Tafsir Al-Qur’an Tematik yang dibahas dalam tulisan ini mengacu pada interpretasi Al-Qur’an yang disajikan oleh Kementerian Agama RI. Fokus utama dari salah satu tafsir ini adalah pentingnya isu keperempuanan, yang jelas disorot dan diangkat oleh Kementerian Agama dalam seri khusus mereka yang dikenal dengan nama seri Kedudukan dan Peran Perempuan, diterbitkan pada tahun 2009. Karya ini telah menjadi topik yang hangat diperbincangkan di kalangan peneliti tafsir dan akademisi yang tertarik pada isu keperempuanan, baik dalam bentuk kritik maupun apresiasi.
Dengan objek yang sama, saya pernah melakukan penelitian dengan judul “Mambaca Pesan Al-Qur’an tentang Perempuan dalam Tafsir Negara: Studi Kritis terhadap Tafsir Al-Qur’an Tematik Seri Kedudukan dan Peran Perempuan” (tesis, 2024). Salah satu tema tafsir yang saya teliti ialah “Peran Perempuan dalam Bidang Sosial”. Hasilnya didapati bahwa penafsiran tentang tema tersebut tergolong pada penafsiran yang egaliter dengan model pembacaan intratekstual, yaitu pencarian makna dengan melihat ayat Al-Qur’an secara komprehensif dengan tujuan merekonstruksi pemaknaan ayat-ayat yang terkesan bias gender (Fazlin, 2024: 120).
Namun setelah melakukan pembacaan ulang terhadap tafsir tersebut, khususnya pada tema “Peran Perempuan dalam Bidang Sosial”, saya menemukan asumsi lain bahwa negara –melalui penafsiran –justru “memaksa” kaum perempuan untuk melakukan peran ganda (double burden). Di satu sisi perempuan didorong untuk melakukan aktivitas/tanggung jawab sosial di luar rumah, namun di saat yang sama perempuan juga harus selalu mengingat dan memenuhi tugas utamanya dalam rumah tangga.
Berikutnya, asumsi tersebut akan dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan ini. Dengan demikian, tulisan ini merupakan pengembangan sekaligus mengonfirmasi ulang salah satu fragmen dari penelitian sebelumnya yang membahas “Peran Perempuan dalam Bidang Sosial” dalam perspektif Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan.
Pengantar: Penafsiran Kementerian Agama dalam QS. al-Aẖzâb/33: 3
- al-Aẖzâb/33: 3 merupakan ayat utama yang diangkat oleh Kementerian Agama dalam merekonstruksi pemaknaan tentang peran perempuan di ranah publik atau bidang sosial.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahl al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. al-Aẖzâb/33: 3)
Dengan mengutip sejumlah pendapat ulama dan mufasir, penulis Tafsir Al-Qur’an Tematik sampai pada kesimpulan bahwa QS. al-Aẖzâb/33: 3 tidaklah cocok dikatakan sebagai penghambat kaum perempuan untuk berkiprah di ruang publik (di luar rumah). Disertakan pula beberapa alasan lainnya dalam Al-Qur’an yang menyatakan dorongan bagi semua kalangan untuk melakukan amal saleh dan bermanfaat (QS. al-Mulk/67: 2 tentang keniscayaan bekerja bagi manusia dan QS. al-Nisâ’/4: 32 tentang kesempatan berperstasi bagi laki-laki dan perempuan) dan kewajiban menuntut ilmu bagi setiap manusia (QS. al-‘Alaq/96: 1-5 tentang wahyu pertama yang berupa anjuran untuk memperoleh ilmu pengetahuan, QS. al-Baqarah/2: 30-31 tentang tugas khalifah yang membutuhkan ilmu pengetahuan, QS. Ṭâhâ/20: 114 tentang do’a agar senantiasa ditambahkan ilmu pengetahuan, dan sejumlah ayat pendukung lainnya) (Departemen Agama RI, 2009: 127-149).
Alih-alih untuk mendomestikasi perempuan –yang justru akan menjadi pandangan kontra produktif dengan nilai-nilai Al-Qur’an di atas jika berlaku demikian –QS. al-Aẖzâb/33: 3 lebih tepat dimaknai sebagai ajaran bahwa tugas pokok seong istri (perempuan) pada dasarnya ialah mengurus rumah tangga, sedangkan suami (laki-laki) diwajibkan untuk mencari nafkah. Maka menurut penulis tafsir, tidak terdapat larangan bagi perempuan untuk bekerja di luar rumah, ketika pekerjaan utamanya sebagai pengurus rumah tangga telah tertunaikan dengan baik (Departemen Agama RI, 2009: 131).
Tampak problem yang diapungkan oleh Kementerian Agama tidaklah berada pada kebolehan atau tidaknya perempuan untuk bekerja di luar rumah, melainkan terpenuhi atau tidaknya tugas utama yang telah disebutkan. Dengan kata lain, bekerja di luar rumah/ranah publik hanyalah tugas sampingan bagi perempuan –yang memang sangat dianjurkan –akan tetapi terdapat S&K yang berlaku.
Mengidentifikasi Isyarat Double Burden yang Terselubung
Anggapan bahwa tugas pokok perempuan sebagai pengurus rumah tangga berarti mengasumsikan bahwa kodrat perempuan yang sebenarnya ialah di rumah. Adapun perdebatan terkait makna “kodrat” menjadi hal yang signifikan sekaligus titik berangkat dalam merespon diskursus ini. Apakah mengurus rumah tangga merupakan kodrat perempuan?
Kusmana, dalam tulisannya yang berjudul “Kodrat Perempuan dalam Al-Qur’an: Sebuah Pembacaan Konstruktivistik” (2019), melalui pembacaan konstruktivistiknya tersebut telah menghasilkan tiga klasifikasi persepsi mufasir Indonesia dan pemikir Islam akan wacana kodrat perempuan.
Pertama, yang memisahkan makna kodrat yang kodrati dan non-kodrati. Salah satu tokoh yang mempunyai persepsi ini ialah Zaitunah Subhan. Menurutnya, kodrat perempuan yang bersifat kodrati hanyalah terkait reproduksi: haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara apa yang selain keempat tersebut bersifat non-kodrati, yang mana dipahami oleh sebagian besar masyarakat sebagai bagian dari kodrat perempuan yang sebenarnya, dan inilah yang disebut oleh Subhan sebagai mitos dan stereotipe yang perlu dikritisi dan didekonstruksi. Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang digaungkan oleh para feminisme (Kusmana, 2019: 65).
Kedua, mengapresiasi pemahaman kodrat perempuan yang dinamis di tengah masyarakat dan mengonstruksi keadilan gender melalui perspektif Al-Qur’an. Pemikir Muslim yang termasuk pada kategori ini ialah Faqihuddin Abdul Kadir, yang terkenal dengan gagasannya Qirâ’ah Mubâdalah. Gerakan feminisme yang kebanyakan masih asing di kalangan masyarakat, tetap disosialisasikan oleh Abdul Kadir melalui penggunaan rujukan-rujukan utama Islam yang lebih mudah diterima, seperti Al-Qur’an dan Hadis (Kusmana, 2019: 67).
Ketiga, kalangan yang memilih jalan tengah atau berpikiran moderat, seperti M. Quraish Shihab dan Nasaruddin Umar. Pandangan ini menyuarakan kebolehan dan memberikan dukungan bagi perempuan dalam berperan aktif di ruang publik sebagaimana laki-laki, namun di satu sisi juga berpendapat agar perempuan tidak melupakan peran-peran tradisionalnya (Kusmana, 2019: 67). Misalnya penafsiran Shihab dalam QS. al-Aẖzâb/33: 3, yang menjelaskan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja, akan tetapi yang menjadi tugas pokok perempuan ialah rumah tangga, dengan mengutip pendapat Sayyid Qutb (Shihab, 2021: 10/469).
Jika paparan di atas merupakan klasifikasi persepsi dari para pakar tafsir dan pemikir Muslim, lebih lanjut Kusmana melakukan analisis secara konseptual terhadap kodrat perempuan yang dipersepsikan oleh masyarakat, yakni kodrat dalam konteks budaya/norma dan kodrat sebagai kategori analisis. Sebagai nilai budaya/norma, kodrat berfungsi untuk mendeskripsikan hubungan antara persepsi di masyarakat dengan bagaimana praktiknya di lapangan, yaitu untuk memberikan sebuah sanksi atau hadiah atas perilaku masyarakat (sebagai standardisasi). Sementara sebagai kategori analisis, kodrat berfungsi sebagai alat untuk menganalisis/mendiskusikan bagaimana sebuah praktik masyarakat mengonstruksi persepsi tertentu (Kusmana, 2019: 71).
Kodrat perempuan sebagai nilai budaya/norma terus berkembang dan bersifat dinamis. Mulai dari terutup akan hal baru, moderat, dan sikap terbuka. Sementara sebagai sebuah kategori analisis, kodrat merupakan satu asumsi subjektif dalam satu kali aplikasi. Salah satu kategori analisis yang dikutip Kusmana ialah apa yang diformulasikan oleh Julia Suryakusuma. Ia mengartikan kodrat sebagai sesuatu yang alamiah (nature) dan nasib/takdir (destiny).
Kusmana menyatakan bahwa ini adalah kritik yang dilontarkan oleh Suryakusuma terhadap keyakinan umum tentang kodrat dan perilaku sosial yang terkait dengan peran perempuan. Banyak sikap yang mendukung partisipasi perempuan dalam ruang publik, namun tetap menginginkan agar perempuan tidak melupakan peran tradisionalnya di rumah tangga (“jangan lupa kodratnya”). Pandangan ini menurut Suryakusuma dimaksudkan negara untuk mendomestikasi perempuan.
Negara berupaya untuk menaikkan kualitas keibuan dengan menggalakkan peran tradisional perempuan dan mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan atau dijadikan sebagai pilar bangsa. Kemudian ia menyadari bahwa situasi ini telah memposisikan perempuan pada penanggung peran ganda (double burden). Satu sisi didorong untuk berkiprah di ranah publik, sementara satu sisi lainnya juga diharapkan tidak meninggalkan peran utamanya dalam rumah tangga; beban negara dan beban keluarga (Kusmana, 2019: 72).
Kritikan yang disampaikan oleh Suryakusuma di atas mengasumsikan bahwa negara lebih menitikberatkan peran perempuan untuk berada di ranah domestik, sedangkan dorongan untuk berpartisipasi di ranah publik hanyalah sebatas “omongan belaka” agar tetap mendapatkan penerimaan rakyat dan memberikan kesan kebijakan yang berkesetaraan gender.
Sekilas persepsi konseptual berdasarkan kategori analisis dari Suryakusuma di atas hampir sama dengan persepsi dari mufasir dan pemikir Muslim Quraish Shihab dan Nasaruddin Umar. Namun penulis memilih untuk tidak mengatakannya sama, kendati memang hampir sama, karena pendapat keduanya cenderung menguatkan peran perempuan di ranah domestik sebagai tugas pokok dibandingkan bekerja di luar rumah (meskipun tidak melarang). Sementara hasil analisis Suryakusuma mengarah pada beban ganda oleh pemerintah yang memang didorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan juga dituntut untuk tidak meninggalkan urusan rumah tangganya.
Kembali ke masalah yang telah diperkenalkan oleh penulis, yaitu mengenai penafsiran Kementerian Agama dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan. Penulis mengasumsikan bahwa dari penafsiran mereka terhadap QS. al-Ahzab/33:3, terlihat adanya indikasi bahwa perempuan mungkin menghadapi beban ganda, sebagaimana yang dinyatakan di awal, karena persepsi tentang kodrat yang sejalan dengan analisis Suryakusuma sebelumnya.
Perempuan tidak dilarang untuk berkecimpung di ranah publik, justru lebih didorong dengan memaparkan sejumlah ayat Al-Qur’an yang mendukung akan pentingnya melakukan kegiatan di ranah publik yang bermanfaat, namun pemerintah melalui Kementerian Agama juga sangat menekankan kepada perempuan akan tugas pokok sebagai pengurus rumah tangga. Penafsiran yang mulanya tampak sebagai sesuatu yang positif karena memberikan peluang kepada perempuan, namun setelah dilihat lebih dalam justru merupakan praktik yang merugikan perempuan dan bias gender.
Referensi
Fazlin, Hani. “Membaca Pesan Al-Qur’an Tentang Perempuan Dalam Tafsir Negara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Al-Qur’an Tematik Seri Kedudukan Dan Peran Perempuan”. Tesis. Jakarta: Universitas PTIQ Jakarta, 2024.
Kusmana. “Kodrat Perempuan dalam Al-Qur’an: Sebuah Pembacaan Konstruktivistik. Ilmu Ushuluddin. Vol 6, Nomor 1, Januari 2019.
Shihab, M. Quraish. Tafsîr al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Tangerang: PT. Lentera Hati, 2021.
Tim Departemen Agama RI. Tafsir Al-Qur’an Tematik seri Kedudukan dan Peran Perempuan. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2009.