Refleksi Qs. Ar-Rum: 14 dan Kepunahan Holosen: Alarm Bahaya bagi Umat Manusia

Kepunahan Holosen sebagai Kepunahan Terbesar

Kepunahan massal di bumi telah ada sejak masa purba dan sudah terdapat enam jenis kepunahan. Kepunahan keenam atau periode terakhir terjadi sejak 10.000 SM dan masih berlangsung hingga saat ini. Kepunahan massal ditandai dengan hilang atau punahnya berbagai spesies, salah satunya adalah burung dodo (Cowie, Bouchet, and Fontaine, 2022: 3).

Bacaan Lainnya

Tingkat kepunahan yang ada pada era holosen ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kepunahan alami. Dengan kata lain, kepunahan keenam merupakan kepunahan terbesar sepanjang sejarah bumi hingga saat ini. Jika kepunahan sebelumnya diakibatkan oleh fenomena alami, maka kepunahan keenam justru diakibatkan oleh aktivitas manusia yang merusak (Almond et al., 2022: 7).

Salah satu faktor pendorongnya yakni tingkat populasi manusia yang semakin tinggi sejak zaman es, sehingga tingkat kebutuhan manusia juga semakin meningkat, ditandai dengan perburuan binatang secara intensif. Perburuan secara intensif ini pada akhirnya berpengaruh terhadap jumlah populasi binatang (Cowie, Bouchet, and Fontaine, 2022: 3).

Selain itu, terjadi juga deforestasi setelah muncul lebih banyak lagi permukiman dan pertanian, pertumbuhan teknologi (domestikasi binatang) serta perubahan iklim akibat aktivitas manusia dalam menambah polusi bumi (misalnya, penggunaan mesin pabrik dan kendaraan bermotor di zaman modern).

Kerusakan ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan sumber daya dengan kebutuhan manusia yang semakin meningkat, bahkan bersama dengan adanya keserakahan. Misalnya, banyaknya kasus pertambangan ilegal (Zakaria, 2023) dan hutan gundul (Awaliyah and Azizah, 2024). Keseimbangan lingkungan menjadi terganggu dan pada akhirnya ekosistem di dalam hutan menjadi berkurang serta berujung kepunahan massal.

Frasa ketidakseimbangan ini agaknya lebih relevan digunakan karena menggambarkan tentang adanya ketimpangan kehidupan di bumi. Ketika manusia berbondong-bondong menghabiskan sumber daya, makhluk hidup lainnya justru kehilangan tempat tinggal (akibat hutan yang digunduli), kehilangan sumber makanan dari hutan, sekaligus menjadi target perburuan massal yang dilakukan manusia.

Memaknai QS. ar-Rum: 14

Sebagai kitab suci yang diturunkan sebagai pesan dari Allah SWT, al-Qur’an telah menyinggung persoalan lingkungan, yakni dalam QS. ar-Rum: 41 sebagai berikut.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Pada tekstualitas ayat di atas, terdapat satu kata yang mewakili kerusakan, yakni kata fasād. Kata fasād dalam kamus al-Ma’āni memiliki beberapa makna, yakni al-jadbu (kekeringan, tandus, gersang) dan al-qohthu (kekurangan hujan, kelaparan, kekeringan) (“Kamus Al-Ma’ani”, n.d.).

Selain itu, fasaād bisa juga dimaknai at-talfu yang berarti kerusakan, perusakan, membusuk jika berasal dari kata talafa-yatlafu. Namun, jika berasal dari kata ­talifa-yatlifu berarti dirusakkan, merusak, melusuhkan, membusukkan. Selain itu juga dapat diartikan al-‘atbu (kerusakan, kerugian, cacat, kelemahan dan kejahatan) (“Kamus Al-Ma’ani”, n.d.).

Menurut Ibnu Asyur, fasād bermakna kemanfaatan yang hilang sehingga memicu kemunculan krisis di bumi. Adapun ar-Razi memandang bahwa fasād merujuk kepada larangan merusak yang bersifat umum, yang mana standar kerusakannya berhubungan dengan maqa>s}id asy-sya>ri’ah, mencakup penjagaan agama, nafs atau jiwa, harta dan akal (Asyfia, 2024).

Sedangkan menurut al-Ashfahani, fasād dimaknai sebagai sesuatu baik sedikit atau banyak yang keluar dari keseimbangan. Dengan kata lain, adanya ketidakseimbangan darinya. Beberapa ulama lainnya memaknai fasād sebagai kemusyrikan. Namun, ulama kontemporer lebih banyak yang mengaitkannya dengan persoalan ekologi karena disebutkan tentang darat dan laut (al-barr wa al-bar) (Shihab, 2005: 76-79).

Apa pun pemaknaannya, pada intinya kata fasād ini merujuk kepada hal-hal yang telah rusak. Kata sebelumnya, yakni zhahara merupakan bentuk fi’il mādhi yang menunjukkan makna lampau sehingga ini menjadi sebuah isyarat bahwa kerusakan atau yang telah dirusakkan itu telah terjadi sejak masa lampau.

Kerusakan tersebut bahkan diakibatkan oleh tangan-tangan manusia sesuai dengan keterangan ayat di atas (kasabat aīdi an-nās). Padahal, dalam ayat lainnya disebutkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. al-Qasas: 77). Sebaliknya, Allah menyukai orang-orang yang berbuat muhsīn atau kebaikan (QS. al-Baqarah: 195).

Mengenai tangan-tangan manusia, Ibnu Asyur berpendapat bahwa sebelumnya Allah telah menciptakan keseimbangan atau keserasian di alam semesta, hingga keserasian itu menjadi hilang karena manusia berbuat buruk. Kerusakan atau ketidakseimbangan yang terjadi bahkan dapat memberikan dampak yang lebih buruk lagi. Hanya karena Allah memberikan rahmatnya, kerusakan itu dirasakan sebagian (ba’dh alladzī ‘amilū) (Shihab, 2005: 76-79).

Berdasarkan aspek kebahasaan tersebut, dapat dipahami bahwa para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang konteks kerusakan yang dimaksud dalam ayat. Namun, berbicara mengenai konteks, tidak cukup hanya menggunakan aspek bahasa, tetapi perlu juga aspek asbāb an-nuzūl.

Dalam khazanah keilmuan tafsir kontemmporer, asbāb an-nuzūl menjadi perangkat yang sangat membantu dalam menelusuri makna ayat. Bahkan, bukan hanya asbāb an-nuzūl yang bersifat riwayat (mikro), melainkan juga asbāb an-nuzūl makro yang memiliki cakupan lebih luas berkenaan dengan kondisi sosio-histori masyarakat Arab.

Ayat ini tidak memiliki asbāb an-nuzūl yang secara khusus berkenaan dengan kejadian tertentu. Dalam tafsir Al-Mishbah  dijelaskan bahwa para ulama tafsir memiliki perbedaan pandangan mengenai ayat ini. Beberapa ulama menyebutkan tentang kemusyrikan, sedangkan ulama lainnya menyebutkan kerusakan alam (Shihab, 2005: 76-79).

Adapun dalam Tafsīr al-Marāghī disebutkan bahwa ayat ini turun dengan menunjukkan isyarat tentang kerusakan bumi yang terjadi akibat banyaknya peperangan, pesawat dan kapal selam. Penyebabnya yakni ketika tidak ada lagi kesadaran diawasi oleh Allah SWT sehingga melupakan adanya hari pembalasan dan pada akhirnya manusia berbuat sewenang-wenang (al-Maraghi, 1974: 101-102)

Pemaknaan dalam tafsir di atas sejatinya bukan merupakan asbāb an-nuzūl, melainkan hanya keterangan penafsir mengenai makna ayat. Jika melihat pada konteks yang lebih luas (makro), masalah utama jazirah Arabia pada masa Rasulullah sebenarnya adalah kerusakan akhlak.

Fenomena seperti perbudakan, peperangan antar kabilah, pembunuhan anak perempuan, perlakuan perempuan seperti barang warisan dan sebagainya menjadi ciri khas tradisi atau kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah (Saeed and Gurusiddaiah, 2020: 94).

Dengan demikian, merujuk pada konteks ini, QS. ar-Rum: 41 seakan menyindir perilaku tidak berakhlaknya masyarakat Arab Jahiliyah meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan semua perilaku di atas, tetapi hanya menyebutkan redaksi umum berupa penggunaan kata darat dan laut (al-barr wa al-bar).

Jejak Kepunahan Holosen dalam QS. ar-Rum: 41

Salah satu fakta tentang ayat ini adalah penggunaan kata zhahara yang menunjukkan masa lampau sehingga kejadian fasād telah ada sejak dulu, yang mana relevan dengan kerusakan bumi pada permulaan 10.000 SM (Cowie, Bouchet, and Fontaine, 2022: 3). Di samping itu, jika melihat pada fakta bahwa al-Qur’an turun di Arab pada abad ke-7 M, pesan tersebut tetap harus dipahami sesuai dengan konteksnya.

Dalam kaidah al-Qur’an sebagai kitab suci yang shāli li kull zamān wa makān, maka pada dasarnya ayat ini menjawab problem kehidupan manusia dari masa ke masa. Pada konteks masyarakat Arab, kondisi sosialnya mengarah pada banyaknya peperangan antar suku atau kabilah, perbudakan, penyembahan berhala dan sebagainya (Saeed and Gurusiddaiah, 2020: 94). Fenomena ini relevan dengan pesan QS. ar-Rum: 41 pada masanya.

Akan tetapi, ketika berbicara pada konteks masa kini, kerusakan yang terjadi bukan sebatas peperangan, perbudakan, maupun masalah-masalah sosial lainnya, melainkan lebih banyak mengarah pada kerusakan yang bersifat ekologis. Dengan demikian, ayat ini jika dipandang dengan kacamata kontemporer juga relevan dengan persoalan lingkungan.

Al-Qur’an telah menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan sebagai tempat tinggal manusia. Hal ini bahkan dikuatkan dengan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ahmad, bahwa jika terjadi kiamat, sedangkan di tangan seseorang terdapat sebuah benih atau tunas, maka Rasulullah memerintahkan untuk menanamnya (Usman and Nasir, 2023: 54).

Hal yang lebih ringan seperti menanam pohon meskipun terjadi kiamat pun diberikan perhatian, terlebih lagi jika mencakup seluruh kehidupan di bumi. Maka, apa pun jenis kerusakan yang terjadi, baik secara sosial, ekonomi, politik, bahkan ekologi, pada dasarnya Islam melalui al-Qur’an dan as-Sunnah telah memberikan alarm atau peringatan kepada manusia.

Jejak-jejak kerusakan akibat perilaku manusia terekam dengan jelas dalam QS. ar-Rum: 41. Dengan demikian, sudah sepatutnya manusia menyadari bahwa perilaku buruknya dapat menimbulkan hal yang lebih besar. Pada tataran yang lebih ekstrem, bukan hanya kerusakan berupa kepunahan massal di bumi, melainkan juga kerusakan bagi alam semesta.

Referensi

Almond, Grooten, Juffe Bignoli, and Petersen. 2022. “Living Planet Report 2022: Building A Nature-Positive Society.” Gland, Switzerland.

Asyfia, Wildan Rifqi. 2024. “Tafsir Ekologi Surat Ar-Rum Ayat 41 Dan Al-Araf Ayat 56 Dengan Pendekatan Teori Aksiomatika Hassan Hanafi.” Kementrian Agama. 2024.

Awaliyah, Gumanti, and Nora Azizah. 2024. “Deforestasi Indonesia Masalah Besar, Capai 4,5 Juta Hektare Lahan Hutan Selama 2013-2022.” Republika. 2024. https://esgnow.republika.co.id/berita/s8qvcj463/deforestasi-indonesia-masalah-besar-capai-45-juta-hektare-lahan-hutan-selama-20132022.

Cowie, Robert H., Phillippe Bouchet, and Benoit Fontaine. 2022. “The Sixth Mass Extinction: Fact, Fiction or Speculation?” Biological Reviews: Cambridge Philosophical Society 97 (2).

“Kamus Al-Ma’ani.” n.d. https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/الفساد/.

Mustafa, Ahmad. 1974. Tafsir Al-Maragi. 21st ed. Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi.

Saeed, Hesham Mohammed Ghaleb, and Gurusiddaiah. 2020. “Jahiliyah in Arab Culture, Pre and Post Islam.” International Journal of Management and Social Science Research Review 7 (1).

Shihab, Quraish. 2005. Tafsir Al-Mishbah Jilid 11. 5th ed. Jakarta: Lentera Hati.

Usman, Abur Hamdi, and Mohd Norzi Nasir. 2023. “Analisis Wacana Hadis Tentang Penjagaan Alam Sekitar.” Hadis: International Refereed Academic Journal in Hadith Studies 13 (26).

Zakaria, Indra. 2023. “6.039 Kasus Ditangani Polda Kalsel, Kasus Tambang Ilegal Naik.” 2023. https://www.prokal.co/kalimantan-selatan/1773886290/6039-kasus-ditangani-polda-kalsel-kasus-tambang-ilegal-naik#google_vignette

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *