Mengapa Jodoh Adalah Cerminan Diri? (Telaah Qs. An-Nur [24]: 26)

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan “jodoh adalah cerminan diri”. Ungkapan ini mengandung makna yang dalam dan berakar pada ajaran moral serta spiritual yang kuat. Salah satu landasan dari pemahaman ini dapat ditemukan dalam Surah An-Nur ayat 26.

اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ

Bacaan Lainnya

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” (An-Nūr [24]:26)

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang baik akan bersama dengan yang baik, sementara yang keji akan bersama dengan yang keji. Pesan ini tidak hanya menggambarkan prinsip keadilan ilahi, tetapi juga memberikan panduan praktis dalam mencari dan memilih pasangan hidup. Tulisan ini akan mengeksplorasi lebih dalam makna dari Surah An-Nur ayat 26 dan bagaimana konsep ini relevan dalam kehidupan modern.

Dalam Fathul Qadir (Al-Syaukani, 2007:1005) wanita yang tidak baik dikhususkan untuk laki-laki yang tidak baik, begitu juga sebaliknya. Mayoritas mufassir menyatakan bahwa makna dari kalimat اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ adalah ucapan-ucapan yang buruk berupa perkataan adalah untuk orang-orang yang tidak baik, dan orang-orang yang tidak baik adalah untuk ucapan-ucapan yang buruk. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini berkaitan dengan firman-Nya, Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina (QS. An-Nur: 3). Jadi, اَلْخَبِيْثٰتُ merujuk pada para pezina, sementara الطَّيِّبٰتُ adalah mereka yang memelihara kehormatan.

Pada Tafsir Ath-Thabari (Ath-Thabari, 1994: 414) kata اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ maksudnya adalah, jika dia termasuk laki-laki yang baik, maka dia bersih dari segala ucapan keji, karena Allah mengampuninya. Sedangkan jika dia laki-laki yang keji, maka dia juga bersih dari perkataan yang baik karena Allah akan menolaknya dan tidak akan menerimanya.

Ada juga yang berpendapat “Mereka (yang ditutuh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu),” adalah ‘Aisyah dan Shafwan ibnu al-Muaththal, yang dituduh dengan perbuatan keji tersebut. Berdasarkan pendapat itulah maka dalam firman Allah tersebut dikatakan اُولٰۤىِٕكَ dengan bentuk jamak.

Sependapat dengan Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir (Ibnu Katsir, 1999: 34) ayat ini cenderung berkenaan dengan ucapan yang buruk hanya layak bagi pria yang buruk, dan pria yang buruk hanya pantas menerima ucapan yang buruk. Sebaliknya, kata-kata yang baik hanya layak bagi pria yang baik, dan pria yang baik hanya pantas menerima ucapan yang baik. Intinya, ucapan buruk lebih cocok diarahkan kepada orang-orang jahat, sementara ucapan baik hanya cocok untuk orang-orang baik.

Keterkaitan Ayat 26 dengan Ayat Lain

Dalam Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur (Ash-Shiddieqi, 2016: 2808) Surah An-Nur ayat 26 berkaitan erat dengan ayat 11-12. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menjelaskan hukuman bagi mereka yang menuduh perempuan berzina tanpa bukti. Orang yang menuduh perempuan yang telah bersuami dan bersih hatinya akan dijauhkan dari rahmat Allah dan dijatuhi hukuman neraka jahanam, kecuali jika mereka bertobat dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Ayat 26 menguatkan pesan ini dengan menegaskan bahwa orang-orang yang baik akan bersama yang baik, dan yang keji akan bersama, yang keji, serta mengingatkan akan pentingnya menjaga kehormatan dan moralitas.

Latar Belakang Turunnya Surah An-Nur Ayat 26

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa fitnah terhadap Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah Muhammad SAW. Aisyah r.a. menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW selalu mengundi istri mana yang akan ikut dalam perjalanan. Suatu kali, undian jatuh kepadanya dan dia ikut bersama Nabi SAW.

Setelah perang, saat hendak pulang, Aisyah kehilangan kalungnya. Ketika dia mencarinya, orang yang membawanya meninggalkannya karena mengira dia masih di dalam tandu. Akhirnya, Aisyah menemukan kalungnya setelah tentara pergi. Setelah kembali ke tempat istirahat rombongan, Aisyah tidak menemukan siapa pun, jadi dia mencari tempat lain untuk istirahat dengan harapan mereka akan mencarinya.

Ketika dia tertidur di sana, Shafwan bin Mu’aththal menemukannya. Dia mengucapkan kalimat istirja’, yang membuat Aisyah bangun. Aisyah tidak berbicara dan hanya menutup wajahnya dengan jilbabnya. Shafwan membantunya naik ke kendaraannya dan menuntunnya hingga mereka menyusul rombongan.

Atas kejadian inilah menimbulkan fitnah antara Aisyah dan Shafwan, Aisyah menyebut orang-orang yang membuat gosip tentangnya, khususnya Abdullah bin Ubay bin Salul, sebagai orang yang paling berdosa. Setelah tiba di Madinah, Aisyah sakit selama sebulan, sementara orang-orang terus sibuk dengan gosip tersebut. Tafsir Fii Zhilal al-Qur’an (Sayyid Quthb, 2003: 2495)

Hikmah Ayat dalam Kehidupan Sehari-Hari

Ayat ini mengandung pesan moral yang mendalam tentang pentingnya menjaga kehormatan, tidak mudah percaya pada fitnah atau tuduhan tanpa bukti, dan bahwa kebaikan akan selalu dihargai oleh Allah SWT. Ini juga mengingatkan bahwa pasangan hidup yang baik adalah cerminan dari diri kita sendiri, dan oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk menjadi orang yang baik dan bermoral. Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah SWT selalu mengetahui yang sebenarnya dan akan memberikan balasan yang adil kepada setiap hamba-Nya, sesuai dengan amal perbuatannya.

Surah An-Nur ayat 26 ini, memberikan kita wawasan tentang pentingnya menjaga kehormatan dan moralitas dalam hubungan. Ayat ini terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya yang membahas hukuman bagi mereka yang menuduh perempuan berzina tanpa bukti. Melalui ayat-ayat tersebut, Allah menjelaskan betapa seriusnya tuduhan palsu dan akibatnya bagi pelaku. Dalam konteks ini, ayat 26 menegaskan bahwa kesejajaran moral dan spiritual antara pasangan adalah hal yang sangat penting.

Mengapa Jodoh adalah Cerminan Diri?

Adapun mengenai ungkapan mengapa jodoh adalah cerminan diri kita?  Jawabannya adalah karena seperti halnya Rasulullah SAW. merupakan cerminan dari Aisyah ra. yang selalu menjaga kehormatannya. Dengan memahami bahwa jodoh adalah cerminan diri, kita dapat lebih bijaksana dalam memilih pasangan hidup, memastikan bahwa hubungan yang dibangun berdasar pada nilai-nilai kebaikan dan kejujuran.

Melalui pandangan ini, kita diingatkan akan pentingnya introspeksi dan perbaikan diri dalam rangka menemukan pasangan yang benar-benar sesuai dengan karakter dan nilai-nilai yang kita junjung tinggi. Karena sejatinya jodoh bukanlah takdir yang tidak bisa diubah melainkan akan terus berubah seiring dengan ikhtiar kita dalam proses penantian jodoh.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syaukani. 2007. Fathul Qadir. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Ash-Shiddieqi, Teungku Muhammad Hasbi. 2016. Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. 1994. Tafsir Ath-Thabari. Beirut: Muassasah al-Risalah.

Katsir, Ibnu. 1999. Tafsir Ibnu Katsir. Damaskus: Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’.

Quthb, Sayyid. 2003. Tafsir Fii Zhilal al-Qur’an. Beirut: Dar al-Syuruq.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *