Surah Madinah Menurut Theodor Nӧldeke (Telaah Atas Buku The History Of The Qur’an: The Medinan Sūras)

Theodor Nöldeke (w. 1930) adalah seorang orientalis dan ahli filologi dan memiliki kontribusi besar dalam studi sejarah dan kronologi Al-Qur’an (Anshori, 2018: 16). Nöldeke juga termasuk dalam salah satu pionir dalam penelitian kritis terhadap teks Al-Qur’an, dan karyanya “Geschichte des Qorans” (the History of the Qur’an, 2013) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1860 merupakan salah satu karya yang paling berpengaruh di bidang ini.

Dalam karyanya, Nöldeke berusaha untuk mengatur surah-surah Al-Qur’an sesuai dengan urutan kronologis wahyu, bukan urutan kanonik yang terdapat dalam Al-Qur’an sekarang. Dia membagi wahyu-wahyu ke dalam periode-periode Mekah awal, Mekah tengah, Mekah akhir, dan Madinah, berdasarkan analisis linguistik, tematik, dan historis. Pendekatan Nöldeke ini kemudian diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut oleh para sarjana orientalis lainnya.

Bacaan Lainnya

Kontribusi Nöldeke sangat penting karena membuka jalan bagi studi kritis dan historis tentang teks Al-Qur’an, serta membantu memahami konteks sejarah di balik wahyu-wahyu Islam. Meskipun beberapa pandangannya telah menjadi bahan perdebatan dan kritik, karyanya tetap menjadi salah satu referensi utama dalam studi orientalisme dan sejarah Islam (Yahya, 2015: 30).

Oleh karena itu, dalam artikel ini, kajian akan diarahkan untuk mendalami surah Madaniyah menurut Theodor Nӧldeke. Mengamini penelitian Karimi-Nia(Karimi-Nia 2013) adalah penting untuk mendiskusikan lebih jauh hasil pemikirannya atau dalam hal ini Surah Madinah. Selain itu, beberapa poin penting yang hendak dicapai pada penelitian ini 1) bagaimana pendapat Nӧldeke tentang surah Madinah, 2) apa implikasi dari pemikiran Nöldeke untuk konteks sekarang. Dua aspek ini menjadi acuan dalam menentukan arah tulisan ini.

Kondisi Politik dan Sosial Keagamaan Yasrib/Madinah Sebelum Hijrah

Sebelum masuk lebih jauh tentang Surah Madinah, Nӧldeke terlebih dahulu mendeskripsikan tentang sosial politik yang terjadi di Madinah sebelum Muhammad Hijrah.

Di Mekah, Muhammad awalnya oleh Nӧldeke dipersepsikan sebagai figur kontroversial, menarik perhatian terutama dari segmen masyarakat yang lebih rendah. Namun, dengan hijrahnya ke Madinah, terjadi transformasi yang mencolok. Konteks sosial dan politik yang dipenuhi oleh perseteruan antara suku-suku Aus dan Khazraj menciptakan kekosongan kekuasaan dan ketidakamanan, memberikan peluang bagi Muhammad untuk membangun otoritas spiritual dan politik (Nӧldeke, 2013: 136).

Orang-orang Madinah menerima dakwahnya dengan baik, terutama karena mereka telah terpapar pada prinsip-prinsip agama Islam melalui hubungan dengan komunitas Yahudi dan Kristen. Dengan cerdiknya, Muhammad mengubah perannya dari seorang pemimpin spiritual menjadi pemimpin politik yang dihormati, menegaskan otoritasnya melalui konstitusi yang dia gagas. Ini menciptakan model teokrasi yang menggabungkan aspek-aspek spiritual dan politik dalam pembentukan masyarakat Madinah yang baru (Nӧldeke, 2013: 136).

Selanjutnya, tentang dinamika sosial dan politik di Madinah pada masa awal Islam, Nӧldeke menggambarkan kompleksitas hubungan antara berbagai kelompok masyarakat, terutama dalam konteks penerimaan terhadap Nabi Muhammad dan ajarannya. Terlihat bahwa meskipun ada kaum Muslim yang sepenuhnya mendukung Muhammad, namun banyak penduduk Madinah yang merasa tidak bersahabat terhadapnya atau cenderung menerima keberadaannya sebagai penguasa semata (Nӧldeke, 2013: 137).

Nӧldeke menggarisbawahi pentingnya pengaruh dan reputasi tokoh-tokoh seperti Abd Allah b. Ubay b. Salul, yang meskipun kehilangan kekuasaan politik langsungnya, tetap memiliki pengaruh yang signifikan dalam masyarakat Madinah. Bagitupun tentang kelompok munafikun dan orang-orang yang bimbang, ia menyoroti ketidakpastian dalam penerimaan terhadap Islam, terutama di antara mereka yang memiliki ikatan keluarga atau politik yang kuat (Nӧldeke, 2013: 137).

Selain itu, sebelum mengakhiri komentarnya tentang keadaan Madinah, Nӧldeke juga membahas konflik antara Muhammad dan suku-suku Yahudi, menunjukkan bahwa perselisihan ini jauh lebih berbahaya karena melibatkan ejekan dan interogasi yang tajam mengenai masalah agama. Penggambaran tentang energi yang ditunjukkan oleh “orang-orang yang bimbang” (munāfiqun) dan suku-suku Yahudi menghadirkan gambaran tentang ketegangan yang melanda Madinah pada masa itun (Nӧldeke, 2013: 138-139).

Dengan demikian, dinamika perubahan peran Muhammad dari Mekah ke Madinah mencerminkan kompleksitas sejarah awal Islam. Faktor-faktor sosial, politik, dan agama saling terkait dalam membentuk perjalanan dan pengaruh Muhammad dalam membentuk masyarakat Madinah yang baru.

Karakter dan Isi Surah Madinah

Dalam menjelaskan tentang karakter dan isi surah Madinah, Nӧldeke menerangkan terdapat perubahan signifikan dalam fokus dan pendekatan surah-surah ini dibandingkan dengan surah-surah Mekkah sebelumnya. Surah-surah Madinah lebih menekankan pada aspek hukum, perintah, dan undang-undang, serta memberikan arahan kepada umat Islam dalam konteks sosial dan politik yang baru di Madinah (Nӧldeke, 2013: 140).

Lebih lanjut, Nӧldeke menyoroti perubahan dalam target audiens surah-surah ini,  yang lebih sering diarahkan kepada umat Islam secara spesifik, dibandingkan dengan sapaan umum kepada masyarakat seperti pada surah-surah Mekkah.  Misalnya, panggilan “wahai kalian”, dan lebih jarang lagi, panggilan untuk Yahudi (Nӧldeke, 2013: 140). Ini menunjukkan bahwa surah-surah Madinah lebih fokus pada pembentukan komunitas Muslim yang kuat di Madinah.

Selain itu, Nӧldeke mengamati bahwa bahasa dan gaya surah-surah Madinah cenderung lebih sederhana dan langsung, terutama dalam hal formulasi undang-undang dan perintah. Meskipun terdapat sajak-sajak yang kadang-kadang berlebihan, Muhammad tetap mempertahankan kesederhanaan dalam gaya penyampaiannya (Nӧldeke, 2013: 140).

Poin terakhir yang bisa ditemukan, sebagai kekhasan surah Madinah adalah bahwa surah ini didominasi oleh sejarah murni. Hal ini berbeda  dengan surah Mekkah, banyak kronologi yang tidak pasti dan melegenda. Inilah yang kemudian membuatnya merasa yakin dapat menelusuri susunan surah Madinah secara kronologi (Nӧldeke, 2013: 141). Berikut daftar surah-surah Madinah Nӧldeke yang dibagi kedalam dua kelompok.

Kelompok pertama: 2: Al-Baqarah, 98: Al-Bayyinah, 64: At-Taghabun, 62: Al-Jumu’ah, 8: Al-Anfal, 47: Muhammad, 3: Ali ‘Imran, 61: Ash-Shaff, 57: Al-Hadid, 4: An-Nisa’, 65: At-Thalaq, 59: Al-Hasyr.  Kelompok kedua: 33: Al-Ahzab, 63: Al-Munafiqun, 24: An-Nur, 58: Al-Mujadilah, 22: Al-Hajj, 48: Al-Fath, 66: At-Tahrim, 60: Al-Mumtahanah, 110: An-Nashr, 49: Al-Hujurat, 9: At-Taubah, dan 5: Al-Ma’idah.

Penyusunan surah ini, dalam bukunya the History of the Qur’an: the Medinan Sūras, sebenarnya disertai dengan rangkaian komentar. Komentar yang ditampilkan memuat runtutan peristiwa dan penanggalan, sehingga terlihat seperti satu kronolgi yang diakronik. Oleh karena itu, jika tertarik untuk menelusurinya lebih lanjut, penulis menyarankan untuk merujuk langsung kepada bukunya Nӧldeke.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, Nöldeke menyoroti perubahan fokus dalam surah Madinah yang lebih menekankan hukum dan perintah, perubahan audiens yang lebih spesifik kepada umat Islam, serta gaya bahasa yang lebih sederhana dan langsung. Ia juga mencatat dominasi narasi sejarah dalam surah-surah ini, memungkinkan penyusunan kronologis yang akurat.

Perlu di catat, meskipun pendekatan Nöldeke dan ulama Muslim terhadap sejarah Al-Qur’an berbeda dalam hal metodologi dan perspektif, terdapat beberapa kesamaan penting (Al-Jabiri, 2016: 243). Kedua belah pihak menunjukkan minat yang mendalam pada kronologi wahyu, memahami konteks sejarah turunnya wahyu, dan berusaha mengklasifikasikan surah-surah Al-Qur’an berdasarkan periode turunnya.

Dengan demikian, pendekatan kritis dan historis Nöldeke membuka jalan bagi studi Al-Qur’an yang lebih mendalam dan kontekstual, memberikan wawasan tentang bagaimana teks-teks al-Qur’an merespons kebutuhan sosial-politik umat Islam pada masa awal. Walaupun pada hakikatnya, Nӧldeke sendiri mengakui banyak hal yang belum pasti, ada perkiraan waktu dan anggapan bahwa ayat-ayat berasal dari periode Madinah.

Daftar Pustaka

Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2016. Al-Makhal Ila Al-Qur’an Al-Karim. Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-Arabiyah.

Anshori, Muhammad. 2018. “Tren-Tren Wacana Studi Al-Qur’an Dalam Pandangan Orientalis Di Barat.” Nun: Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara 4(1): 13–44.

Karimi-Nia, Morteza. 2013. “The Historiography of the Qur’an in the Muslim World: The Influence of Theodor Nöldeke.” Journal of Qur’anic Studies 15(1): 46–68.

Nӧldeke, Theodor. 2013. “The Medinan Suras.” In The History of the Qur’an, ed. Wolfgang H. Behn. Leiden, Boston: BRILL.

Yahya, Mohamad. 2015. “ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE (1836-1930 M.).” Jurnal Syahadah III(1).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *