Pada masa awal Islam, zakat berfungsi sebagai, jika disepdadankan dalam konteks Indonesia, sumber utama anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sehingga, tak heran jika khalifah Abu Bakar mengeluarkan kebijakan keras untuk memerangi dan menumpas orang-orang murtad, karena mereka berarti tidak lagi membayar zakat dan jika tidak membayar zakat, maka sumber utama negara akan berkurang banyak yang akan mengakibatkan naiknya inflasi dan munculnya resesi ekonomi dan pada akhirnya negara bisa kolaps dan ambruk.
Sejarah Islam awal pun menegaskan bahwa tidak ada beban ganda yang harus dipikul oleh umat Islam. Mereka hanya diwajibkan membayar zakat kepada negara, sementara umat non-muslim yang tinggal di negara Islam mereka harus membayar pajak (jizyah) sebagai jaminan keamanan bagi mereka, pajak (kharaj) dikarenakan kepemilikan mereka atas tanah pada zaman dahulu yang kemudian diambil alih oleh Islam dan kemudian menjadi hak milik negara Islam (masa Umar ibn Khattab). (Taufiq Hidayat, 2013: 76).
Zakat merupakan perintah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an dan merupakan kewajiban bagi umat Islam ketika telah mencapai syarat yang ditetapkan. Zakat juga termasuk pada rukun Islam. Beberapa negara Islam lainnya, seperti Saudi Arabia, Uni Emirat Arab dan Quwait juga memiliki sistem pajak dan zakat yang berbeda-beda. (Yuli Afriyandi, 2014: 18).
Dalam konteks negara Indonesia yang notabene berpenduduk mayoritas Islam namun bukan negara Islam, nilai keadilan yang dirasakan akan berbeda dengan nilai keadilan pada negara Islam ataupun negara-negara sekuler. Karena, tolak ukur terhadap masyarakat adil adalah suatu masyarakat yang bebas dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dominasi budaya, agama, pengetahuan, ideologi, dan gender. (Tri Nurbayati, 2009: 210).
Mereka di samping harus membayar pajak kepada negara, yang meliputi pajak bumi dan bangunan, pajak barang perniagaan, pajak konsumsi barang, fiskal kalau bepergian ke luar negeri, pajak penghasilan, juga harus membayar zakat. Umat Islam Indonesia harus memikul double taxs, yaitu beban ganda zakat dan pajak. Berangkat dari kegelisahan itu, Masdar Farid Mas’udi kemudian menuangkan ggagasannya yang segar lagi kontroversial terutama terkait isu double taxs ini.
Diskursus Double Taxs: Pengertian Zakat dan Pajak
Zakat berasal dari akar kata zakâ yang merupakan bentuk isim masdar yang secara etimologis mempunyai beberapa arti diantaranya: suci, tumbuh, berkah, terpuji dan berkembang. Adapun secara terminologis zakat diartikan dengan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak. (Edi Haskar, 2020: 30).
Allah berfirman dalam QS. at-Taubah/9: 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. at-Taubah/9: 103).
Sedangkan pajak berasal dari bahasa latin, taxo atau rate, yang berarti iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang undang, sehingga dapat dipaksakan dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung. Menurut Charles E. McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi atau badan) oleh negara yang digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. (Umniyatis Sholihah Hastriana, 2018: 86).
Sedangkan pajak menurut Rochmat Soemitro merupakan iuran rakyat kepada kas negara, peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor pemerintahan dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjuk untuk membiayai dan digunakan untuk pengeluaran umum, atau peralihan kekayaan dari rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk membiayai investasi publik (public investment). (Gazali, 2015: 85).
Sejarah Pranata Zakat dan Pajak
Dalam sejarah Islam, zakat dan pajak ini pernah ditetapkan secara bersamaan. Dalam literatur fikih serta sejarah, ditemukan istiah kharaj, jizyah dan ‘usyr. Berbeda dengan zakat yang karena kedudukannya sebagai rukun Islam, zakat dipandang sakral sehingga siapapun yang menanganinya dituntut sikap yang ekstra hati-hati, hal ini berbeda dengan kharaj, jizyah dan ‘usyr. Secara eksplisit penyaluran dana zakat telah ditentukan dalam Al-Qur’an, sedangkan kharaj, jizyah dan ‘usyr lebih memiliki ruang kebebasan terhadap penyalurannya.
Hal tersebut telah terjadi semenjak pasukan muslimin yang baru saja berhasil menaklukkan Irak (ardun sawad). Kemudian setelah terjadi perdebatan panjang, khalifah Umar Ibn Khattab R.A berijtihad untuk tidak membagikan harta rampasan perang tersebut (menjadikan ardun sawad sebagai fa’i), dengan mempertimbangkan generasi mendatang. Akan tetapi, tanah taklukan tersebut dikenakan kharaj (pajak) kepada penduduk sekalipun telah memeluk ajaran Islam. Sejak saat itu, tonggak awal diberlakukan kewajiban pajak disamping zakat bagi kaum muslimin berlandaskan ketentuan-ketentuan syariat Islam. Ketentuan tersebut berlanjut hingga masa kini. (Tri Nurbayati, 2009: 220).
Pendekatan Tafsir Transformatif Masdar Farid Mas’udi
Masdar Farid Mas’udi menawarkan suatu pendekatan dalam memahami ajaran agama, yang ia sebut sebagai pendekatan transformatif. Masdar memahami “transformasi” disini sebagai terjemahan dari hijriyyah, yakni suatu perpindahan dari satu posisi ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang lebih baik.
Pendekatan transformatif dalam memahami al-Qur’an harus mengacu pada dua rumusan. Pertama, kemaslahatan dan keadilan sosial. Kedua, rekonstruksi qath’iy dan zhanny. Qath’iy adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tegas (sharih), sedangkan dhanniy adalah ajaran yang dikemukakan dalam teks bahasa yang tidak tegas, yang ambigu atau bias diartikan lebih dari satu pengertian.
Semua ketentuan agama yang terdapat dalam fiqh disebut sebagai ketentuan hukum (kecuali ketentuan normatif tentang mana yang halal dan mana yang haram), menurut beliau, semuanya adalah zhanny.
Implementasi dari metode penetapan pajak dan zakat terhadap rekonstruksi makna qath’iy dan zhanny, adalah bahwasanya pajak mesti ada tarif dan objek pajaknya, hal ini termasuk qathi’iy, abadi selamanya sepanjang masa. Akan tetapi rincian dari tarifnya termasuk zhanny.
Sebagai contoh konkret adalah mengenai objek yang wajib dizakati, Masdar Farid Mas’udi berpendapat tentang cakupan harta yang harus dizakati, harus diperluas untuk konteks sekarang. Angka tarif pajak bersifat dzanny dan harus disesuaikan dengan kebutuhan negara, tidak boleh pegawai pajak menarik kepada wajib pajak dengan tidak ada tarifnya (seenaknya). (Umniyatis Sholihah Hastriana,2018: 96)
Integrasi Zakat dan Pajak Dalam Pemikiran Masdar Farid Mas’udi
Salah satu persoalan dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara Muslim. Hal ini telah mengandung perdebatan berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Untuk itu, Masdar Farid Mas’udi menawarkan konsep untuk mengintegrasikan zakat dan pajak, sehingga kewajiban seorang muslim terhadap agama dan negara dapat terlaksana secara simultan. (Tri Nurbayati, 2009: 210)
Pemikiran Masdar Farid Mas’udi tentang zakat dan pajak, sebenarnya mempunyai hubungan dalam konsep keagamaan (kerohanian) dan konsep keduniawian (kelembagaan). Zakat dan pajak bukanlah hubungan dualisme yang dikotomis, melainkan hubungan keesaan wujud dialektis.
Menurutnya, zakat merasuk ke dalam pajak sebagai ruh dan jiwanya, sedangkan pajak memberi bentuk pada zakat sebagai badan atau raga bagi proses pengejawantahannya. Masdar meyakini bahwasanya zakat merupakan sebuah mekanisme spiritualisasi bermasyarakat melalui pintu masuk yang paling material. Sementara pintu masuk yang paling material dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu pajak, karena tidak ada negara yang bisa hidup tanpa adanya pajak.
Masdar Farid Mas’udi mengajukan tawaran untuk mengembalikan zakat sebagai suatu cita agama kerakyatan. Cara yang diajukannya adalah membongkar kembali filosofi sosial zakat dan akar-akar sejarah zakat pada masa Rasulullah SAW.
Menurut Masdar Farid Mas’udi pada mulanya zakat merupakan upeti sebagaimana umumnya berlaku dalam praktik ketatanegaraan zaman dulu. Hanya saja, upeti yang secara nyata telah menyebabkan rakyat yang miskin lalu tenggelam dalam kemiskinannya. Dengan spirit zakat, lembaga upeti itu justru harus menjadi sarana yang efektif bagi pemerataan dan penyejahteraan kaum miskin.
Secara garis besar, usaha yang dilakukan dalam menengahi masalah double taxs atau dualisme zakat dan pajak, beberapa implementasi gagasan yang muncul dari pikiran Masdar Farid Mas’udi secara paradigmatik memang berdasarkan atas kepedulian mendalam terhadap problem-problem kemanusiaan umat Islam khususnya yang berbasis pada kemaslahatan.
Zakat sebagai ruhnya, pajak sebagai badannya. Zakat sebagai komitmen spiritual moral sedangkan pajak sebagai wujud terhadap kelembagaan yang hendak menjadi ajang pengejawantahannya. Dalam bahasa syari’atnya, komitmen tersebut terjadi dengan cara meniatkan zakat dalam pembayaran pajaknya. (Tri Nurbayati, 2009: 206).
REFERENSI
Afriyandi, Yuli. “Diskursus Pajak Dan Zakat: Kontekstualisasi Dan Aplikasi Di Negara Muslim.” as-Salam. Vol. 3. No.1, 2014.
Gazali. “Pajak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif.” Mu’amalat. Volume VII. Nomor 1, 2015.
Haskar, Edi. “Hubungan Pajak dan Zakat Menurut Perspektif Islam.” Menara Ilmu. Vol. XIV No.02 April, 2020.
Heryannor.“Metode dan Corak Penafsiran Al-Qur’an Masdar Farid Mas’udi.” Skripsi. UIN Antasari, 2021.
Hidayat, Taufiq. “Menimbang Pemikiran Masdar Farid Mas’udi Tentang Double Taxs (Zakat Dan Pajak).” Conomica. Volume 4. Edisi 2, 2013.
Iskandar, Agus. “Analisis Yuridis Terhadap Kebijakan Pemungutan Pajak Di Indonesia.” Keadilan Progresif. Volume 11 Nomor 2 Maret, 2021.
Nurbayati, Tri. “Zakat Dan Pajak Dalam Pandangan Masdar Farid Mas’udi.” Al-Manahij. Vol. 3 No. 2, 2009.
Wahid, Marzuki. “Pemikiran Agama Keadilan Masdar Farid Mas’udi Transedensi Negara untuk Keadilan Sosial, dalam Hermeneia.” Jurnal kajian Islam Interdisipliner. Vol. 2 No. 1, 2003.
Hastriana, Umniyatis Sholihah. “Analisis Penafsiran Fazlurrahman dan Masdar F. Mas’udi Tentang Zakat dan Pajak.” Iltizam Journal of Shariah Economic Research. Vol. 2. No. 1 2018