode turunnya wahyu di Mekah. Sebab, menurutnya, tidak ada “orang-orang munafik” di Makkah dan yang ada hanya orang mukmin dan musyrik.
Hal ini berkaitan erat dengan style atau gaya persuasi yang diberlakukan oleh ayat-ayat Makkiyah yang menekankan narasi “damai”. Seperti contohnya pada ayat: “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang damai, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik, Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Nahl/16:125), serta banyak ayat lain (dari periode Mekah) juga menunjukkan penggunaan persuasi damai dan ketidakbutuhan uslūb dakwah pada saat itu terhadap sikap keras (‘unf) (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Kemudian, setelah hijrah ke Madinah, ayat-ayat paksaan dengan pedang berlaku dan ayat-ayat persuasi damai tidak diberlakukan lagi. Misalnya terdapat pada ayat: “Dan ketika bulan-bulan terlarang telah berlalu, bunuhlah orang-orang musyrik di mana pun Anda menemukannya dan tangkap mereka (jadikan tawanan) dan kepunglah mereka, dan awasilah mereka di setiap tempat penyergapan. Tetapi jika mereka bertobat dan menjalankan shalat dan membayar zakat, maka tinggalkanlah jalan mereka (bebaskan). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Taubah/9:5).
Menurut Thaha, di bawah ancaman persuasi yang bernada “menakut-nakuti” ini, beberapa orang harus mencari perlindungan dengan menyembunyikan satu pandangan dan menyatakan yang lain (taqiyah), sehingga memperkenalkan kemunafikan ke dalam komunitas Islam. Dua uraian komponen teori mengenai karakteristik ayat Makkiyah dan Madaniyah tersebut secara jelas memperlihatkan intensi Thaha, yang secara gamblang dijelaskan oleh Abdullah Ahmed al-Na’im (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146):
“The author is referring here to the notion of hukm al-waqt, the dictates of the time, religion’s response to concrete social and economic circumstances, which is central to the author’s own thesis for the evolution of Islamic law”.
Penulis mengacu di sini pada gagasan hukm al-waqt, aturan-aturan waktu, respon agama terhadap keadaan sosial dan ekonomi yang konkret, yang merupakan inti dari tesis penulis sendiri untuk melakukan evolusi hukum Islam.
Lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa Thaha mewacanakan sebuah pembacaan terhadap teks yang tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu saat teks itu terjadi. Sebab menurut Thaha, ayat-ayat Makkiyah—sebagai segmen fundamental dan universal Islam—tidak bisa diberlakukan secara langsung (ditunda) pada konteks Islam masih dalam proses “menjadi”.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kesiapan umat Islam kala itu baik pada level individual maupun sosial. Faktor ini yang menuntut pemberlakuan ayat-ayat Madaniyah—sebagai jembatan sekaligus peralihan—menjadi lebih utama karena menanti kesiapan dari audiens atau umat Islam itu sendiri. Maka yang dimaksud oleh Thaha sebagai al-risālah al-’ūla ialah ayat-ayat Madaniyah yang bertujuan untuk membawa umat Islam siap memberlakukan bagian fundamental dan universal Islam yang tercermin dalam ayat-ayat Makkiyah atau yang disebut sebagai al-risālah al-tsāniyah (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Melalui deskripsi ringkas tersebut, dapat dipahami bahwa Mahmoud Muhammad Thaha sama sekali tidak mengatakan secara tegas bahwa ayat-ayat Makkiyah menghapus ayat-ayat Madaniyah. Namun dari uraian abstraksinya mengenai konsep Makkiyah-Madaniyah, dapat dicerna bahwa ia memiliki intensi untuk mengatakan hal tersebut.
Meskipun begitu, ia juga menuturkan bahwa Islam dalam proses “menjadi”, sangat berkaitan dengan kesiapan umat Islam dalam merealisasikannya, sehingga pemberlakuan al-risālah al-tsāniyah tidak bisa secara instan melainkan melalui pemberlakuan al-risālah al-‘ūla terlebih dahulu. Menariknya, ia mengatakan bahwa saat ini beberapa kasus yang merujuk pada al-risālah al-‘ūla secara integral sudah tidak relevan, seperti halnya jihad, ketidaksetaraan gender, perbudakan, poligami maupun lainnya (Thaha, 1969: 129-139) (Naim, 1987: 124-146).
Tulisan ini hanyalah pengantar. Maka bagi yang berminat untuk mengkaji pemikiran Mahmoud Muhammad Thaha secara lebih komprehensif, silakan unduh karyanya secara gratis dengan meng-klik tautan ini: al-Risālah al-Tsāniyah min al-Islām dan The Second Message of Islam.