Dalam kajian Fiqh Klasik, ẖudūd biasa disebut sebagai ancaman hukuman yang ditetapkan bagi pelaku tindak pidana kejahatan (jināyat)/ al-‘uqūbah al-muqaddarah. Istilah ẖudūd berasal dari kata ẖadd yang secara etimologi bermakna batasan. Adapun yang termasuk ke dalam jarimah al-ẖudūd ada enam macam: 1) zina; 2) pencurian; 3) qadzf/ tuduhan zina; 4) syurb al-khamr/ konsumsi khamr; 5) hirabah/ perampokan atau pengacau keamanan; 6) riddah/ murtad—ada juga pendapat yang menambah al-baghy atau bughat sehingga menjadi tujuh.
Artikel ini akan menyajikan pandangan Abdullah Ahmed al-Na’im sebagai pembanding dari teori ẖudūd konvensional yang biasa dijumpai dalam karya-karya Fiqh Klasik. Al-Na’im dalam karyanya Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and Internasional Law menguraikan pandangannya terhadap teori ẖudūd yang senafas dengan prinsip ideal HAM serta hukum Internasional (Bagian Source, Definition, and Penological Justification of Hudud:107-115; Universal Human Rights in Islam: 179-181).
Ada beberapa bagian dari pemikirannya yang akan diuraikan dalam tulisan ini: 1) definisi ẖudūd dalam pandangan al-Na’im; 2) konstruksi logis teori ẖudūd versi al-Na’im; 3) Implikasi teori ẖudūd al-Na’im Pada Kasus Riddah.
Definisi ẖudūd Ahmed al-Na’im
Al-Na’im tidak secara eksplisit mendefinisikan ẖudūd, namun dalam karyanya dapat ditangkap apa yang dimaksud ẖudūd menurut versinya. Namun sebelumnya, ada poin yang perlu digarisbawahi bahwa pemikiran al-Na’im berakar pada kritiknya terhadap teori ẖudūd klasik yang meskipun berasal dari al-Qur’an, akan tetapi baginya, memiliki problem definisi yang serius. Al-Na’im mengurai dua ayat al-Qur’an sebagai pemantik awal pemikirannya (Q.S. Al-Nisa/4: 14 & Q.S. Al-Thalaq/65: 1) dan mengkonstruksi pondasi konsep ẖudūd-nya dengan uraian sebagai berikut:
One of fundamental questions in determining the number of ẖudūd and the definition of each hadd is the source from which they are derived: are they restricted only to those offenses for which the punishment is strictly prescribed by Sunna alone? The position taken by the majority of the founding jurists is that ẖudūd are offenses for which punishment is strictly prescribed by either Qur’an or Sunna.
…
In view of the extreme harshness of the prescribed punishments and the negative political consequences of their enforcement, I believe that is better, as a matter of principle as well as policy, to restrict the requirement of invariability of punishment of ẖudūd to those offenses for which the Qur’an provides the specific invariable punishment.
Berdasarkan uraiannya tersebut, al-Na’im lebih mengunggulkan ketentuan ẖudūd yang termaktub dalam al-Qur’an, sebab baginya ketentuan ẖudūd ialah ketentuan yang ditetapkan oleh Tuhan secara mandiri dan memiliki ukuran yang pasti. Konsekuensinya kemudian, Sunnah Nabi tidak masuk dalam kategori ketentuan ẖudūd yang absolut sehingga sifatnya marẖalī (temporal).
Bahkan meskipun begitu, baginya, dalam al-Qur’an masih terdapat ketentuan hadd yang sifatnya “kondisional” dan problematik dan membuka ruang untuk didiskusikan kembali yaitu pada kasus syurb al-khamr dan riddah. Sebab tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menyebutkan secara eksplisit ketentuan hukumnya secara spesifik. Maka berdasarkan temuannya ini, al-Na’im tidak memilih untuk memasukkan keduanya ke dalam bagian dari ẖudūd. Oleh karena itu, baginya, yang termasuk dalam kategori ẖudūd hanya empat yaitu zinā, sarīqah, hirābah dan qadzf.
Konstruksi Logis Teori ẖudūd Ahmed al-Na’im
Al-Na’im membangun konsepsi teoretisnya dengan mendasarkannya pada paradigma kemanusiaansebagai asas fundamental yang mapan atau qath’i. Baginya, selain yang menyangkut masalah ibadah, maka prinsip kemanusiaandapat menentukan hukum bahkan melampaui apa yang manshūsh di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Selain itu ada beberapa hal menarik yang dapat diuraikan dari pemikiran ẖudūd al-Na’im.
Pertama, al-Na’im memiliki kategorisasi jarīmah atau tindak pidana yang didasarkan pada hanya pada ketetapan yang bersumber dari al-Qur’an. Uraian lebih rinci mengenai hal ini telah dibahas pada bagian sebelumnya. Apa yang dilakukan oleh al-Na’im dalam hal ini merupakan bentuk reformulasinya terhadap teori ẖudūd yang dianggap telah mapan oleh sebagian kalangan intelektual Islam.
Kedua, ia juga berpendapat bahwa ketentuan hukuman yang diberikan kepada terdakwa ialah berada di bawah kewenangan hakim. Maka secara implisit ia tidak mendukung penerapan ẖadd sebagaimana yang termaktub al-Qur’an sebagai final.
Ketiga, secara lebih spesifik al-Na’im mengedepankan ketentuan HAM dan peraturan perundangan yang berlaku di suatu daerah. Pemikiran al-Na’im tidak bisa dilepaskan dari konteksnya yang berada di lingkup kesarjanaan Barat yang telah melakukan re-interpretasi atas hukum-hukum konvensional yang dianggap sebagai bagian dari Islam historis dan bukanlah sesuatu yang tsawabit (tetap, absolut, tidak berubah).
Apa yang ingin ditekankan oleh al-Na’im sebagaimana digambarkan pada poin ketiga sebenarnya ialah upaya untuk melakukan reformasi atas hukum pidana. Tendensi pandangan ahli hukum Islam yang berpegang pada konsep ẖudūd konvensional ialah pada aspek retribution (pembalasan)dan detterence (pencegahan), menurut al-Na’im tidak cukup relevan dengan konteks saat ini sehingga perlu ditambahkan aspek lainnya yaitu rasionalitas yang menekankan pada reformasi.
Keempat, paradigma universal kemanusiaan diperolehnya dalam teori nasakh terbalik yang dielaborasi dari gurunya Mahmoud Muhammad Thaha. Melalui teori nasakh ini seluruh ayat Madaniyah serta norma hukum yang diatur dalam syarî‘ah dan berlawanan bagi penegakan HAM, dinyatakan tidak berlaku (mansūkh). Sebagai penggantinya adalah dengan cara mengaktualisasikan ayat-ayat Makkiyah yang bersifat universal dan toleran sesuai dengan prinsip HAM.
Implikasi Teori ẖudūd al-Na’im dalam Kasus Riddah
Seperti pidana riddah, menurut an-Na‘im, penetapannya ke dalam jenis-jenis ẖudūd dianggap melanggar hak asasi kebebasan beragama karena al-Qur’an tidak menetapkan hukuman apa pun bagi pelaku riddah. Penggolongan riddah sebagai hukuman ẖadd yang bisa dihukum mati hanya merujuk kepada Sunnah. Ia juga menyatakan bahwa al-Qur’an memiliki otoritas dalam menetapkan aturan hukum lebih tinggi.
Di samping itu hadis-hadis yang menjelaskan pidana mati tersebut terkait dengan situasi tertentu, maksudnya hanya terbatas pada pelaku riddah yang memerangi Islam. Karena itu untuk menyingkirkan pelanggaran terhadap HAM, konsep hukum riddah dan semua konsekuensi perdata dan pidananya harus dihapuskan.