Perempuan di Mimbar Istiqlal; Menelusuri Kontribusi Ulama Perempuan, Dulu Hingga Kini

Telah menjadi semacam pandangan “umum” bahwa agama ini dari generasi ke generasi terkesan dinakhodai para lelaki pula. Sebutan ulama sebagai “pewaris para Nabi” dalam sebagian besar pandangan di masyarakat, identik hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, tidak untuk perempuan. Ada yang mengaitkannya dengan pribadi Rasulullah Muhammad, sang pembawa risalah Islam, yang merupakan sosok laki-laki.

Akibatnya, apabila menemukan perempuan yang ulama, harus ditambahkan kata “perempuan” setelah atau sebelum kata “ulama”, menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama” (Muhammad, 2020: 21). Dengan kenyataan demikian, sekilas tampak seakan hanya lelaki yang layak menjadi ulama. Seolah hanya lelaki yang memiliki kapasitas intelektual, keilmuan, dan moral untuk mengarahkan dan membimbing umat menjadi lebih baik.

Bacaan Lainnya

Padahal realitanya, baik lelaki maupun perempuan memiliki posisi, kelayakan, dan kapabilitas keilmuan yang sama dalam menafsirkan, mengelaborasi, memutuskan, dan menyiarkan ajaran-ajaran Islam. Al-Qur’an ketika menyebut kata khalīfah bukan terbatas untuk kaum lelaki saja, namun manusia seluruhnya, baik lelaki maupun perempuan. Kaum lelaki dan perempuan harus bekerja sama—dalam posisi yang sama—mengoptimalkan diri melalui daya nalarnya agar layak menyandang gelar “khalifah” di muka bumi dan membangun peradaban bersama (Sakho, 2019: 34).

Ulama Besar Laki-Laki Berguru Kepada Perempuan

Menilik catatan sejarah, tidak sedikit perempuan yang berkontribusi besar dalam membangun peradaban dan keilmuan Islam. Realitas sejarah menunjukkan banyak perempuan yang cerdas, kreatif, dan menjadi pemimpin sukses atau ulama besar sebagaimana kaum lelaki. Nama-nama perempuan hebat tersebut terukir dengan indah dalam karya-karya para ulama yang khusus mencatat biografi ulama dan ilmuan muslim.

Di antaranya karya Ibnu Hajar al-Asqalani, seorang faqih sekaligus muhadits yang memiliki gelar amīrul mu‘minīn dalam ilmu hadis, al-Iābah fi al-Tamyīz al-aābah, yang mencatat lima ratus perempuan ahli hadis. Ulama lainnya yang menulis jejak langkah para perempuan ulama adalah Abu Zakariya al-Nawawi, muhadits, faqih besar dalam mazhab Syafi‘i, dalam karyanya Tahżīb al-Asmā’ wa al-Rijāl (Muhammad, 2020: 36).

Seolah tidak ingin ketinggalan, ahli hadis masyhur, Syamsuddin al-Dzahabi, dalam karyanya Mīzān al-’I‘tidāl mencatat empat ribu orang periwayat hadis, yang terdiri atas lelaki dan perempuan. Saat sampai di bab “Periwayat Perempuan yang Tidak Diketahui Identitasnya (Majhūl)”, ia mengatakan:

مَا عَلِمْتُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ أَتَّهِمَتْ وَلَا مَنْ تُرِكَ حَدِيثُهَا.

“Saya tidak pernah mendengar periwayat hadis perempuan diragukan atau diabaikan riwayat hadisnya”. (al-Dzahabi, 1963: 4/604)

Pernyataan al-Dzahabi di atas menunjukkan seolah ia tidak pernah menemukan baik fakta atau rumor adanya periwayat perempuan yang cacat hadisnya. Artinya, meskipun ada beberapa periwayat perempuan yang tidak diketahui identitasnya (majhūl), namun menurut al-Dzahabi, riwayatnya terpercaya dan dapat diterima. Ini membuktikan bahwa perempuan di beberapa situasi juga dapat lebih unggul dari lelaki, sebagaimana juga di beberapa kondisi lelaki dapat lebih unggul dari perempuan.

Tak hanya itu, fakta sejarah mencatat banyak ulama besar laki-laki yang bukan hanya lahir dari rahim perempuan, namun juga dibesarkan, diajar, dan dididik oleh perempuan. Beberapa fuqaha besar, seperti al-Sakhawi (w. 902 H), Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H), dan al-Suyuthi (w. 911 H) berguru kepada sejumlah besar perempuan. Ibnu Hajar memiliki 53 orang guru perempuan, al-Sakhawi berguru kepada 46 perempuan, dan al-Suyuthi belajar kepada 33 perempuan (Muhammad, 2020: 41).

Lebih dari itu, sekaliber imam mazhab fikih yaitu Imam al-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal disebut berguru kepada seorang perempuan cerdas bernama Sayyidah Nafisah (w. 208 H). Ia merupakan cicit Rasulullah Saw. yang dikenal sebagai perempuan yang kaya akan pengetahuan keislaman (nafisah al-‘ilm) serta tekun menjalani ibadah dan sangat sederhana (‘abidah, zahidah). Tak heran sebagian orang menggolongkannya sebagi waliyullah perempuan (Muhammad, 2020: 42-43).

Ulama besar lainnya yang menimba ilmu dari kaum perempuan yaitu Ibnu Arabi, seorang sufi besar yang terkenal dengan teori “wahdah al-wujud”-nya. Dalam karyanya Tarjumān al-Asywāq, Ibnu Arabi mengisahkan tentang tiga orang perempuan yang menjadi gurunya yang konon banyak menginspirasinya dalam pengetahuan seputar ketuhanan. Mereka adalah Fakhr al-Nisa, Qurrah al-‘Ain, dan Sayyidah Nizam (Ibn ‘Arabi, 2003: 8).

Ulama multidisiplin keIslaman, Ibn Hazm al-Andalusi juga sangat mengapresiasi peran perempuan yang mendidiknya sedemikian rupa. Ia menyatakan dengan terang-terangan, kesuksesannya di bidang ilmu pengetahuan tidak lepas dari pendidikan karakter dari sosok perempuan:

“Aku sering bertatap muka dengan para perempuan dan aku mengetahui banyak rahasia mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajariku al-Qur’an, puisi-puisi, dan kaligrafi.” (Ibn Ḥazm, 1987: 166)

Tentu masih banyak, bahkan terlalu banyak, kiprah perempuan ulama dalam lintasan sejarah peradaban keilmuan Islam. Tak cukup kiranya bila diceritakan satu-persatu dalam tulisan amat sederhana ini. Satu hal, bahwa tidak terbantahkan oleh fakta sejarah, tidak sedikit ulama besar laki-laki, dari masa ke masa, berguru kepada ulama hebat perempuan. Karena dibalik orang-orang besar ada perempuan-perempuan cemerlang.

Sosok Perempuan Cerdas Periwayat Banyak Hadis

Jauh sebelum lahirnya ulama-ulama besar dalam sejarah peradaban Islam, mari berkilas balik ke masa Nabi Muhammad Saw. Di masa itu, banyak sahabat lelaki yang juga berguru kepada sahabat perempuan. Yang paling terkenal kecerdasannya ialah Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq (w. 58 H), istri Rasulullah Saw.

Aisyah disebut sebagai A‘lam al-Nās wa Afqah al-Nās wa Ahsan al-Nās Ra’yan fi al-‘Āmmah (orang paling pandai, paling faqih, dan paling baik di antara semua orang). Aisyah adalah sosok perempuan cerdas yang banyak meriwayatkan hadis Rasulullah Saw. Bahkan Aisyah merupakan perempuan yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah setelah Abu Hurairah.

Al-Dzahabi dalam Siyar A‘lam al-Nubalā’ menyebutkan bahwa hadis yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah berjumlah 2.210 hadis. Hadisnya yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim sebanyak 174 hadis. Sementara, Imam Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, menyendiri meriwayatkan dari Aisyah sebanyak 54 hadis. Sedangkan, Imam Muslim sebanyak 69 hadits (Al-Żahabī, 2006: 3/428).

Aisyah merupakan representasi ulama perempuan di masa sahabat yang memiliki banyak sekali murid, baik dari kalangan sahabat laki-laki maupun perempuan. Sekitar 299 orang murid belajar kepada Aisyah, yang terdiri atas 67 perempuan dan 232 laki-laki (Muhammad, 2020: 85).

Ulama Perempuan dalam Lintasan Sejarah Indonesia

Setelah menelusuri kontribusi ulama perempuan dalam sejarah peradaban Islam dari masa Rasulullah Saw. dan setelahnya, agaknya kita juga perlu membaca peran ulama perempuan di Indonesia yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejak masa sebelum kemerdekaan hingga saat ini, para tokoh perempuan turut aktif ikut serta dalam membimbing dan mendidik umat serta membangun bangsa Indonesia.

Di antaranya pada abad ke-17 M, di Aceh, seorang pemimpin perempuan yang legendaris dan cerdas mengukir sejarah keberhasilan kepemimpinan perempuan. Ia bernama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat. Ia merupakan Sultanah Aceh Darussalam selama 34 tahun, sejak 1641-1674 M.

Kontribusinya terhadap masyarakat Aceh kala itu terlihat dari pesatnya bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni budaya di Aceh Darussalam. Bahkan beberapa kitab ulama besar ditulis atas permintaan Sultanah, antara lain Hidāyah al-Īmān bi Fal al-Manān oleh Syekh Nuruddin al-Raniry, Mir’ah al-ullāb fi Tasīli Ma‘rifah al-Akām dan 9 kitab lainnya oleh Syekh Abdurrauf al-Sinkily, dan Risālah Masā’il Muhtadīn li Ikhwān al-Mubtadi oleh Syekh Daud al-Rumy.

Kemampuan memimpin dan diplomasi sang Sultanah juga tidak bisa diremehkan. Terbukti dari terjaganya kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam dari rongrongan penjajah Belanda dan baiknya hubungan diplomatik dengan Turki Utsmani. Ia juga sangat memedulikan nasib perempuan. Bahkan keberhasilannya dalam memimpin kerajaan juga memuluskan jalan kepemimpinan bagi tiga Sultanah Aceh di periode setelahnya (KUPI, 2024).

Selain Sultanah Aceh, ulama perempuan lain asal Minang, Rahmah El-Yunusiyah (1900-1969 M), nama dan jejak keulamaannya tumbuh subur hingga kini. Ia mendirikan madrasah Diniyyah Puteri Padang Panjang, madrasah perempuan pertama di Indonesia, yang eksistensinya terus bersinar hingga saat ini.

Bahkan Diniyyah Puteri kelak menginspirasi Universitas al-Azhar Kairo untuk membuka Kulliyatul Banat, fakultas khusus perempuan. Tak hanya itu, berkat keilmuan dan perjuangannya, Rahmah dianugerahi gelar “Syaikhah”, gelar bergengsi yang tidak banyak orang mendapatkannya, oleh Universitas al-Azhar pada 1957 (KUPI, 2024).

Kiprah ulama perempuan di Indonesia tidak berhenti sebatas cerita. Sampai saat ini, Indonesia memiliki perhimpunan ulama perempuan yang dinamai Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Boleh jadi, ini merupakan satu-satunya organisasi resmi ulama perempuan di dunia Islam masa kini. Kongres ini meski tidak sepopuler Majelis Ulama Indonesia, telah memberikan sumbangsih pemikiran yang kaya dan berkonsentrasi memecahkan persoalan terutama masalah perempuan dalam pandangan Islam.

Perempuan di Mimbar Masjid Istiqlal

Menjelang waktu magrib, lampu-lampu masjid terbesar di Asia Tenggara itu mulai menampakkan sinarnya, memperindah kemegahan arsitektur masjid kebanggaan masyarakat Indonesia, Masjid Istiqlal. Kumandang azan mengalun syahdu, tampak jemaah lelaki maupun perempuan berhamburan menuju ruang utama untuk melaksanakan salat magrib berjama’ah.

Seusai imam membaca wirid, tampak seluruh jemaah mencari tempat salat sunah bakda magrib, masing-masing memilih tempat paling nyaman. Seperti biasa, petugas mengumumkan kajian rutinan Masjid Istiqlal selepas salat. Namun, magrib kali ini ada yang berbeda, yang duduk di mimbar Istiqlal tempat narasumber menyampaikan kajian bukan seorang laki-laki, tetapi seorang perempuan.

Tak main-main, yang dikaji malam itu ialah kitab tafsir al-Sirājul al-Munīr, buah karya Syekh Khatib as-Syirbini, ulama besar kenamaan asal Mesir. Tentu seluruh isinya berbahasa Arab, tetapi kitab itu oleh perempuan tadi disampaikan secara jelas, lantang, serta menyesuaikan kemampuan pemahaman pendengar.

Setelah ditelusuri, perempuan itu adalah salah satu mahasiswa pascasarjana Program Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal. Pantas saja dirinya fasih membaca kitab tafsir berbahasa Arab, menunjukkan bahwa perempuan tak kalah hebat, tak kalah cerdas dari lelaki dalam urusan memahami dan mendakwahkan ajaran agama.

Program Kader Ulama Perempuan (PKUP) Masjid Istiqlal meneruskan estafet ulama perempuan masa lalu, perempuan tetap diberi tempat kehormatan sebagai penerus cita-cita kenabian. Tak mudah mencari mimbar masjid yang diisi perempuan, sama halnya tak mudah mencari pendidikan tinggi khusus mengader ulama perempuan, tidak hanya di Indonesia, bahkan seluruh dunia, sulit rasanya menemukan hal serupa.

Uniknya, semua itu terhampar nyata di Masjid Istiqlal. Entah lelaki atau perempuan, selama kompeten, maka ia merdeka untuk berkontribusi dalam mencerdaskan umat dan bangsa. Begitu lah perempuan ulama tetap eksis dari dulu, di majelis-majelis ilmu pada zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat, hingga kini, seperti perempuan di mimbar Masjid Istiqlal ini.

 

 

 

Daftar Bacaan

Al-Dzahabi (1963). Mīzān al-’I‘tidāl. Beirut: Dār al-Ma‘rifah.

Al-Dzahabi (2006). Siyar A‘lām al-Nubalā’. Kairo: Dār al-Ḥadīṡ.

Ibn ‘Arabi (2003). Tarjumān al-Asywāq. Beirut: Dar Sader.

Ibn Hazm (1987). auq al-amāmah fī Ulfah wa al-Allāf. Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyah.

KUPI (2024). “Ulama Perempuan Dalam Sejarah Islam Indonesia.” Kupipedia: Ensiklopedi Digital Kupi. https://kupipedia.id/index.php/Ulama_Perempuan_Dalam_Sejarah_Islam_Indonesia (diakses Sabtu, 1 Juni 2024, 14.45 WIB).

Muhammad, H. (2020). Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sakho, A. (2019). Perempuan dan Al-Qur’an. Jakarta Selatan: Qaf.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *