Memaknai Pernikahan Sebagai Hubungan Kemitraan: Sebuah Refleksi Qur’ani Terhadap Tingginya Kasus KDRT

Kasus kekerasan kian berseliweran di sejumlah media pemberitaan dengan ragam kasus dan motif yang berbeda. Tentu saja tidak tepat jika dikatakan bahwa kasus ini “menghiasi” dinding media sosial, karena hal ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dilihat dan didengar. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya tercatat sebagai korban, dan di sisi lain juga sebagai pelaku atas kasus kekerasan. Kendati demikian, kasus yang melibatkan perempuan sebagai korban terhitung masih sangat tinggi dibandingkan dengan korban laki-laki.

Data terbaru yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa terdapat 2.226 kasus kekerasan yang dilaporkan melibatkan korban laki-laki. Meskipun angka ini mencerminkan sebuah permasalahan yang serius, angka kasus kekerasan terhadap perempuan jauh lebih mengkhawatirkan dengan mencapai 8.908 kasus, menunjukkan tingkat kekerasan yang sangat tinggi dan memprihatinkan.

Bacaan Lainnya

Jika melihat kepada tempat kejadian, rumah tangga (KDRT) menempati posisi pertama dengan perolehan kasus mencapai 6.257. Secara umum, motif-motif yang sering kali menyebabkan terjadinya kasus KDRT berakar dari permasalahan ekonomi, adanya kesalahpahaman antara kedua belah pihak, dan juga faktor sosial budaya yang masih mewajarkan untuk bersikap semena-mena terhadap pasangan.

Pernikahan tidak hanya terbatas pada pemenuhan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Ketika berlaku demikian, maka akan selalu ada pihak yang merasa berhak menuntut pada pihak yang berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Selanjutnya yang terjadi ketika tidak terpenuhi ialah munculnya rasa kecewa, amarah, hingga terjadinya kekerasan. Lantas bagaimana seyogyanya memahami hubungan antara suami dan istri?

Menurut penulis, hubungan suami istri dapat dipahami sebagai sebuah hubungan kerja sama yang melibatkan kedua pihak secara aktif, menempatkan pasangan sebagai mitra yang mempunyai satu tujuan. Bagaimana hubungan kemitraan tersebut berjalan dan bagaimana lensa al-Qur’an bisa dimaksukkan dalam diskusi ini?

Pertama, komunikasi dua arah. Jika pernah mendengar ungkapan bahwa komunikasi merupakan kunci dari sebuah hubungan yang harmonis dan sukses, maka penulis pun setuju dengan ungkapan tersebut. Komunikasi yang efektif melibatkan dialog aktif antara kedua belah pihak, di mana setiap pihak duduk bersama dengan pikiran yang tenang untuk mendiskusikan dan mencapai kesepakatan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang muncul.

Dalam istilah lain, komunikasi yang dimaksud di atas ialah “musyawarah”. Meskipun secara umum istilah musyawarah cenderung terkait dengan proses formal komunikasi di antara sekelompok orang, seperti dalam rapat-rapat sebuah organisasi atau komunitas masyarakat, pada hakikatnya musyawarah juga memainkan peran krusial dalam dinamika rumah tangga.

Ayat Al-Qur’an yang sangat berkaitan dengan anjuran musyawarah dalam rumah tangga diabadikan dalam QS. al-Baqarah/2: 233. Secara konteks, ayat ini masih berbicara terkait kasus perceraian antara suami istri yang mempunyai anak, khususnya anak bayi yang masih butuh disusui. Segala hal terkait pemenuhan kebutuhan bayi tersebut harus diperhatikan sedemikian rupa, agar sang anak bisa tumbuh dengan baik secara fisik maupun perkembangan jiwanya (Shihab, 2021: 1/610). Maka dianjurkan bagi kedua orang tuanya untuk melakukan permusyawaratan dengan tujuan mengambil keputusan yang terbaik bagi sang anak.

Lantas apakah musyawarah hanya berlaku bagi pasangan yang ingin bercerai saja? jawabannya tentu “tidak”. Quraish Shihab menjelaskan bahwa musyawarah mempunyai peran dalam setiap ladang-ladang kemasyarakatan. Di dalam al-Qur’an terdapat tiga ayat yang berbicara musyawarah, dua ayat lainnya yaitu dalam QS. Âli ‘Imrân/3: 159 (konteks peperangan) dan QS. al-Syûrâ/42: 38 (ganjaran lebih baik dan kekal bagi mukmin yang memutuskan persoalan dengan bermusyawarah) (Shihab, 2021: 2/314-315).

Adapun rumah tangga merupakan unit terkecil dalam ruang lingkup masyarakat dan menjadi fondasi awal dalam penguatan ketahanan nasional. Fondasi rumah tangga akan kuat ketika adanya kerjasama dan keputusan yang selalu bisa disepakati bersama, sehingga tidak ada pihak yang tidak rida dalam menjalani kehidupan rumah tangga dan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Terdapat tiga hal yang sebaiknya diperhatikan oleh orang-orang yang ingin bermusyawarah, sebagaimana yang termaktub dalam QS. Âli ‘Imrân/3: 159; a) lemah lembut/tidak dilakukan secara kasar dalam perilaku maupun perkataan, b) memberikan maaf ketika kemungkinan adanya perbedaan pendapat yang tidak diinginkan oleh salah satu pihak atau menyinggung pihak lain, dan c) memohon ampun pada Allah. Kemudian ketika telah dicapai kesepakatan dalam musyawarah, maka dipesankan untuk melaksanakannya dan berserah diri pada Allah (Shihab, 2021: 2/313-314).

Dengan menerapkan konsep musyawarah, maka yang tercipta ialah munculnya hal yang dianggap benar oleh kedua belah pihak dan menghasilkan kesepakatan bersama, sebagaimana tujuan dari musyawarah itu sendiri (Asyur, 1984: 2/438).

Kedua, komitmen yang kuat (miṡâqan galîẓân). Istilah miṡâqan galîẓân yang terdapat dalam penggalan QS. al-Nisâ’/4: 21 merupakan istilah penting yang menggambarkan ikatan antara suami dan istri, yaitu “perjanjian yang kuat” atau sebuah “komitmen”. Komitmen yang kuat bisa bertahan selama dipegang oleh kedua pihak, suami dan istri, selama menjalani kehidupan berumah tangga.

 

“…Dan mereka telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. al-Nisâ’/4: 21)

 

Komitmen ini dimulai sejak dilangsungkannya ijab kabul dalam pernikahan. Pada saat itu, terdapat sebuah keyakinan dari seorang perempuan yang menaruh harapan kepada laki-laki yang menjadi suaminya agar mereka dapat hidup bahagia, harmonis, dan damai dalam menjalani kehidupan rumah tangga bersama (Shihab, 2021: 2/466). Komitmen ini merupakan kesepakatan yang dipegang teguh oleh kedua belah pihak, yang menjadi dasar untuk menjalin hubungan yang langgeng dan bahagia. Maka ketika menghadapi berbagai permasalahan dalam rumah tangga, alih-alih menyerah, keduanya berupaya untuk saling menguatkan dan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan rumah tangga tersebut.

Ketiga, menciptakan ketenteraman (sakan). Dalam sebuah ayat yang sangat populer terkait pernikahan, QS. al-Rûm/30: 21, terdapat sebuah isyarat diciptakannya pasangan, yaitu agar merasakan ketenangan di sampingnya (li taskunû ilaihâ).

Poin ini menjadi poin terakhir yang penulis sebutkan dalam menjalin hubungan rumah tangga, karena merupakan implikasi atas terlaksananya poin pertama hingga kedua, yaitu munculnya ketenteraman dan ketenangan. Artinya, meskipun pasangan diciptakan oleh Allah sebagai penenang, ketenteraman tidak akan lahir begitu saja tanpa adanya upaya-upaya yang membuatnya menjadi tenang dan tenteram.

Dalam QS. al-Baqarah/2: 187, disebutkan bahwa pasangan hidup ibarat pakaian bagi satu sama lain, yang saling melengkapi, melindungi, menghiasi, dan saling membutuhkan. Keharmonisan dalam rumah tangga terwujud saat setiap individu merasa tenteram setelah memberikan ketenangan kepada pasangannya, tanpa mengabaikan satu sama lain ketika menghadapi masalah. Dengan demikian, rumah tangga menjadi tempat di mana saling melengkapi dan saling melindungi, menciptakan kedamaian dan kebahagiaan yang berkelanjutan.

Penutup

            Demikianlah beberapa poin yang penulis soroti sebagai langkah dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis dan diimpikan bagi setiap pasangan di tengah maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga hingga kini. Alih-alih menuntut pasangan, sudah sepatutnya bagi setiap pasangan untuk menjalani hubungan yang memberikan manfaat bersama-sama dan dilakukan dengan kerjasama dari kedua belah pihak. Pentingnya untuk tidak merendahkan satu sama lain, karena hubungan pasangan dalam rumah tangga sebaiknya menjadi hubungan kemitraan yang saling membutuhkan.

 

Referensi

‘Asyur, Ibn. Tafsîr al-Taẖrîr wa al-Tanwîr. Tunisia: Dâr al-Tûnisiyah li al-Nasyr, 1984.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. SIMFONI-PPA yang diakses melalui https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan .

Shihab, M. Quraish. Tafsîr al-Mishbâẖ: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Tangerang:  PT. Lentera Hati, 2021.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *