Agaknya sangat banyak dijumpai meme atau semacam cuplikan gambar/video dengan bertuliskan narasi tentang perempuan yang sulit, bahkan mustahil untuk meminta maaf duluan ketika melakukan kesalahan. Misalnya, “perempuan lebih memilih menguras air laut dibandingkan meminta maaf duluan”. Meskipun tujuannya sebagai penghibur atau lelucon untuk mengisi berbagai platform media sosial (yang cenderung mengarah pada sarkasme), namun meme tersebut muncul sebagai bentuk respon terhadap perlakuan sebagian besar–untuk tidak mengatakan semuanya–perempuan kepada pihak laki-laki.
Tak jarang pula kolom komentar tentang meme-meme tersebut diisi oleh kaum perempuan sendiri yang justru sependapat dan membenarkan dirinya bersikap demikian, bahwa “perempuan tidak pernah salah” atau “perempuan selalu benar”. Maka yang selalu dituntut untuk minta maaf ialah pihak laki-laki, terlepas siapa yang sebenarnya bersalah.
Bagi penulis sendiri–yang juga merupakan seorang perempuan–cukup janggal ketika menyaksikan fenomena ini yang tampaknya sudah menjadi hal wajar atau dinormalisasi. Anggapan demikian terhadap perempuan seakan menyatakan bahwa perempuan cenderung memiliki ego yang tinggi, keras kepala, dan tidak profesional dalam mengakui kesalahan yang telah diperbuat.
Indikasi-indikasi ini selanjutnya akan mengarah pada pernyataan bahwa kaum perempuan lemah secara emosional dibandingkan dengan laki-laki. Inilah yang menjadi cikal-bakal penolakan bagi sebagian besar kalangan untuk mengikut-sertakan perempuan dalam berbagai kesempatan, seperti dalam dunia pekerjaan atau ruang publik lainnya, dan akhirnya merugikan kaum perempuan sendiri.
Benarkah Fluktuasi Emosi dipengaruhi oleh Perbedaan Seks?
Mari menilik kembali studi yang pernah dipublikasikan oleh tim dari Department of Psychology, The University of Michigan, pada tahun 2021, dengan judul Little Evidence for Sex or Ovarian Hormone Influences on Affective Variability/Sedikit Bukti untuk Pengaruh Jenis Kelamin atau Hormon Ovarium terhadap Variabilitas Afektif.
Penelitian ini melibatkan 142 partisipan yang terdiri dari laki-laki, perempuan yang tidak menggunakan kontrasepsi oral (siklus menstruasi normal), dan tiga kelompok perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral yang berbeda. Penelitian ini berlangsung selama 75 hari dengan memberikan sejumlah pertanyaan/survei online di waktu yang sama dan durasi mengisi pertanyaan yang sama.
Singkatnya, hasil akhir dari penelitian ini membuktikan bahwa fluktuasi atau naik turunnya emosi tidak berkaitan dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan (baik yang tidak menggunakan kontrasepsi maupun yang menggunakannya). Fluktuasi emosi yang ditampilkan oleh kedua jenis seks tersebut hampir sama. Adapun yang lebih mempengaruhi flukuasi emosi bersumber dari beragam faktor, mulai dari siklus biologis hingga pengalaman sehari-hari, seperti pola makan, tidur, interaksi sosial, aktivitas fisik, dan sebagainya (Weigard, et.al., 2021: 9).
Penelitian tersebut juga menyebutkan salah satu keresahan bahwa perempuan secara historis telah dikeluarkan dalam berbagai partisipan penelitian, yang disebabkan oleh sebagian asumsi yang menyatakan fluktuasi emosi pada perempuan tidak dapat dikendalikan secara eksperimental (Weigard, et.al., 2021: 1). Dengan kata lain, kaum laki-laki dipercaya sebagai sosok yang memiliki emosi lebih stabil dan lebih baik dibandingkan kaum perempuan.
Asumsi yang menyebar luas tersebut sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Lantas dari mana asumsi tersebut berasal? Catherine McKinley, seorang peneliti kesehatan dan kesejahteraan perempuan dari The Tulane University School of Social Work, turut memberikan komentar terhadap hasil penelitian yang melibatkan 142 partisipan tersebut melalui kanal website https://www.verywellmind.com/ (rubrik Mental Health News).
Menurutnya, penelitian tersebut memberikan perubahan yang signifikan terhadap cara pandang yang salah selama ini, yang menyatakan bahwa emosi perempuan dan laki-laki berbeda. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional dan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang tidak emosional, merupakan cara pandang yang berlaku dalam masyarakat patriarki tentang peran gender yang tradisional dan kaku.
Asumsi ini lahir dari pemahaman patriarkis yang menempatkan laki-laki sebagai superior di atas perempuan. McKinley menambahkan bahwa setiap manusia memiliki emosi, baik mereka mengidentifikasinya atau tidak. Dengan demikian, asumsi bahwa perempuan lebih emosional dibandingkan laki-laki merupakan kesalahan belaka.
Merefleksikan Pemahaman QS. al-Furqân/25: 63 dalam Tafsîr al-Mishbâẖ
Berdasarkan paparan sebelumnya, sudah jelas bahwa siapapun orangnya dapat mengalami fluktuasi emosi yang tidak stabil dan sama sekali tidak berkaitan dengan jenis kelamin. Namun asumsi bahwa perempuan sebagai sosok yang emosional tampaknya sudah sangat mengakar hingga kini, bahkan secara tidak sadar turut divalidasi oleh kaum perempuan itu sendiri, sehingga sosok yang dramatis, tidak rasional, dan sensitif sering kali diafiliasikan pada perempuan. Salah satunya sifat enggan untuk meminta maaf ketika berbuat salah.
Kurang afdal rasanya jika kita sebagai umat Islam tidak melihat bagaimana Al-Qur’an–sebagai pedoman hidup–memberikan arahan untuk bersikap yang semestinya. Sikap enggan untuk meminta maaf sering kali terhalang karena rasa gengsi, keras kepala, dan merasa paling benar dan ingin menang sendiri. Sifat-sifat ini bisa dibendung ketika kita memahami dan menanamkan dalam diri kita sifat rendah hati atau lemah lembut.
Salah satu ayat yang berbicara tentang kelemahlembutan ialah QS. al-Furqân/25: 63:
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Dan hamba-hamba al-Raẖmân adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berucap salâm.” (QS. al-Furqân/25: 63)
Menurut penafsiran Quraish Shihab, Penyebutan hamba-hamba al-Raẖmân pada ayat ini mencakup pada seluruh orang beriman, di mana dan kapan saja, selagi orang tersebut menyifati sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat tersebut, orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut.
Kata “mereka berjalan” (يَمْشُوْنَ) tidak hanya dipahami sebatas makna literalnya saja, melainkan dalam artian “interaksi antar-manusia”. sementara Kata “lemah lembut” (هَوْنًا) berarti rendah hati dan penuh wibawa. Dua kata ini menjadi kata kunci dalam bersikap kepada sesama manusia, yaitu melakukan interaksi yang sebaik-baiknya dan dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat (Shihab, 2021: 146).
Konteks ayat di atas bahkan dikaitkan dengan orang-orang jahil, yaitu perlakuan yang tidak wajar dari orang-orang yang kehilangan kontrol diri. Sekalipun perlakuan tersebut mungkin akan menimbulkan rasa marah atau makian, sebaliknya ayat ini justru mengingatkan untuk tetap bersikap baik dan mengucapkan salâm, sapaan perpisahan demi menghindari datangnya kejahilan yang lebih besar (Shihab, 2021: 147).
Jika berbuat baik masih saja dianjurkan bahkan kepada orang-orang jahil, lantas bagaimana jika kita sendiri yang berbuat jahil sehingga ada pihak-pihak lain yang terganggu? Terlebih lagi ketika telah melakukan kesalahan yang berdampak pada ketersinggungan atau ketidaknyamanan seseorang.
Anjuran untuk meminta maaf (kepada sesama manusia) hampir tidak disebutkan sama sekali dalam ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan hanya terdapat anjuran dan keutamaan memaafkan (misalnya dalam QS. al-A’râf/7: 199). Hal ini bukan berarti meminta maaf tidaklah penting. Shihab–dalam sebuah episode “Shihab & Shihab” di platform YouTube–menyoroti bahwa esensi meminta maaf seharusnya sudah tertanam dalam kesadaran individu yang bersalah, tanpa perlu diingatkan atau dipaksakan oleh siapapun.
Kendati si pelaku yang dianggap bersalah melakukan kesalahan secara tidak sengaja, maka yang perlu ditekankan bukanlah terkait benar atau tidaknya tuduhan bersalah tersebut. Sebaiknya justru dapat melihat dampak yang ditimbulkan akibat kesalahan yang tidak disengaja tersebut kepada pihak lain. Maka meminta maaf dengan sikap rendah diri, akan menjadikan kedua pihak merasa lebih lega, memperbaiki hubungan, dan dapat bersilaturahmi dengan baik ke depannya (Shihab, dalam https://youtu.be/yFE45b8mkp4?feature=shared).
Penutup
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menuntut pihak perempuan–di mana sudah banyak menjadi korban atas ketimpangan gender–maupun menyudutkan perempuan. Sebaliknya, penulis ingin menyoroti bahwa kita tidak boleh menganggap remeh sikap-sikap negatif yang sebenarnya berakar pada budaya patriarkis yang tersamar. Meminta maaf bukanlah soal gender, melainkan tentang kesadaran emosional. Mempertegas bahwa perempuan sulit meminta maaf hanya akan memperkuat kesan bahwa hal itu sudah menjadi kodrat mereka, menggambarkan secara salah bahwa perempuan secara emosional lemah. Stereotipe semacam itu dapat menghambat partisipasi perempuan dalam berbagai kesempatan positif dan merugikan mereka secara keseluruhan dan berkelanjutan.
Bahan Bacaan
Fielding, Sarah. “No, Women are Not More Emotional Than Men”, dalam https://www.verywellmind.com/women-are-not-more-emotional-than-men-study-finds-5207762 .
Shihab, M. Quraish. Tafsîr al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jilid 9. Tangerang, PT. Lentera Hati, 2021.
——-. “Memaafkan Haruskan Melupakan?”, dalam Shihab & Shihab https://youtu.be/yFE45b8mkp4?feature=shared .
Weigard, Alexander, dkk. “Little Evidence for Sex or Ovarian Hormone Influences on Affective Variability”. Scientific Reports, 2021.