Reinterpretasi Masa ‘Iddah Dalam Islam

Masalah ‘‘iddah dalam hukum Islam menjadi diskursus yang seringkali menimbulkan kontroversi karena ada yang menilai tidak berpihak pada perempuan. Bagaimana tidak, hukum Islam terkait masa ‘iddah hanya berlaku bagi perempuan. Lebih lanjut, hukum masa ‘iddah secara mendasar telah mempersempit ekspresi, kebebasan, dan kreativitas perempuan dalam berkarir maupun dalam beraktivitas di luar rumah.

Persoalan ini menjadi semakin problematis dan diskriminatif lantaran berbanding terbalik dengan laki-laki yang bebas bergaul. Bahkan laki-laki yang menikah lagi setelah cerai tampak terlihat wajar dan biasa-biasa saja (Hidayati, 2018). Padahal perbedaan peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan di era saat ini tidak mudah untuk dijelaskan.

Bacaan Lainnya

Hukum ‘iddah bagi perempuan sudah tertulis dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 228, sebagaimana berikut ini:

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًاۗ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌࣖ

Artinya: Istri-istri yang diceraikan wajib menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru (suci atau haid). Tidak diperbolehkan bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam Rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Melainkan suami-suami yang memiliki kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Dari ayat di atas, terdapat sebuah pemahaman bahwa lamanya masa ‘iddah bagi perempuan berkaitan dengan proses untuk mengetahui apakah di dalam rahim istri berisi janin atau tidak. Masa ‘iddah juga dimaksudkan agar pasangan suami dan istri yang sudah berada di fase talak namun masih memungkinkan untuk rujuk, dapat kembali memikirkan ulang mengenai keputusan mereka untuk berpisah.

Meskipun demikian diskursus masa ‘iddah bagi perempuan memunculkan pertanyaan baru yang perlu dijawab dan didiskusikan lebih lanjut: apakah masa ‘iddah hanya berlaku untuk perempuan? Dengan bahasa lain, apakah benar laki-laki tidak memiliki masa ‘iddah sebagaimana yang berlaku untuk perempuan?

Pertanyaan tersebut merefleksikan tentang proses reinterpretasi atas masalah masa ‘iddah dalam Islam. Proses reinterpretasi ini bersifat penting dan mendesak karena dua hal. Pertama, masa ‘iddah cenderung dipahami sepihak dan hanya berlaku untuk perempuan. Kedua, hukum Islam mengenai masa ‘iddah tampak terlihat mengabaikan fungsi teknologi dalam konteks mengetahui rahim perempuan apakah sudah berisi atau masih kosong.

Masa ‘Iddah bagi Laki-laki dalam Islam

Makna ‘iddah secara bahasa berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan, kata al-‘adad merupakan bentuk mashdar dari kata kerja ‘adda-ya’uddu, yang artinya menghitung. Pada praktiknya, masa ‘iddah diberlakukan ketika ada seorang pasangan suami istri yang telah berpisah, baik perpisahan karena perceraian atau juga akibat meninggal dunia.

Berdasarkan kontektualisasi dan maqāshid pada ayat yang menerapkan tentang ‘iddah. Laki-laki tetap tidak bisa melakukan ‘iddah. Hal ini disebabkan Karena seorang laki-laki tidak bisa melahirkan atau tidak mempunyai rahim yang menjadi salah satu maqāshid diberlakukannya ‘iddah untuk perempuan.  (Nasution, 1999)

Tidak sebatas pada persoalan tersebut yang menjadi alasan laki-laki tidak melakukan ‘iddah. Ketika wanita sedang menjalani ‘iddah, sang mantan suami juga tetap harus memeberikan nafkah untuk sang istri. Meskipun, hal ini bisa dibantah dengan adanya wanita karier di zaman moderen ini.

Dari penjelasan di atas meskipun dikatakan kalau laki-laki tidak melakukan ‘iddah, tapi, ada beberapa sebab yang menjadikan laki-laki harus melakukan hal yang menyerupai ‘iddah atau ulama’ klasik menyebutnya dengan sebutan “syibh al-‘iddah”. Di antara masa tunggu laki-laki untuk melakukan menikah lagi. (Masyhuda, 2020)

Adapun yang dimaksudkan dengan syibh al-‘iddah ialah masa tunggu laki-laki karena telah menceraikan istrinya. Dengan demikian, masa ‘iddah tidak hanya berlaku untuk perempuan atau istri, melainkan juga berlaku bagi laki-laki meskipun konsepnya adalah memperkuat sikap toleransi atau tenggang rasa.

Terminologi syibh al-‘iddah diperkenalkan oleh Wahbah Zuhaili sebagai bentuk implementasi dari sikap toleransi atau tenggang rasa dan memang sudah ada sejak lama. Secara sederhana pengertian syibh al-‘iddah adalah suatu hal yang menyerupai ‘iddah (Wahyudi, 2009). Dalam hal ini, terdapat beberapa contoh dan alasan mengapa masa ‘iddah juga berlaku untuk laki-laki.

Pertama, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak raj’i, lalu dia ingin menikah dengan perempuan yang se-maẖram dengan istrinya yang diceraikan, misalnya adik perempuan si istri, maka laki-laki tersebut tidak boleh menikahi adik perempuan tersebut sebelum masa ‘iddah yang dilakukan oleh istri yang dicereaikan selesai.

Kedua, jika seorang laki-laki memiliki empat istri, lalu dia menceraikan salah satu istrinya dan dia ingin menikah dengan perempuan lain atau perempuan ke lima, maka dia harus menunggu masa ‘iddah istri yang diceraikannya selesai. Baru setelah masa ‘iddah istri yang diceraikan selesai, maka, diperbolehkan untuk menikah lagi.  (Zuhaili, 1996)

Reinterpretasi Ayat tentang Masa ‘iddah

Dalam ayat di atas diperoleh sebuah pengertian bahwa ‘illat diberlakukannya ‘iddah, ialah karena alasan memeriksa rahim perempuan masih kosong atau sudah berisi. ‘Iddah memberikan waktu bagi suami untuk memikirkan kembali apakah akan menjalin hubungan kembali dengan istri atau tetap mantap dengan keputusannya untuk menceraikan istrinya.  (Hidayati N. F., 2018)

Meskipun ‘illat tersebut adalah yang paling banyak dijadikan dasar untuk melihat hukum diberlakukannya ‘iddah untuk wanita yang telah berpisah dengan suami, tapi hal tersebut masih berbentuk kemungkinan bukan berupa kepastian. Karena, kalimat “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” Merupakan kalimat khabar dengan makna perintah.  (Indar, 2010)

Pada dasarnya, penulis meyakini bahwa salah satu maqāshid dan ‘illat dalam ‘iddah adalah untuk membaskan rahim istri. Meskipun dalam Al-Qur’an maupun sunnah tidak menyatakan hal tersebut. Maqashid dan ‘illat tersebut hasil dari pemahaman para ulama salaf yang diikuti oleh ulama modern dan tidak bisa dinafikan kembali terkait kewajiban ‘iddah yang sudah mutlak.  (Shabaz, 2005)

Menurut penulis maqāshid dan ‘illat yang didapat bisa memperkuat pendapat sebelumnya. Sebab, ‘iddah untuk membuktikan berisi atau tidaknya rahim di zaman serba modern dan juga berkembangnya kecanggihan alat teknologi mulai diragukan. Adapun maqāshid dan ‘illat yang dapat memperkuat pendapat sebelumnya adalah tentang pendekatan yang lebih psikologis.

‘Iddah—sebagai bagian dari hukum Islam, dan psikologi adalah keilmuan yang sama-sama berorientasi mentertibkan kehidupan individu. Misalnya dalam kajian ‘iddah terdapat masa tunggu yang memberikan peluang bagi masing-masing pasangan untuk saling intropeksi, di mana intropkesi diri ini merupakan salah satu cabang dan aktifitas dalam kajian psikologi.

Bagi suami yang telah menceraikan istrinya diberikan kesempatan untuk menghayati hakikat dari perkawinan yang sakral sehingga diharapkan untuk dapat kembali pada istrinya. Sementara bagi istri yang menjalani masa ‘iddah dengan ikhlas menunjukkan adanya rasa saling menghargai kepada suami meskipun telah berpisah.

Pendekatan yang lebih bersifat psikologis ini berfungsi untuk menegaskan dan mendukung konsep ‘iddah yang seiring berjalannya waktu dianggap sudah tidak relevan lagi karena beberapa maqāshid ‘iddah terdahulu seperti pembebasan rahim dapat digantikan kedudukannya dengan alat tekhnologi kedokteran. (Haika, 2016)

Padahal Al-Qur’an telah mengatur secara jelas kewajiban ‘iddah bagi istri, sementara maqāshid ‘iddah merupakan hasil dari ijtihad para ulama yang bersifat zhanny dan tidak disebutkan dalam Al-Qur’an ataupun Hadis. Dalam hal ini tidak mungkin sesuatu yang masih berupa asumsi dan bersifat zhanny dapat menghapus aturan yang berupa perintah secara jelas dan bersifat qath’iy.

Maka dari itu penggunaan kajian psikologi di sini bukanlah untuk merubah aturan ‘iddah yang telah diatur oleh nash. Melainkan, sebagai kajian pendukung untuk menggali maqāshid dan ẖikmah dalam syariat ‘iddah yang dapat terus berkembang seiring semakin majunya ilmu pengetahuan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena sebagai aturan hukum, ‘iddah harus memiliki fitur kognitif, wholeness dan terbuka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Haika, R. (2016). Konsep Qath’i Dan Zhanni Dalam Hukum Kewarisan Islam. Mazahib: Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. 15, No. 2, hal 187.

Hidayati, N. F. (2018). Tinjauan Gender Terhadap Konstruksi ‘‘iddah dan Ihdad dalam kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pasaca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.

Indar. (2010). ‘iddah dalam Keadilan Gender. YINYANG, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, Vol. 5, No. 1, hal 61.

Masyhuda, A. A. (2020). Pengaplikasian Teori Double Movement Pada Hukum ‘iddah Untuk Laki-Laki. HERMENEUTIKA, Vol. 4, No. 1.

Nasution, H. (1999). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Van Hoeve.

Shabaz, A. (2005). Islam and Feminism: Theory, Modeling, and Application, Membela Perempuan: Menakar Feminism dengan Nalar Agama. Jakarta: Penerbit Al-Huda.

Wahyudi, M. I. (2009). Fiqh ‘iddah : Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Zuhaili, W. (1996). al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII. Damaskus: Dar alfikr.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *