Selama berabad-abad lamanya hingga saat ini, manusia tetap mempercayai tentang mukjizat-mukjizat yang diberikan Tuhan kepada para nabi-Nya. Mukjizat tersebut menjadi bukti akan kehadiran nabi sebagai utusan Tuhan yang memiliki visi dan misi menyelamatkan serta menuntun manusia ke jalan yang benar. Namun, seiring berjalannya waktu, manusia telah mengalami banyak transformasi. Di era kontemporer ini, manusia cenderung berpikir rasional, dan sulit menerima yang irrasional.(Abdul Mu’id Nawawi, 2022, p. 121)
Al-Qur’an sebagai Mukjizat nabi Saw. menunjukkan dirinya tidak terkalahkan terhadap segala upaya yang mendiskreditkannya, bahkan menjadi satu-satunya kitab suci yang memuat berbagai isu-isu alam, baik empiris maupun sosial. Meskipun zaman terus berlalu dan evolusi ilmu pengetahuan serta aktivitas manusia, namun tidak ada kesalahan yang terbukti dalam hal tersebut. Oleh karena itu, tepat jika dikatakan keselamatan Al-Qur’an dari kesalahan adalah salah satu aspek kemukjizatannya bagi manusia.(Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, 1997, p. 132)
Upaya memahami agama seringkali menemui hambatan ketika menggunakan paradigma positivistik. Penganut agama seringkali “terpaksa” untuk percaya (forced to believe) tanpa paham esensi, penjelasan, atau tujuannya. Di satu sisi, hal ini menjadi aspek eksistensial agama, karena agama adalah sistem kepercayaan. Namun di sisi lain, ajaran agama tidak hanya mengikat individu, tetapi juga komunitas, sehingga sistem komunal agama tidak akan produktif, kecuali membentuk sistem pemikiran yang dapat diterima secara universal.(Afandi, 2016, pp. 425–426)
Islam adalah agama dengan sistem kepercayaan, yang salah satu kepercayaannya adalah terhadap “yang ghaib”, yang merupakan salah satu pilar iman. Jika seseorang tidak beriman pada “yang ghaib”, maka imannya dianggap tidak sempurna. Contoh dari “yang ghaib” adalah peristiwa hari kiamat, yang tampaknya berada dalam tempat yang “tak tersentuh” dan di luar batas persepsi manusia. Persitiwa tersebut dianggap sebagai mitos yang menuntut kepercayaan tanpa harus dipertanyakan (taken for granted). Padahal, Al-Qur’an pada dasarnya adalah korpus terbuka untuk dikaji dan ditelaah, bukan korpus terbatas (tertutup).
Demitologisasi dalam Definisi dan Latar Belakang
Demitologisasi adalah proses interpretasi beberapa bagian Alkitab yang dianggap legendaris atau mitologis, dengan fokus menyoroti kebenaran eksistensial yang terkandung di dalamnya. Menurut Bultmann, orang-orang modern kesulitan memahami pesan Perjanjian Baru (New Testament) karena perbedaan pandangan dunia antara teks Perjanjian Baru dan pandangan dunia (welthanscauung) modern pada abad ke-19 dan ke-20.
Bultmann memperkenalkan konsep demitologisasi dalam interpretasinya terhadap Perjanjian Baru, yang dituangkan dalam bukunya “Kerygma and Mythos”. Menurutnya, kerygma merupakan pesan ilahi dalam kitab suci. Saat Tuhan menurunkan kitab suci, pesan tersebut disampaikan sesuai dengan nalar bahasa manusia pada masa itu. Namun, karena nalar manusia berubah seiring waktu, pesan ilahi ini akhirnya dianggap penuh dengan konten mitologis oleh generasi manusia yang berbeda.(Josep Bleacher, 1980, p. 104)
Bultmann memandang hal ini sebagai kebingungan eksistensial mengenai hubungan antara teks dan pembaca (reader). Pembaca modern tidak dapat menerima nalar mitologis. Akibatnya, mereka tidak dapat memahami maksud pesan-pesan ilahi. Manusia modern cenderung memvalidasi kebenaran dengan hal-hal yang spesifik, pasti, dan terukur, sementara yang tidak diketahui, tidak terukur, dan tidak terlihat dianggap tidak nyata atau tidak benar. Oleh karena itu, penggunaan istilah lama dalam literatur keagamaan akan memunculkan gambaran mitis dalam benak orang modern. Untuk mengatasi masalah ini, Bultmann menawarkan konsep demitologisasi, yaitu memahami bahasa agama dalam teks suci dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia modern. Konsep ini bukan untuk menghilangkan kepercayaan terhadap informasi dalam teks-teks Alkitab, melainkan mengkaji ulang dan menjelaskan pemikiran mitologis yang tertanam dalam pemahaman teks suci.(Josep Bleacher, 1980, p. 420)
Dengan demikian, bahasa mitologis dapat ditransfer ke dalam bahasa dan nalar modern. Oleh karena bahasa yang digunakan dalam teks kitab suci seringkali dapat dipahami, namun pemahaman tersebut tidak bersifat final pada suatu produk sejarah tertentu, melainkan harus terus berlanjut dan berkembang sesuai dengan perubahan sejarah.
Mitos dan Nalar Mitologis Peristiwa Hari Kiamat
Apakah dalam teks agama Islam terdapat nalar mitologis? atau apakah dalam Al-Qur’an terdapat mitos? Tentunya mitos dalam pertanyaan ini lebih erat kaitannya dengan “yang ghaib”, dan keimanan kepada yang ghaib menjadi salah satu pilar keberimanan. Oleh sebab itu, kalau mitos atau nalar mitologis dimaknai dengan fenomena yang ghaib, maka dalam Al-Qur’an tentunya sangat banyak. Sebagaimana diungkapkan dalam buku Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an penuh dengan nilai-nilai eskatologis. Jika ditelusuri dengan cermat, hampir sepertiga isi Al-Qur’an memuat ajaran tentang eskatologis (yang ghaib).(M. Darwis Hude et al., 2002, p. 162)
Dalam tafsir al-Thabari misalnya, ayat وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا ditafsirkan dengan makna tekstual, yakni pada hari akhir langit akan terbelah menyerupai pintu yang terbuka untuk kemudian dilewati. Dan makna ayat وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا mengacu pada proses hancurnya gunung menjadi partikel-partikel kecil.(Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, 1994, p. 433) Penafsiran Ibnu Katsir juga senada, bahwa langit yang terbelah adalah jalan turunnya malaikat, dan “gunung yang dijalankan” bermakna hancurnya gunung. Menurutnya, setiap orang akan berkhayal bahwa gunung tersebut adalah suatu benda, padahal hancur tanpa bekas.(Abu Fida’ Isma’il Ibnu Katsir al-Dimasqy, 1999, p. 305)
Selain itu, pendekatan yang agak rasional dari al-Razi. Menurutnya, surah al-Nabâ’ ayat 19-20 adalah langit yang dibuka seperti pintu akibat retakan yang signifikan dan besar dari bagian langit, sehingga terlihat seperti terbuka. Dan gunung yang diperjalankan seperti awan, akibat angin yang kencang, sehingga debu dan partikelnya berpindah dari tempat awalnya.(Fakhruddin al-Razi, 1981, pp. 12–13) Penafsiran eskatologis yang mirip juga masih diikuti oleh mufasir modern seperti dalam tafsir al-Maraghi karya Ahmad Musthafa al-Maraghi.(Ahmad Musthafa al-Maraghi, 1946, pp. 12–13)
Sekilas Tafsir Safînah Kallâ Saya’lamûn fî Tafsîr Syaikhinâ Maimûn
Penulis tafsir Safinah Kallâ Saya’lamûn adalah M. Ismail al-‘Askholi. Dalam muqoddimahnya, Ismail menjelaskan bahwa tafsir ini ditulis saat masih berguru kepada Kiai Maimun Zubair di Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang. Berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik menjadi motivasi penulisan tafsir ini. faktor intrinsiknya berasal dari keinginannya untuk mengumpulkan hasil pengajian di pondok sebagai warisan ilmiah. Sedangkan faktor ekstrinsiknya berupa motivasi dari Ustadz Muayyad, salah satu khodim (asisten pribadi) Kiai Maimun. Awalnya sempat ragu, kemudian termotivasi oleh upaya Kiai Abdul Ghofur dan Kiai Bahauddin Nursalim yang mengumpulkan tafsir dua jilid berbahasa Indonesia milik Kiai Zubair dan Kiai Maimun dengan nama tafsir Al-Anwar.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. ف ف-ص ص)
Selain itu, Ismail juga menjelaskan beberapa alasan penggunaan bahasa Arab, padahal Kiai Maimun dalam menyampaikannya menggunakan Bahasa Jawa. Pertama, ittiba’ (mengikuti) jejak Salaf al-Shâlih dan kebiasaan masyayikh menggunakan kitab-kitab Arab. Kedua, karena bahasa Arab adalah bahasa pengajaran di madrasah yang dapat dipelajari sistematis. Ketiga, memudahkan tafsir ini diterjemahkan ke bahasa lain dan memberikan fleksibiltas serta aksesibilitas dalam penyebaran pemahaman agama.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. ق ق)
Adapun nama Safinah mengikuti tradisi Habib Salim bin Abdullah al-Syatiri yang mengumpulkan fawâid (faidah-faidah) selama berguru kepada Sayyid Muhammad al-Maliki di Makkah yang kemudian diberi nama Safînah. Sementara Kallâ Saya’lamûn dari ungkapan yang sering digunakan Kiai Maimun Zubair saat menafsirkan ayat tentang keajaiban ciptaan Allah.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. ر ر)
Penulisan kitab tafsir ini diawali dengan beberapa kata pengantar atau sanjungan (taqrîdz) dari Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Kiai Muhammad Najih Maimun (putra kedua Kiai Maimun Zubair), Rois ‘Amm Nahdlatul Ulama KH. Miftahul Akhyar, dan Ketua OIAA (Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar) Indonesia dan Cucu Pendiri Nahdlatul Wathan TGB. Muhammad Zainul Majdi, dilanjutkan biografi Kiai Maimun Zubair, termasuk riwayat intelektual, sanad keilmuan, dan penjelasan tentang keluarganya. Ismail al-‘Askholi juga menyertakan syair dan pujian dari ulama lain untuk Kiai Maimun, seperti dari Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Habib Sholeh bin Ahmad Alaydrus, Syekh Rajab Dieb dan putranya Syekh Dr. Muhammad Rajab Dieb.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. ا-س)
Tafsir Safinah Kalla Saya’lamun fî Tafsîr Syaikhinâ Maimûn mengacu teori tafsir tematik (maudû’i) menurut Abd al-Hay al-Farmawi. Tafsir ini membahas kandungan surah tertentu dengan keterangan umum dan khusus, serta keterkaitan antar tema ayat. Ismail mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan tema sentral dan menafsirkannya sesuai metode tematik. Terdiri dari dua bagian, bagian pertama membahas 15 bab tematik, sedangkan bagian kedua menafsirkan surah al-Anbiyâ’ ayat 1-84.
Sebagaimana namanya, Ismail sering menyertakan pendapat Kiai Maimun dengan pernyataan qôla syaikhunâ dan juga menambahkan pendapat pribadinya dengan pernyataan qultu. Dengan demikian tafsir merupakan sarana penafsiran Kiai Maimun Zubair sekaligus kontribusi kreatif M. Ismail al-‘Askholi. Hal ini menunjukkan adanya kolaborasi harmonis antara pemahaman Kiai Maimun Zubair dengan perspektif segar M. Ismail al-‘Askholi. Berdasarkan analisis penulis, terdapat beberapa sumber tafsir, antara lain; tafsir jalâlain, tafsir al-Qur’an al-Adhîm Ibnu Katsir, dan tafsir Marah Labîd Syekh Nawawi al-Bantani. Serta tambahan dari penulis yakni tafsir al-Quthubi dan kitab Bidayah wa Nihayah.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. ص ص) Sedangkan corak tafsir ini adalah corak lughawi isyari dan adab al-ijtima‘I, misalnya ketika menafsirkan surah al-Hajj ayat 27.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. 17)
Demitologisasi Peristiwa Hari Kiamat
Demitologisasi dalam tafsir Safînah Kallâ Saya’lamûn terlihat pada penafsiran surah al-Nabâ’ ayat 19-22. Mufassir, Mbah Maimun, dalam hal ini menggunakan pendekatan bahasa untuk melakukan demitologisasi. Pemahaman terhadap ayat-ayat eskatologis dalam tafsir ini berbeda dari tafsir lainnya, karena mengkontekstualisasikan ayat tersebut, yang biasanya ditafsirkan sebagai peristiwa hari kiamat dengan fenomena yang terjadi di dunia saat ini. Paradigma ini menegaskan bahwa kiamat sughra telah sedang terjadi, agar manusia bisa merenung dan mempersiapkan diri untuk kedatangan kiamat kubra.
Menurut Kiai Maimun Zubair, jika manusia merenungkan peristiwa-peristiwa saat ini, maka akan menemukan bahwa ayat-ayat tentang hari kiamat telah terjadi. Kiai Maimun Zubair menafsirkan surah al-Nabâ’ ayat 19 “Langit pun dibuka. Maka, terdapatlah beberapa pintu” dengan mengatakan wa narâ anna al-samâ tasîru tharîq al-murûr al-thâirah isyâratun ilâ infitâhihâ, wa kaunuhâ abwâban qod wajada ‘inda kulli al-mathâr (kita melihat langit sebagai jalur lalu lintas (airway) pesawat sebagai tanda telah terbukanya langit, dan pintu-pintu itu dapat ditemukan di setiap bandara), dan menurutnya ayat ini menggunakan fi’il madhi yakni futiha, untuk menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dalam ayat tersebut saat ini telah terjadi.(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. 76)
Kemudian ayat 20 “Gunung-gunung pun dijalankan. Maka, ia menjadi (seperti) fatamorgana” ditafsirkan dengan faqod kânat atsqôl wa ahjâr al-jibâl mahmûlah bi al-sayyârah al-syâhinah ghoiruha hattâ takâdu takûnu al-jibâl mutalâsyiyah, wa tilka al-wâqi’ah yajûzu an tusammâ bi sîriljibâl (maka, pasir-pasir dan batu-batu gunung diangkut oleh truk-truk dan sejenisnya, sehingga gunung-gunung tersebut hampir terkikis, dan peristiwa tersebut dapat dikatakan pergerakan gunung-gunung).(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023)
Penafsiran yang sama juga dilakukan oleh Kiai Maimun Zubair dalam menafsirkan surah al-Takwîr ayat 3 “Apabila gunung-gunung dihancurkan” dengan mengatakan qod hadatsa mundzu al-ân bi sûratin hamlu al-sayyârah ahjâran min al-jibâl hattâ yafnâ jinsuhâ wâhidan ba’da wâhidin (peristiwa tersebut telah terjadi sekarang dalam bentuk truk yang mengangkut batu-batu dari gunung sehingga satu persatu terkikis).(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, p. 78)
Selanjutnya Kiai Maimun Zubair menegaskan pesan moral dari ayat-ayat peristiwa kiamat tersebut. Dia menekankan, meskipun teknologi mengalami kemajuan, namun akherat tetap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Dia juga menganjurkan agar manusia merenungkan realitas kiamat dan melakukan persiapan dengan ketakwaan, sebab ayat 21 dan 22 mengatakan “Sesungguhnya (neraka) Jahanam itu (merupakan) tempat mengintai (bagi penjaga neraka)” “(dan) menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.”(Muhammad Ismail al-’Askholi, 2023, pp. 76–77)
Dalam hal ini penulis berpendapat, penafsiran Kiai Maimun Zubair adalah bentuk demitologisasi. Oleh karena penafsirannya terhadap surah al-Naba ayat 19-22 tentang peristiwa hari kiamat yang terkesan mitos dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia modern, sehingga tetap relevan dalam setiap zaman. Selain itu, kitab tafsir ini bagi Kiai Maimun Zubair berfungsi sebagai alat kritik fenomena-fenomena di masyarakat, sekaligus sebagai bukti kepeduliannya terhadap isu-isu lingkungan dan tanggung jawab manusia terhadap alam yang diciptakan oleh Allah SWT.
Referensi
Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib. (1997). Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer (Moh Maghfur Wachid, Trans.). al-Izzah.
Abdul Mu’id Nawawi (Ed.). (2022). Kebenaran Di Sini dan Di Sana. PTIQ Press.
Abu Fida’ Isma’il Ibnu Katsir al-Dimasqy. (1999). Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Dar Thayyibah.
Afandi, I. (2016). Demythologizing Neraka Huthomah. Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam, 7(2), 425–440. https://doi.org/10.30739/darussalam.v7i2.93
Ahmad Musthafa al-Maraghi. (1946). Tafsir al-Maraghi. Maktabah Musthafa al-Bab al-Halab wa Auladuh.
Fakhruddin al-Razi. (1981). Mafatih al-Ghaib. Dar al-Fikr.
Josep Bleacher. (1980). Contemporary Hermeneutics, Hermeneutic as Method, Philosophy and Critique. Routledge & Kegan.
Darwis Hude, Hasan Basri, Maftuchin Abbas, & Muntaha Azhari. (2002). Cakrawala Ilmu dalam Al-Qur’an. Pustaka Firdaus.
Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari. (1994). Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Muassisah al-Risalah.
Muhammad Ismail al-’Askholi. (2023). Safinah Kalla Saya’lamun fi Tafsir Syaikhina Maimun. Dar al-Nahdloh al-Turots al-Indunisia.