Dalam perjalanan sejarah umat manusia, kitab suci berfungsi sebagai corpus rekaman yang tidak hanya mencatat peristiwa masa lalu, tetapi juga sebagai media penyebaran wahyu Tuhan. Kitab-kitab suci yang dihormati dan diimani oleh berbagai agama ini, kemudian disalin dan diterjemahkan dari generasi ke generasi. Di antara tradisi keagamaan Semitik, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, Al-Qur’an adalah kitab suci termuda dengan usia sekitar 1500 tahun (Smith, 2005).
Hadirnya Al-Qur’an lebih muda dari kitab-kitab sebelumnya, telah memunculkan perdebatan para sarjanawan, terkait hubungan Al-Qur’an dengan kitab-kitab lain dalam tradisi Semitik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pandangan orientalis, misalnya Abraham Geiger, berpendapat bahwa Al-Qur’an merupakan refleksi dari kitab Yahudi, mencerminkan pengaruh-pengaruh yang signifikan dari tradisi tersebut dalam narasi dan ajaran-ajarannya (Mahfudin, 2021).
Geiger mengemukakan bahwa banyak cerita, hukum, dan konsep teologis dalam Al-Qur’an memiliki kemiripan dengan yang ditemukan dalam Taurat (Taufikurrahman, 2020). Pandangan ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an tidak hanya berdiri sendiri sebagai wahyu baru, tetapi juga terlibat dalam dialog dengan teks-teks sebelumnya, mengadaptasi dan mereformulasi ide-ide tersebut sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat Arab pada abad ketujuh. Pandangan ini juga senada dengan beberapa orientalis lain, seperti Manneval, Tor Andrae, Richard Bell, Theodor Noldeke dan lainnya (Mahfudin, 2021).
Di sisi lain, terdapat pula sarjana yang meneliti hubungan antara Al-Qur’an dan Bible. Salah satu tokoh tersebut adalah Reuven Firestone, yang berpendapat bahwa Al-Qur’an menunjukkan ketegangan yang serupa dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Firestone menekankan bahwa Al-Qur’an memiliki banyak kesamaan dan paralel dengan Bibel Ibrani dan Perjanjian Baru. Menurutnya, kemunculan Al-Qur’an dengan narasi dan ajaran yang serupa ini menunjukkan bahwa teks-teks suci terdahulu, seperti Bible, berperan sebagai subteks yang mempengaruhi Al-Qur’an. Tanpa adanya kitab-kitab suci sebelumnya, banyak elemen dalam Al-Qur’an mungkin tidak akan muncul dalam bentuk yang dikenal saat ini (Firestone, 2003).
Berbeda dari mainstream kajian kesarjanaan Barat, Gabriel Said Reynolds hadir membawa lensa terang dalam melihat kajian kritik Al-Qur’an. Ia menilai bahwa para sarjana Al-Qur’an Eropa secara universal telah terjebak dalam penerimaan begitu saja (taken for granted) informasi yang mengaitkan antara Al-Qur’an dengan sirah Nabi Muhammad. Hal ini membuat penelitian mereka lebih berfokus pada penentuan kapan, di mana, dan bagaimana Nabi Muhammad mempelajari ajaran Yahudi dan Kristen sehingga menghasilkan Al-Qur’an (Reynolds, 2010). Reynolds berpendapat, Al-Qur’an harus diapresiasi mengingat interaksinya dengan literatur-literatur terdahulu, khususnya literatur Al-Kitab/Bible. Meskipun tradisi Islam dan tradisi keilmuan kritis cenderung memisahkan Al-Qur’an dan Al-Kitab, Reynolds menegaskan bahwa Al-Qur’an sendiri mengharuskan kita untuk melihat keduanya sebagai satu kesatuan. Hubungan harmonis inilah yang kemudian disebut oleh Mun’im Sirry sebagai “Benci Tapi Rindu.”
Homili Al-Qur’an: Tawaran Gabriel Said Reynold dalam Pembacaan Al-Qur’an
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), homili didefinisikan sebagai khotbah yang berkaitan dengan kitab suci (KBBI Daring, n.d.). Sementara itu, Cambridge Dictionary menjelaskan homili sebagai nasihat lisan atau tulisan tentang bagaimana seseorang harus berperilaku. Istilah homili banyak digunakan dalam kalangan umat Kristen, dan kata ini muncul dalam beberapa bagian Perjanjian Baru, yakni Lukas 24:14 dan 15, serta Kisah Para Rasul 20:11 dan 24:26 (Haiva Satriana Zahrah, 2024).
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an, istilah homili diperkenalkan oleh Gabriel Said Reynolds sebagai metode pembacaan yang menekankan analisis pola keterhubungan Al-Qur’an dengan teks-teks keagamaan sebelumnya, khususnya kitab suci Kristen dan Yahudi. Menurutnya, pendekatan ini memberikan wawasan yang lebih kaya dan mendalam dibandingkan dengan penafsiran yang semata-mata didasarkan pada tafsir-tafsir abad pertengahan. Reynolds tidak bermaksud menolak sepenuhnya kontribusi para mufassir, tetapi ia menegaskan bahwa penafsiran tersebut tidak seharusnya dijadikan dasar utama dalam studi kritis modern terhadap Al-Qur’an. Sebaliknya, ia menganjurkan agar Al-Qur’an dipahami dalam kerangka dialog dengan tradisi kitab suci yang lebih tua, yang menurutnya dapat membuka dimensi-dimensi baru dalam pemahaman terhadap teks Al-Qur’an (Reynolds, 2010). Pendekatan ini tidak hanya memperkaya interpretasi tetapi juga membantu menempatkan Al-Qur’an dalam konteks sejarah dan teologis yang lebih luas.
Pendekatan ini mengubah sekaligus membantah arah pembacaan filologis yang sering kali terlalu terfokus pada pencarian asal-usul Al-Qur’an, sehingga menyimpulkan bahwa Al-Qur’an hanyalah merupakan salinan dari Bibel. Tawaran yang dibuat oleh Reynolds juga memperkaya pemahaman baru di Barat, khususnya di kalangan orientalis, tentang status Al-Qur’an dalam konteks hubungannya dengan Bibel. Sebagaimana disampaikan oleh Angelika Neuwirth, studi Al-Qur’an di Barat mengalami stagnasi, dan tampaknya pintu interpretasi kritis telah tertutup, yang menyoroti pentingnya tawaran Reynolds (Ulummudin & Su’di, 2019).
Reynolds sendiri mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi ini, yang menyebabkan para peneliti hanya mengulangi premis yang telah diajukan oleh sarjana sebelumnya. Pendekatannya memberikan semangat baru. Kebaruan dari pendekatan Reynolds terlihat dalam upayanya untuk menempatkan Al-Qur’an dalam kedudukan yang setara dengan kitab suci umat Yahudi dan Nasrani, berbeda dari pandangan sebelumnya yang hanya menganggapnya sebagai tiruan yang dibuat oleh Nabi Muhammad.
Angelika Neurwith dalam artikelnya mengutip tulisan Gabriel Said Reynolds Reading the Qur’an as Homiliy: The Case of Sarah’s Laughter, menampilkan satu contoh implementasi dari hubungan homilitik Al-Qur’an dan Bible (Neuwirth, 2010), melalui kasus dari kisah tertawanya sarah dalam QS. Hud ayat 69-72:
Sungguh, utusan Kami (malaikat) benar-benar telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira. Mereka mengucapkan, “Selamat.” Dia (Ibrahim) menjawab, “Selamat.” Tidak lama kemudian, Ibrahim datang dengan membawa (suguhan) daging anak sapi yang dipanggang. Ketika (Ibrahim) melihat tangan mereka tidak menjamahnya, dia mencurigai dan memendam rasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut! Sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut (untuk menghancurkan mereka).” Istrinya berdiri, lalu tersenyum. Kemudian, Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan setelah Ishaq (akan lahir) Ya‘qub (putra Ishaq). Dia (istrinya) berkata, “Sungguh mengherankan! Mungkinkah aku akan melahirkan (anak) padahal aku sudah tua dan suamiku ini sudah renta? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang ajaib.”
Dalam Genesis 18: 1-2 juga ditemukan kisah yang serupa tentang Sarah, sebagaimana disebutkan:
Yahweh menampakkan diri pada Ibrahim di Oak Mamre ketika ia sedang duduk di depan tenda selama tengah hari yang panas. Ibrahim lalu mendongak dan dilihatnya tiga orang berdiri di dekatnya.
Beberapat mufassir terkemuka semisal At-Thabari, Ibn Katsir, Muqatil bin Sulaiman, dan Zamakhsari, menjelaskan ayat di atas dengan beragam penafsiran. Kendati demikian, mereka belum sampai pada kesimpulan bahwa Sarah tertawa sebab kabar gembira akan kelahiran Ishaq. Melihat persoalan ini, Reynolds mengomentari bahwa perbedaan penafsiran tidak akan terjadi jika mereka mengamati kitab suci Yahudi sebagaimana yang termaktub dalam Genesis 18: 12, yang menyebutkan penyebab tertawanya Sarah adalah disebabkan oleh kabar gembira akan kelahiran Ishaq (Reynolds, 2010).
Meskipun kisah tentang kedatangan tamu Ibrahim ditemukan dalam kedua kitab suci tersebut, Al-Qur’an memberikan pendekatan unik dengan model ungkapannya sendiri. Al-Qur’an tidak mengadopsi narasi secara langsung seperti yang dijelaskan dalam Bibel. Banyak detail yang ada dalam cerita tersebut, seperti pohon oak, tenda, hawa terik, dan jumlah utusan yang datang, tidak diungkapkan oleh Al-Qur’an (Ulummudin & Su’di, 2019).
Oleh karena itu, menurut pandangan Reynolds, tidaklah cukup untuk menyimpulkan bahwa Al-Qur’an melakukan “peminjaman” atau sekadar menceritakan kembali isi dari Bibel, seperti yang sering dituduhkan oleh beberapa sarjana Barat. Bahkan, terdapat indikasi bahwa Al-Qur’an tidak bermaksud untuk menceritakan kembali kisah tersebut secara detail, melainkan menggunakan kisah itu sebagai referensi dan mengomentarinya, seringkali menjadikannya sebagai kiasan untuk menyampaikan pesan-pesan yang lebih luas (Reynolds, 2010). Pendekatan ini menegaskan keunikan Al-Qur’an dalam penyampaian pesan-pesannya, yang berbeda dari cara penyampaian dalam kitab suci lainnya.
Daftar Pustaka:
Firestone, R. (2003). The Qur’an and the Bible: Some Modern Studies of Their Relationship. In Bible and Qur’an: Essays in Scriptural Intertextuality. Society of Biblical Literature.
Haiva Satriana Zahrah. (2024). Epistemologi Pemikiran Gabriel Said Reynolds tentang Konsep Homili Al-Qur’an. Jurnal Studi Al-Qur’an, 20(1), 21–34. https://doi.org/10.21009/jsq.20.1.03
KBBI Daring. (n.d.). Retrieved October 20, 2022, from https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/radikalisme
Mahfudin, M. (2021). Muhammad dan Orisinalitas Al-Quran dalam Pandangan Abraham Geiger. MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 6(1), 135–150. https://doi.org/10.24090/maghza.v6i1.4547
Neuwirth, A. (2010). The Quran in Context, Historical and Literary Investigation into the Quranic Milieu. 6.
Reynolds, G. S. (2010). The Qur’an and Its Biblical Subtext. Routledge.
Smith, W. C. (2005). Kitab Suci Agama-agama (D. Iswadi (Trans.)). Teraju.
Taufikurrahman. (2020). Pemikiran Abraham Geiger Terhadap Al-Qur’an. Al-Mubarak: Jurnal Kajian Al-Qur’an Dan Tafsir, 5(2), 22–27.
Ulummudin, U., & Su’di, M. Z. (2019). MEMBACA ALQURAN SEBAGAI HOMILI: Mendialogkan Antara Alquran Dan Bibel. Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, 7(02), 257. https://doi.org/10.24235/diyaafkar.v7i02.5800