Nāsikh-Mansūkh dari Masa ke Masa: Dinamika Perdebatan Makna, Jumlah Ayat, Hingga Eksistensi

Konsep tentang adanya penghapusan hukum ayat Al-Qur’an dengan ayat lain alias nāsikh mansūkh tidak hanya dibahas pada disiplin ilmu uṣūl fiqh. Bahasan ini juga menjadi isu sentral di semesta ‘ulūmul qur’ān. Bila ditelusuri lebih lanjut dan tidak hanya mengandalkan rujukan arustama macam al-Itqān milik al-Suyūṭī (w. 911 H.), pemikiran soal nāsikh mansūkh sangat variatif dan berkembang, tidak stagnan.

Bahkan tidak sedikit ulama masa lalu serta masa kini mempertanyakan keberadaan nasakh dalam Al-Qur’an. Seperti tertera pada judul, tulisan ini akan menjelajahi ragam pendapat ulama mengenai nāsikh-mansūkh dalam rentang sejarah mulai dari definisi, jumlah ayat, hingga eksistensinya dalam Al-Qur’an.

Bacaan Lainnya

Nasakh Era Sahabat dan al-Syāfi‘ī

Term nasakh (nūn sīn khā’) sebagai salah satu perangkat untuk memahami Al-Qur’an telah dikenal sejak era Sahabat. Tidak jarang, di banyak riwayat secara tegas Sahabat Nabi menyatakan ayat ini telah di-nasakh oleh ayat ini.

Namun demikian, istilah nasakh di generasi awal muslim tersebut berbeda sama sekali dengan pemahaman para pakar uṣūl fiqh terutama setelah masa al-Syāfi‘ī (w. 204 H.). Konsep nāsikh-mansūkh ala Sahabat belum spesifik lebih-lebih kompleks seperti diskursus ulama pasca al-Syāfi‘ī (Muṣṭafa Zayd, 1987: 1/55).

Terkait ini, Al-Syāṭibī (w. 790 H.) menjelaskan bahwa generasi Sahabat dan Tābi‘īn menggunakan term nasakh secara luas dan umum. Mereka tetap menyebut nasakh pada tataran teks Al-Qur’an yang dipahami generasi setelahnya hanya sebatas taqyīd dari teks yang muṭlaq, takhṣīṣ dari yang ‘am. Bahkan sekadar penjelas (bayān) dari teks mubham atau mujmal sekalipun tetap diistilahkan sebagai nasakh. (al-Syāṭibī, 1997: 3/344).

Agar lebih tergambar, berikut ayat Al-Qur’an yang dianggap merupakan nāsikh-mansūkh  oleh Sahabat atau Tābi‘īn tetapi kemudian tidak dipahami sebagai nasakh menurut versi para pakar uṣūl fiqh generasi setelahnya.

Seperti dikutip al-Syāṭibī terdapat riwayat bersumber dari Ibn ‘Abbas (w. 68 H) yang mengatakan ayat 224-226 pada surah al-Syu‘ārā’ di-nasakh oleh ayat setelahnya, yakni ayat 227 pada surah tersebut (al-Syāṭibī, 1997: 3/346):

Mansūkh

وَالشُّعَرَاۤءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوٗنَ ۗ۝٢٢٤ اَلَمْ تَرَ اَنَّهُمْ فِيْ كُلِّ وَادٍ يَّهِيْمُوْنَ ۙ۝٢٢٥ وَاَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ۝٢٢٦

“Para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah engkau melihat bahwa mereka merambah setiap lembah kepalsuan. dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(-nya)?” (Qs. al-Syu’ārā’ [26]: 224-226)

Nāsikh

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَذَكَرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا وَّانْتَصَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا ۗوَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ۝٢٢٧

“Kecuali (para penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan bangkit membela (kebenaran) setelah terzalimi. Orang-orang yang zalim kelak akan mengetahui ke mana mereka akan kembali.” (Qs. al-Syu’ārā’ [26]: 227)

Jika menggunakan perspektif uṣūl fiqh populer, ayat-ayat di atas tidak lebih dari istiṡnā’ (pengecualian) alih-alih nāsikh-mansūkh. Misalnya saja al-Makkī (w, 437 H.) memiliki pandangan nāsikh-mansūkh dalam Al-Qur’an itu terpisah, tidak tersambung macam mustaṡnā’ dan mustaṡnā’ minhu seperti riwayat Ibn ‘Abbas di atas.

Lebih jauh, konsep nasakh dapat berkonsekuensi pada penghapusan hukum, terlebih, operasionalisasi nasakh menurutnya tidak menggunakan huruf tertentu, misal illa, huruf istiṡnā’ (al-Makkī, 1986: 374). Sekali lagi, ini menunjukkan adanya pergeseran pemahaman atas istilah nasakh pada era Sahabat dan Tābi‘īn dengan pakar uṣūl fiqh generasi setelahnya.

Kemudian muncul al-Syāfi‘ī sebagai ulama yang digadang-gadang membakukan nāsikh-mansūkh menjadi lebih definitif, terstruktur sampai akhirnya didiskusikan lebih lanjut oleh ulama setelahnya (Abū Zahrah, 1978: 65-66).

Meski terdapat perbedaan teknis dalam nāsikh mansūkh, Jasser ‘Auda menilai ulama tradisional uṣūl fiqh yang dipelopori al-Syāfi‘ī cenderung sepakat bahwa nasakh adalah penghapusan hukum syarak oleh dalil lain yang datang belakangan (raf’u hukm syar’iy bi dalīl mutaakhir). Penghapusan ini berakibat hukum suatu ayat ditinggalkan untuk selamanya (Jasser ‘Auda, 2013: 51).

Pada masa ini pula mulai bermunculan persyaratan nasakh yang kaku, rigid serta rumit. Misalnya saja persyaratan dari al-Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa selain riwayat langsung dari Nabi, tidak dapat dijadikan dalil nāsikh-mansūkh (al-Syāfi‘ī, 1990: 598).

Al-Ṭabarī (w. 310 H.), juga mengemukakan nasakh Al-Qur’an harus berpijak pada riwayat pasti (qaṭ‘ī) dari Nabi atau Sahabat. Hal ini karena nasakh menurutnya hanya terjadi ketika Nabi masih hidup. Sebab itu, penetapannya tidak boleh berdasarkan klaim penalaran ijtihad semata (al-Ṭabarī, 2000: 3/81).

Al-Ḥāriṡ Ibn Ḥasad al-Muḥāsibī (w. 243 H.), ia menyatakan bahwa al-naskh hanya terjadi pada naṣ yang mengandung perintah, larangan, dan hukuman duniawi (jināyah) (al-Muḥāsibī, 1398 H: 251).

Persyaratan khas lainnya dari ulama klasik mengenai nasakh ialah keharusan mengetahui turunnya ayat secara kronologis. Ini krusial supaya diketahui mana ayat yang menjadi nāsikh (menghapus hukum) berarti turun belakangan dan ayat mansūkh (dihapus hukumnya) yang dapat dipahami sebagai ayat yang turun lebih dahulu. (Al-Suyūṭī, 1974: 3/81). Sebenarnya masih banyak persyaratan ulama mengenai nasakh, tetapi tidak relevan jika semuanya ditulis di sini.

Perdebatan Makna Nasakh

Kemudian daripada itu, terdapat perdebatan menarik di antara ulama masa lalu mengenai makna nasakh. Perdebatannya berada pada pertanyaan apakah nasakh itu dimaknai secara hakiki, makna sebenarnya bahwa hukum pada ayat benar-benar dihapus, atau nasakh hanya dimaknai majazī (bukan makna sebenarnya) bahwa ayat nāsikh itu bukan menghapus hukum, tetapi hanya sebagai penjelas (bayān) yang memuat informasi telah berhentinya pengamalan ayat yang mansūkh.

Memang perdebatan ini tampak seperti akrobat filsafat semata. Namun, jangan salah, perdebatan ini serius serta sengit. al-Gazālī (w. 505 H.) menyatakan nasakh dalam pengertiannya bermakna hakiki, nasakh berarti menghilangkan (al-raf‘ wa al-izālah) (al-Gazālī, 1993: 86).

Al-Rāzī, (w. 606 H.) ulama jenius multitalenta, merupakan jajaran ulama yang keberatan bila nasakh dimaknai secara hakiki, apa adanya. Alasannya, kalām Allah dalam pandangan al-Rāzī itu bersifat qadīm, tidak pantas dikatakan pada kalam-Nya telah dihilangkan atau dihapus, dan penghapusan tersebut merupakan sesuatu yang mustahil. (al-Rāzī, 1997: 2/287-290).

Diskusi ulama mengenai hakikat-majas di atas dapat berimplikasi cukup jauh pada pemahaman tentang definisi nasakh. Terlihat jelas ulama yang memandang al-raf‘ wa al-izālah sebagai makna hakiki dari nasakh, mereka cenderung memahami nasakh sebagai penghapusan hukum secara final oleh hukum yang terakhir datang. Sedang yang memandang semuanya hanya makna majazī cenderung memahami nasakh sebagai penjelasan tentang batas waktu suatu hukum, bukan penghilangan hukum.

Diskursus Nasakh Kini, dari Jumlah Ayat Hingga Eksistensi

Beralih ke era sekarang, diskursus nasakh menjadi lebih lapang, mulai dari mengkritisi ulang konsep nasakh ulama masa lalu sampai mempertanyakan eksistensi nasakh dalam Al-Qur’an. Di antara kritik terhadap nasakh ulama klasik misalnya, dalam teori nasakh mereka disebut bahwa nasakh hanya sah jika melalui riwayat serta tidak diperkenankan ijtihad dalam menentukan nasakh. Tetapi pada kenyataannya ijtihad tidak dapat dihindari begitu saja.

Terbukti dari kekhasan konsep nasakh satu ulama dari ulama lain. Terdapat beberapa ciri tersendiri dari teori nasakh masing-masing ulama, entah itu dari definisi, persyaratan, penerapan, pun jumlah ayat yang diklaim telah me-nasakh dan di-nasakh.

Kegiatan ijtihad dalam menentukan nasakh itu paling kentara ketika ulama menyebut jumlah ayat yang mereka klaim telah di-nasakh. Sebut saja Abū Ja‘far al-Naḥḥās (w. 338 H.) mengklaim terdapat sekitar 134-an ayat yang di-nasakh, Abu al-Qāsim Hibatullah bin Salāmah al-Muqrī (w. 410 H.) menyatakan 213-an ayat. Abū Muḥammad Makkī bin Abī Ṭālib al-Qaysī (w. 437 H.) berpendapat 200-an ayat.

Ibn Hazm al-Andalusī (w. 456 H.) menyebut sekitar 214-an ayat, Ibn al-Jauzī (w. 597 H.) sekitar 247-an ayat, ‘Abd al-Qāhir al-Bagdādī (w. 429 H.) sekitar 66-an ayat, Muḥammad Ibn Barakāt bin Hilāl al-Sa’īdī (w. 520 H.) sekitar 210-an ayat, al-Suyūṭī (w. 911 H.) membatasi al-naskh hanya terjadi di 20 ayat, al-Zurqānī (w. 1367 H.) 9 ayat, Muṣtafā Zayd 6 ayat, dan Waliyullah al-Dihlāwī 5 ayat saja (Īhāb, 2004: 313). Setidaknya data ini menunjukkan terdapat tren penyusutan ayat mansūkh dalam Al-Qur’an.

Tidak hanya menyusut, banyak juga ulama yang menolak sama sekali adanya nasakh dalam Al-Qur’an. Quraish Shihab menyatakan dalam lintasan sejarah, terdapat ulama yang menolak adanya konsep nāsikh-mansūkh. Salah satu ulama klasik yang masyhur menolak nasakh dalam al-Qur’an adalah Abū Muslim al-Aṣfahānī (w. 322 H).

Begitu pula ulama kontemporer, di antaranya Syekh Muḥammad Abū Zahrah (w. 1394 H.) dalam karyanya Maṣādir al-Fiqh al-Islāmī, Syekh Muḥammad al-Gazalī (w.1416 H.) dalam bukunya Naẓarāt fi al-Qur’ān. Syekh Muḥammad Ḥusain al-Żahabī (w. 1397 H.) juga menolak adanya nasakh dalam Al-Qur’an (Shihab, 2019: 245).

Menyikapi polemik nasakh ini, ‘Alī Jum‘ah coba menawarkan bagaimana jika seluruh ayat yang dianggap mansūkh sebenarnya ketetapan hukumnya masih berlaku bila dihadapkan pada situasi tertentu, dan ayat yang dianggap nāsikh berlaku juga untuk situasi yang berbeda. Pertentangan lahiriah mengenai nasakh Al-Qur’an sejatinya disebabkan tuntutan situasi dan kondisi yang berbeda-beda (Jum‘ah, 2005: 80).

Naṣr Ḥāmid juga memandang konsep nasakh seyogyanya difungsikan sebagai informasi turunnya syariah secara gradual dan agar mempermudah umat. Menurutnya tidak diragukan lagi hukum ayat yang mansūkh dapat diaktifkan kembali sesuai tuntutan realitas (Zaid, 2014: 122).

 

Daftar Bacaan

‘Abduh (2004). Istiḥālah Wujūd al-Naskh bi al-Qur’ān. Kairo: t.pn.

‘Auda, J. (2013). Naqd Naẓariyyah al-Naskh. Beirut: al-Syubkah al-‘Arabiyyah.

Abū Zahrah, M. (1978). al-Syāfi‘ī. Kairo: Dār el-Fikr al-‘Arabī.

Abū Zaid, N.H. (2014). Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’an. Beirut: Maktabah al-Jadīd.

Al-Gazālī (1993). al-Mustaṣfā. Beirut: Dār el-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Muḥāsiby (1398 H). Fahm al-Qur’an wa Ma‘ānih. Beirut: Dār al-Kindy.

Al-Qaysī (1986). al-Īḍāḥ li Nāsikh al-Qur’ān wa Mansūkhih wa Ma‘rifah Uṣūlih wa Ikhtilāf al-Nās fīh. Jeddah: Dār al-Manārah.

Al-Rāzī (1997). al-Maḥṣūl. Beirut: Muassasah al-Risālah.

Al-Suyūṭī (1974). al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Mesir: al-Hay’ah al-Miṣriyyah al-‘Āmmah li al-Kitāb.

Al-Syāfi‘ī (1990). Ikhtilāf al-Hadīṡ. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Syāṭibī (1997). al-Muwāfaqāṭ, ed: Abū ‘Ubaydah. Kairo: Dār Ibn ‘Affān.

Al-Ṭabarī (2000). Jāmi‘ al-Bayan ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-Risālah.

Jum’ah, A. (2005). al-Naskh ‘ind al-Uṣūliyyīn. Mesir: Nahḍah Miṣr.

Shihab, Q. (2019). Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.

Zayd, M. (1987). al-Naskh fī al-Qur’an al-Karīm Dirāsah Tasyrī‘iyyah Tārikhiyyah Naqdiyyah. Kairo: Dār al-Wafā’.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *