Paradigma Hak Asasi Disabilitas dalam Al-Qur’an: a Socio-religious Model of Disability

Terdapat sekitar 10% populasi masyarakat disabilitas di Indonesia, dimana mereka mengalami kekurangan akses terhadap dunia pendidikan yang layak, kesempatan ekonomi, pelayanan kesehatan, hingga mendorong mereka pada jurang kemiskinan. Tantangan para kaum disabilitas di Indonesia mendapatkan hambatan struktural (structural barriers) yang menghalangi produktivitas mereka.

Kendati pemerintah telah mendesain dan mengimplementasikan program penlindungan sosial pada kaum disabilitas dalam beberapa program, namun para aktivis disabilitas masih mengharapkan fokus pemerintah dan pemangku kepentingan agar memandang kepada mereka bukan sebagai objek amal (charity paradigm) melainkan pemberdayaan komunitas dalam pemberian hak asasi (human rights paradigm).(Dian Maya Safitri 2022)

Bacaan Lainnya

Diskursus Islam berada dalam kajian lebih humanis terhadap kasus ini, yang mana hak asasi kaum difabel diberikan sepadan dan tidak membedakan dengan kaum normal. Bisa dilihat bagaimana kajian fiqih kaum difabel dalam literatur-literatur klasik, yang menyajikan hukum-hukum fiqih disabilitas. Begitu juga perspektif hukum Islam modern telah mengembangkan langkah-langkah berbasis spirtual dan fisik kepada kaum disabilitas. (Moch. Taufiq Ridho 2021, 1)

Dalam pengobatan medis beberapa doktor menggunakan beberapa pijakan filosofis dari beberapa ayat al-Qur’an. Namun sayangnya, fakta lapangan tidak demikian, masyarakat muslim masih cenderung menganggap kaum ini perlu dikasihani dan tidak diberi akses pada hak-hak mereka sebagai Hamba Allah yang memiliki kebutuhan dalam beribadah dan bermuamalah. Disebabkan para individu hingga kelompok masih berparadigma layaknya paradigma amal.

 

Term Cacat & Disabilitas

Disabilitas merupakan istilah baru pengganti “penyandang cacat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyandang diartikan sebagai seseorang yang menderita (menyandang) sesuatu. Sedangkan “disabilitas” adalah cacat atau ketidakmampuan yang diserap dari bahasa Inggris yaitu Disability (Departemen Pendidikan Nasional 2008, 132).

Di Indonesia, dalam sejarahnya, penggunaan terminologi sebelum kata “disabilitas” ialah “penyandang cacat”, yang kemudian perubahan diadakan pada Semiloka di Cibinong Bogor. Diikuti oleh beberapa pakar linguistik, komunikasi, sosiologi, filsafat, pemerintah, komunitas penyandang cacat dan komnas HAM. Melalui forum ini terbentuklah istilah yang kita kenal dengan “penyandang Disabilitas/Person with Disability”.(Akhmad Soleh 2016, 22)

Dalam sejarahnya terdapat banyak pergeseran dalam berbagai aspek; dari segi penyebutan, model pendekatan, hingga paradigma/sifat pendekatan. Mulai dari penyebutan penyandang cacat menjadi; difabel, penyandang ketunaan, anak berkebutuhan khusus, hingga penyandang disabilitas. Ragam model pendekatan juga bertransformasi dalam konteks ini: medical model, traditional model dan individual model menjadi social model.

Paradigma pendekatan mulai dari charity based (Belas kasihan) menjadi human rights based (hak asasi). Menurut Brown S, paradigma objek ialah paradigma lama, dimana penyandang disabilitas selalu dianggap pasien (medical model), penerima bantuan (charity based), dan subyek penelitian. Adapun dalam paradigma baru penyandang disabilitas dilihat sebagai pemakai/pelanggan, rekan yang terberdayakan (empowered peer), pemegang kebijakan, hingga partisipan riset.(Scoot Campbell Brown 2001, 157)

Ragam penyandang Disabilitas di Indonesia telah disebutkan dalam Pasal 4 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, terklasifikasikan menjadi 5 kategori, yakni Disabilitas fisik (disabilitas fungsi tangan dan kaki), Disabilitas Intelektual (disabilitas fungsi berfikir/grahita, lambat belajar, hingga down syndrom), Disabilitas Mental (pengidap skizofrenia, bipolar, depresi, axietas hingga autis dan hiperaktif), Disabilitas Sensorik (disabilitas fungsi sensorik netra/mata, rungu/tuli dan wicara/mulut), Disabilitas Ganda atau Multi (disabilitas fisik-mental, fisik-intelektual, fisik-sensorik, dan seterusnya).

 

Social Model & Human Rights Paradigm

Kebutuhan bekerja, mengenyam pendidikan, bepergian dan bersilaturahmi, mencari relasi, dan berbagai kebutuhan alamiah seorang manusia tidak dapat berfungsi dengan normal bagi penyandang disabilitas. Semua masalah ini tidak dapat direspon secara individual maupun medis (medical model), karena pengaruh kecacatan ini berada dalam dampak sosial masyarakat.

Dimana oleh Mike Olivier menggagas cara pandang penyandang disabilitas dengan istilah “social model”, ia mengemukakan bahwa disabilitas ialah lingkup sosial bukan suatu kondisi medis, meski terdapat intervensi medis disana. Seorang dokter dilatih untuk mengdiagnosa, mengobati, menyembuhkan penyakit, tidak ada campur tangan dalam kondisi sosial disana.(Mike Olivier 1990, 3)

Di Indonesia sendiri pergeseran perundang-undangan yang bercorak paradigma amal menuju hak asasi penyandang disabilitas mengalami peningkatan dari tiap periodenya. Bermula dari “UU NRI 1945” yang menyatakan dalam keterjaminan konstitusional kepada mereka yang mengalami, ketertinggalan, pengucilan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosio-kultural.

Dalam pasal-pasalnya kata “Disabilitas” masih belum ditemukan, melainkan masih menggunakan istilah yang lebih global “semua orang”, hal ini berimbas pada masih maraknya diskriminasi fisik dan mental. Berjalan seiiring waktu, Konstitusional Indonesia mulai berbenah, hingga menghasilkan 114 perundang-undangan yang terkait disabilitas berasaskan pendekatan HAM (Human Rights), seperti; UU No. 4 Thn. 1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 39 Thn. 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU. No. 11 Thn. 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU. No. 42 Thn. 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, hingga Perda Kabupaten, Kota, Provinsi tentang Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.(Nursyamsi 2015, 23)

 

Al-Qur’an dan Disabilitas

Ayat-ayat al-Qur’an memang tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “Disabilitas”, namun bentuk-bentuk derivatifnya tersebar di berbagai tempat. Beberapa istilah dalam al-Qur’an yang merujuk pada disabilitas antara lain: maraḍh, uli al-ḍarar, a‘ma, ‘ajz, abkam, aṣamm, a‘raj, ahlu al-‘użr, ahlu ‘ilal, safīh, al-ba’sa, miskīn, ḍa‘īf, sayyi’ah, dan muṣībah.(Al-Ragib al-Asfahani, n.d., 486). Setiap istilah ini mengandung derivasi masing-masing.

Secara umum, ayat- ayat disabilitas dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu umum, lalu khusus yang berkaitan dengan cacat fisik dan terakhir, non-fisik (metamorfosis). Karenanya orang yang durhaka dan bermaksiat juga dapat disebut sebagai penyandang disabilitas. (Moch. Taufiq Ridho 2021, 2) Spesifikasi tulisan ini akan bermuara pada disabilitas fisik dan sensorik.

Terdapat surah dalam al-Qur’an yang membahas disabilitas dan mengundang berbagai pandangan tafsir, yakni surah ‘Abasa ayat 1-4. Dikisahkan bahwa seorang tunanetra bernama Abdullāh bin Ummi Maktūm datang menemui Rasulullah saw. saat beliau tengah berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Kedatangan Abdullāh bin Ummi Maktūm menyebabkan Rasulullah saw. merasa terganggu dan menunjukkan ekspresi kecewa dengan bermuka masam dan berpaling. Ayat ini turun dan menegur sikap Rasulullah, barulah Rasul melayani lebih hormat.(Yahya bin Ziyād bin Abdillāh al-Farrā, n.d., 235)

Para ulama mengambil hikmah dari peristiwa ini bahwa penyandang disabilitas memiliki hak yang setara dalam memperoleh pendidikan agama, dengan tetap menjaga etika sosial. Peristiwa peneguran Rasulullah menjadi contoh bagi muslim agar memerhatikan hak bagi penyandang disabilitas. Kemudian Rasulullah saw. memberikan pelajaran (ta’dīb) kepada Abdullāh bin Ummi Maktūm melalui sikap tersebut.

Dalam QS. al-Fath [48]: 17 menjelaskan bagaimana seorang muslim penyandang disabilitas medapatkan hak keringanan dalam kewajiban berjihad. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa terdapat kategorisasi bagi penyandang disabilitas, berdasarkan pengaruhnya dalam peperangan. Disini Islam bukannya membatasi untuk tidak melakukan peperangan berlandaskan pandangan amal/kasihan, namun memanajemen kategorisasi kompetensi dalam peperangan dan mempersilahkan keikutsertaan ataupun tidak ikut serta.

Kategorisasinya pertama adalah orang tunanetra (disabilitas mata), sebab sulitnya maju melawan musuh atau melarikan diri. Yang kedua adalah tunadaksa (disabilitas tangan dan kaki), dan yang ketiga ialah orang yang sakit (parah). Namun orang yang mengalami cacat ringan atau sakit ringan, seperti; gangguan limpa, batuk, nyeri sendi, dan yang hanya menyebabkan lemah fisik. masih diperkenankan untuk melakukan perang. (Fakhruddin Ar-Razi 2000, 79)

 

Sebuah Tawaran Teori Socio-religious Model of Disability

Secara keseluruhan Al-Qur’an secara konsisten membahas kondisi setiap individu yang berpotensi sempurna dan tugas mereka untuk mengembangkan potensi tersebut. Al-Qur’an menekankan bahwa masyarakat memiliki kewajiban untuk meningkatkan kondisi dan status penyandang disabilitas sebagai kelompok yang tertindas (mustad’afīn). Seperti contoh, sebelum datangnya Islam, kaum tunanetra diperlakukan dengan tidak adil, dan Islam hadir untuk membela mereka.

Nabi Muhammad saw. diutus ke Jazirah Arab untuk membawa perubahan dengan mengajarkan keadilan dan persamaan derajat. Islam mendorong partisipasi semua lapisan masyarakat untuk melibatkan tunanetra di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, serta menjamin hak-hak penyandang disabilitas. (Moch. Taufiq Ridho 2021, 9) Ilmuwan Islam seperti Isa ibn Ali menulis buku berjudul “Memoranda for Eye Doctors” pada tahun 1497 untuk mengembangkan ilmu pengobatan mata, terinspirasi oleh ajaran Islam.(Abdullah al-Musa dan Kay Ferrell 2004)

Hal ini Senada dengan tulisan Syekh Az-Zuhaili dalam Al-Islām wa al-I’āqah: Bahtṡun fī Raṣdi al-Ẓhawāhir al-Ijtimā’iah lī al-Mu’awwiqīn, posisi Islam terhadap penyandang disabilitas sangat jelas, yaitu menjamin hak-hak mereka terpenuhi (human rights based) dan menetapkan nilai-nilai etis yang dikenakan pada penyandang disabilitas. Mereka memiliki ketetapan aturan tersendiri dalam Islam. Kewajiban terhadap penyandang disabilitas dalam Islam tidak saja ditimpakan kepada masyarakat terhadapnya melainkan juga pemerintahan Islam dengan mengusung prinsip-prinsip solidaritas sosial.(Wahbah Az-Zuhaili 2011)

Dalam implementasinya sebagai muslim, perlu adanya perilaku masyarakat muslim yang inklusif dengan berbasis hukum dan moral Islam. Masyarakat harus disadarkan akan hak-hak konstitusional dan moral-moral dalam agama, yang mana oleh Bahrul Hikam menyebutnya dengan Socio-religious Model of Disability (SrMD). Karena pemberian rukhsah (keringanan) dalam agama tidaklah cukup, namun harus diimbangi dengan pemberian akses ibadah dan muamalah, berupa intrumen fasilitas penunjangnya. (Ahmad Bahrul Hikam 2023, 267)

Dalam konteks penyediaan fasilitas di ruang publik, Abu Ya’la al-Farra’ menyatakan penyediaan ruang publik (hilqat al-qaum) harus berdasarkan asas keselamatan bersama. Hal itu berkaitan dengan kemaslahatan umum (al-maslahat al-‘āmmah) dan temasuk dalam prospek hifzh an-nafs, sehingga terciptanya inklusifitas dalam berbagai aspek kehidupan dan menghilangkan diskriminasi antar-sesama.

 

Daftar Pustaka

Hikam, Abdullah al-Musa dan Kay Ferrell. 2004. “Blindness in Islam.” CEC Conference 2004.

Akhmad Soleh. 2016. Aksesibilitas Penyandang Disabilitas Terhadap Pergutruan Tinggi. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara.

Al-Ragib al-Asfahani. n.d. Mu’jam Mufradāt Lī al-Fāz al-Qur’ān. Beirut: Dar al-Fikr.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dian Maya Safitri. 2022. “Removing Barriers for Indonesians with Disability.” June 23, 2022. https://www.policyforum.net/disability-in-indonesia-from-charity-to-human-rights/.

Fakhruddin Ar-Razi. 2000. Mafatih Al-Ghaib. Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi.

Mike Olivier. 1990. “The Individual and Social Models of Disability.” Paper. Joint Workshop of The Living Options Group and the Tresearch Unit of The Royal College of Physicians.

Moch. Taufiq Ridho. 2021. “Al-Qur’an Dan Penyandang Disabilitas: Heterodoksi Resepsi Surah ‘Abasa 1-4 Di Yaketunis Yogyakarta.” Disertasi, Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Nursyamsi, Fajri, dkk. 2015. Kerangka hukum disabilitas di Indonesia: menuju Indonesia ramah disabilitas. Cetakan pertama. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.

Scoot Campbell Brown. 2001. Methodological Paradigms That Shape Disability Research. London: Sage.

Wahbah Az-Zuhaili. 2011. Al-Islām Wa al-I’āqah: Bahsun Fī Rashdi al- Ẓawāhir al-Ijtima’iah Li al-Muawwiqīn. Beirut: Dar al-Fikr.

Yahya bin Ziyād bin Abdillāh al-Farrā. n.d. Ma’ānī al-Qur’ān. Mesir: Dār al-Mishriyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *