Audre Lorde, seorang aktivis dan feminis Amerika Serikat, memperkenalkan konsep “womenisme” sebagai respons terhadap keterbatasan feminisme dalam mempertimbangkan pengalaman perempuan kulit hitam dan kelompok minoritas lainnya. Womenisme tidak hanya menekankan kesetaraan gender, tetapi juga mengakui dan memperjuangkan keberagaman dalam pengalaman perempuan, termasuk aspek-aspek seperti ras, seksualitas, dan kelas sosial. Lorde menegaskan pentingnya menggabungkan semua aspek identitas ini dalam perjuangan untuk mencapai keadilan gender.
Lorde menekankan beberapa prinsip inti yang merupakan landasan dari pandangannya terhadap perjuangan kesetaraan gender. Ia memandang bahwa semua bentuk penindasan, termasuk seksisme, rasisme, dan kelas sosial, saling terkait. Baginya, untuk menciptakan perubahan yang nyata dalam masyarakat, penting bagi individu untuk bersikap proaktif dalam memperjuangkan keadilan (Yoce Aliah Darma & Sri Astuti, Pemahaman Konsep Literasi Gender, 56-57).
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pentingnya solidaritas di antara perempuan dari berbagai latar belakang adalah krusial dalam memperkuat gerakan feminis. Lorde menilai feminisme telah gagal mengakui kompleksitas pengalaman individu, serta menciptakan pemahaman yang sempit tentang perempuan. Karena itu, dalam konteks ini Lorde lebih memilih konsep womanisme yang menekankan pentingnya merangkul dan mengakui pengalaman unik perempuan kulit hitam dalam wacana feminis.
Dengan menguatkan suara dan pengalaman individu yang terpinggirkan, Lorde mendorong feminisme yang lebih inklusif dan interseksional, yang mengakui keterkaitan antara berbagai bentuk penindasan dan berupaya untuk mengatasinya. Karya-karya Lorde membangkitkan kesadaran kritis terhadap adanya bias dalam gerakan feminis. Dengan demikian, pandangan Lorde mengingatkan akan potensi transformatif dalam merangkul perbedaan sebagai sumber kekuatan dan persatuan, daripada pemisahan atau pembagian pada skat-skat tertentu.
Pandangan Lorde tersebut menunjukkan bahwa salah satu kritik terhadap gerakan feminisme adalah ketidakmampuan feminisme untuk memperjuangkan kepentingan perempuan dari latar belakang yang berbeda secara kultural dan rasial (Wayne Morrison, Yurisprudensi: Memahami Yurisprudensi Feminis, hal. 56). Feminisme sering kali dianggap terlalu terfokus pada pengalaman perempuan kulit putih kelas menengah, yang mengabaikan atau bahkan menindas pengalaman dan perspektif perempuan dari kelompok minoritas.
Selain itu, Lorde menyoroti kecenderungan para feminis Barat yang dinilai telah mempersempit definisi perempuan hanya berdasarkan pada pengalaman mereka sendiri, mereka secara tidak sadar memarjinalkan dan menjauhkan perempuan berkulit hitam, menjadikan mereka sebagai “asing” atau “yang lain”. Ia meyakini bahwa konsep womenisme lebih mengakomodir inklusivitas dan keadilan terhadap perempuan dari berbagai ras, suku dan identitas lainnya.
Konsep ini diperkenalkan dalam literatur kritis rasial dan gender sebagai cara untuk menjelaskan bagaimana kebijakan dan struktur sosial yang didominasi oleh kelompok ras kulit putih cenderung memperlakukan kelompok lain secara tidak adil, sementara individu kulit putih sering kali tidak menyadari atau mengakui hak istimewa (privilege) mereka dalam situasi tersebut.
Hak istimewa mengacu pada keuntungan dan akses yang diperoleh secara tidak langsung atau tidak disadari oleh perempuan hanya karena mereka memiliki kulit putih. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti akses yang lebih mudah ke pendidikan berkualitas, pekerjaan yang lebih baik, dan perlakuan yang lebih adil dalam berbagai aspek.
Hak istimewa ini menurut Lorde sering kali membuat perempuan kulit putih tidak menyadari atau mengakui keuntungan ini, dan ini dapat mengaburkan pemahaman mereka tentang ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan dari latar belakang ras dan budaya yang berbeda. Mereka cenderung menganggap pengalaman mereka sebagai representasi universal dari pengalaman perempuan secara keseluruhan, sehingga menciptakan ketidaksetaraan di dalam gerakan feminis itu sendiri
Dalam “Age, Race, Class, and Sex: Women Redefining Difference” yang ditulis oleh Audre Lorde terdapat sejumlah konsep yang membentuk landasan pemikirannya tentang kesetaraan gender (Audre Lorde, Age, Race, Class and Sex: Women Redefining Difference, 1-7), antara lain:
Pertama, Stereotipe dan simplistic opposition. Stereotipe mengacu pada gambaran yang umumnya dipahami atau diterima tentang suatu kelompok tertentu. Sementara “simplistic opposition” merujuk pada cara pandang yang cenderung memandang perbedaan manusia secara biner, tanpa memperhatikan kompleksitas individu atau kelompok. Hal ini mencerminkan upaya untuk memudahkan persepsi tentang dunia dengan mengkategorikan orang ke dalam kelompok-kelompok yang sederhana dan seragam.
Kedua, Penolakan, Peniruan, dan Penghapusan Perbedaan (Rejection, Impersonation, and Destruction of Differences). Lorde mengidentifikasi tiga respons umum terhadap perbedaan manusia dalam budaya Barat Eropa. Pertama, penolakan perbedaan, di mana individu atau masyarakat memilih untuk mengabaikan atau menyangkal keberadaan perbedaan tersebut. Kedua, peniruan perbedaan, di mana individu cenderung meniru atau menyesuaikan diri dengan perbedaan yang dianggap dihormati atau dianggap superior. Ketiga, penghapusan perbedaan. Perbedaan yang dianggap “lebih rendah” atau tidak diinginkan dihilangkan atau dipermalukan.
Ketiga, “Ism” dan Mythical Norm (Norma Mitos). Lorde menggunakan konsep “ism” untuk merujuk pada sistem penindasan atau dominasi tertentu, seperti rasisme, seksisme, atau elitisme. Konsep ini menyoroti bahwa ketika suatu kelompok diistimewakan, hal itu menghasilkan pengucilan atau penindasan terhadap kelompok lain yang dianggap “lain”.
Sementara itu, “mythical norm“ mengacu pada gambaran ideal atau standar yang dianggap normatif dalam suatu budaya atau masyarakat. Dalam konteks Lorde, norma mitos adalah pandangan tentang bagaimana seharusnya tubuh atau identitas manusia terlihat atau berperilaku, yang sering kali mengesampingkan atau mengecilkan kelompok-kelompok yang berbeda dari norma tersebut.
Pertautan antara Womenisme Audre Lorde dan Ajaran Al-Qur’an
Al-Qur’an, sebagai pedoman utama bagi umat Islam, menyampaikan pesan-pesan yang jelas tentang keadilan gender. Surah Al-Hujurat ayat 13 secara khusus menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia dalam beragam bentuk dan identitas agar mereka dapat saling mengenal dan memahami satu sama lain.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat/49: 13)
Dalam konteks keadilan gender, ayat ini mengimplikasikan bahwa perbedaan gender dan identitas manusia bukanlah alasan untuk melakukan diskriminasi atau menunjukkan superioritas satu kelompok atas kelompok lain. Sebaliknya, keragaman ini adalah bagian integral dari rancangan Ilahi agar manusia saling melengkapi dan membangun hubungan yang harmonis di antara mereka. Dengan demikian, Al-Qur’an memperkuat nilai-nilai inklusivitas, penghargaan terhadap keberagaman, dan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi dalam konteks apapun.
Meskipun womenisme Audre Lorde dan ajaran Al-Qur’an berasal dari latar belakang dan konteks yang berbeda, keduanya memiliki banyak pertautan yang menarik. Keduanya menekankan pentingnya kesetaraan intrinsik antara semua manusia, tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, ras, atau latar belakang lainnya. Baik Lorde maupun Al-Qur’an menolak pandangan yang memposisikan laki-laki atau perempuan dari ras atau suku tertentu sebagai standarisasi kemuliaan seseorang.
Kesimpulan
Diskursus feminisme dalam perjuangan kesetaraan gender, penting untuk mempertimbangkan berbagai perspektif, termasuk kritik konstruktif yang ditawarkan oleh womenisme Audre Lorde. Dengan menggabungkan konsep-konsep ini dengan pesan-pesan keadilan gender dalam Al-Qur’an, kita dapat memperluas dan memperdalam pemahaman kita tentang tantangan dan potensi dalam memperjuangkan keadilan gender.
Referensi
Darma, Yoce Aliah & Sri Astuti, Pemahaman Konsep Literasi Gender, Tasikmalaya: Langgam Pustaka, 2022.
Lorde, Audre. Age, Race, Class and Sex: Women Redefining Difference, California: Sister Outsider Crossing Press, 1984.
Morrison, Wayne. Yurisprudensi: Memahami Yurisprudensi Feminis, diterjemahkan oleh Khozim dari judul “Jurisprudence: from the Greek to Post-modernism,” Bandung: Nusamedia, 2021.