Penafsiran terhadap QS. al-Mā’idah bersama Mun’im Sirry menjadi tema umum dalam workshop yang diselenggarakan oleh LSQH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di Gedung Teatrical FUPI (Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam) (20/6/2024). Pemilhan tema ini dikonfirmasi langsung oleh Sirry, bukan melalui pemikiran panjang, melainkan jawaban spontan ketika ditanya temanya oleh Mua’mar Zayn Qadafy, selaku koordinator acara.
Mu’ammar sendiri sebelumnya sudah sering menyampaikan di kelas (pengampu mata kuliah), bahwa kajian tafsir dewasa ini seperti, tematik, kontekstual sudah klimaks, sehingga memerlukan model kajian baru seperti kajian surah. Pandangan ini dikuatkan kembali oleh Mu’ammar ketika mengawali workshop, dimana beliau sendiri menjadi moderatornya. Tetapi, beliau juga mengingatkan, bahwa kajian seperti tematik, kontekstual jangan serta merta ditinggalkan, karena yang demikian juga penting pada bagian-bagian lain.
Sebelum masuk pada pembacaan terhadap surah al-Mā’idah, Sirry terlebih dahulu memaparkan bagaimana pandangannya terhadap al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an adalah kitab yang istimewa. Beberapa bukti yang beliau utarakan misalnya, al-Qur’an adalah kitab pertama yang berbahasa Arab, struktur bahasa yang unik dan al-Qur’an mengambarkan dirinya sendiri misalnya sebagai petuntuk, petunjuk bagi manusia secara umum dan untuk mereka yang bertakwa.
Lebih lanjut, Sirry juga memaparkan tentang penjalanan pendidikannya, mulai dari mondok di pesantren selama enam tahun, pendidikan S1 dan S2 di pakistan, S2 lagi di Universitas California dan memperoleh Ph. D dari Divinity School, Universitas Chicago. Dari latar belakang pendidikan, beliau mengakui bahwa dia tidak linear, mulai bidang fiqih selama pendidikan di Pakistan dan studi Islam di Amerika.
Kendati demikian, Sirry menegaskan, inilah yang membentuk cara pandang dan baca beliau terhadap al-Qur’an. Pemaparan beliau tentang al-Qur’an dan background pendidikannya, menurut penulis bukan hanya sekedar pendahuluan, tetapi lebih jauh, yaitu untuk defend atau counter terhadap status dan kapasitasnya. Hal ini menjadi wajar, melihat audiens yang hadir rata-rata mahasiswa.
Dirasa cukup dengan perkenalan, Sirry kemudian melanjutkan pandangannya terhadap al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an bukan kitab sejarah, melainkan sumber sejarah. Beliau kemudian menegaskan, jika ingin menjadi historian yang kritis, maka jangan mengambil sumber sejarah yang beda zaman. Ia berpendapat, “memang betul, ada kisah historis dalam al-Qur’an yang kebenaranya belum teruji, tetapi kan kebenaran itu relatif, tergantung sudut pandang yang digunakan”. Oleh karena itu, menguatkan argumennya, Sirry mengutip pendapat Ahmad Khalafullah (w. 1997), bahwa kisah historis dari al-Qur’an pada dasarnya bukan tentang fakta sejarah dan kebenaran, tetapi lebih kepada nasehat dan pelajaran.
Tidak cukup sampai di sini, para audiens kemudian dimanjakan dengan penjelasan tentang bagaimana Sirry menafsirkan al-Qur’an. Beliau setidaknya memaparkan empat poin. Pertama, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah metode tafsir yang menggunakan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri untuk menjelaskan dan memahami ayat lainnya.
Pendekatan ini didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang sempurna, koheran dan saling menjelaskan satu sama lain. Contohnya, ayat yang bercerita tentang nabi Adam, dalam satu surah dengan surah lain berbeda. Tetapi jika semua dikumpulkan dan dianalisis, Sirry mengatakan (dengan nada optimis) akan memberikan pemahaman yang segar dan mendalam.
Kedua, melihat pada produk penafsiran (kitab tafsir). Baginya, melihat penafsiran terdahulu adalah penting, tetapi beliau juga mengingatkan bahwa, penafsiran tidak akan memvetonya, tetapi memperkaya perspektifnya. Hal ini beliau utarakan mengingat perlunya membedakan antara memahami al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan memahami al-Qur’an dengan bantuan tafsiran.
Ketiga, Sya’ir-sya’ir jahiliyyah. Sebagai kumpulan puisi yang berasal dari periode pra-Islam di Arab, ia menggambarkan kehidupan, budaya, dan bahasa masyarakat Arab pada masa tersebut. Urgensinya dalam penafsiran al-Qur’an terletak pada kemampuannya untuk memberikan konteks linguistik dan kultural yang bisa membantu untuk memahami makna kata dan ungkapan dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang digunakan pada masa itu, sehingga pengetahuan tentang sya’ir-sya’ir jahiliyyah memungkinkan para penafsir untuk lebih akurat dalam memahami nuansa bahasa, makna istilah, dan penggunaan metafora yang mungkin tidak lagi umum atau dikenal oleh masyarakat kemudian. Misalnya saja, Sirry mencontohkan tentang lafadz kalimat as–sayyarah, untuk konteks sekarang, kita biasa mengartikannya mobil. Tetapi pada zaman dulu belum tentu, toh pada saat itu belum ada mobil.
Keempat, tradisi sebelum agama Islam, khususnya Yahudi dan Nasrani. Tradisi Yahudi dan Nasrani menyediakan latar belakang historis dan kultural yang kaya, yang sering dirujuk dalam al-Qur’an. Memahami konteks ini membantu menjelaskan referensi dan narasi yang ada dalam al-Qur’an. Mun’im Sirry menganggap penting untuk mengetahui sejarah dan budaya masyarakat Yahudi dan Nasrani untuk memahami konteks di mana ayat-ayat al-Qur’an diwahyukan.
Selain itu, banyak istilah dan konsep dalam al-Qur’an yang juga ditemukan dalam tradisi Yahudi dan Nasrani. Dengan memahami penggunaan dan makna istilah-istilah ini dalam konteks pra-Islam, penafsir dapat lebih akurat dalam menafsirkan teks al-Qur’an. Sirry menekankan pentingnya analisis linguistik yang mendalam, termasuk pemahaman tentang terminologi yang mungkin memiliki akar dalam tradisi Yahudi dan Nasrani.
Kemudian Jika ditanya bagaimana bentuk penafsirannya, beliau menjawab gabungan dari atomistik dan tematik. Gabungan kedua pendekatan ini bagi Sirry untuk mendapatkan penafsiran yang lebih mendalam dan menyeluruh. Pendekatan atomistik memberikan dasar yang kuat dalam memahami detail dan konteks spesifik dari setiap ayat, sementara pendekatan tematik memungkinkan mufassir untuk melihat gambaran besar dan pola dalam al-Qur’an. Dengan metode ini, Sirry berupaya memberikan cara penafsiran yang lebih kaya, yang menghargai kompleksitas dan kedalaman teks al-Qur’an serta relevansinya dalam berbagai konteks.
Memasuki pada pengaplikasian teori, sesuai dengan tema surah al-Maidah, beliau terlebih dahulu meng-highlight beberapa ayat sebelum menafsirkan ayat per ayat. Ayat yang dipilih misalnya, ayat kesatu tentang pemenuhan janji, ayat ketujuh belas tentang umat Kristiani, dimana beliau membedakan narasi antara “Tuhan adalah Yesus dan Yesus adalah Tuhan”. Kemudian ayat ke tujuh puluh tiga, tentang trinitas, dan terakhir, ayat seratus enam belas tentang status Maryam. Pemilihan highlight ini, hemat penulis karena ketertarikannya terhadap hubungan lintas agama.
Di sisi lain, beberapa poin yang di-highlight di atas juga mengantarkannya pada kesimpulan bahwa “kritik al-Qur’an itu polemik”. Al-Qur’an sering kali berinteraksi dengan ajaran dan kepercayaan Yahudi dan Nasrani, baik untuk membenarkan, memperbaiki, atau mengkritik. Pengetahuan tentang ajaran-ajaran ini memungkinkan penafsiran yang lebih akurat terhadap ayat-ayat yang bersifat polemis atau dialogis. Sirry mengungkapkan, “misalnya saja untuk ayat 116 (status Maryam), dalam konteks sekarang, dikampus saya patung Maryam lebih besar dari Isa”.
Pada bagian akhir, setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari para mahasiwa. Sirry menekankan berulang-ulang bahwa, “beginilah keimanan saya terhadap al-Qur’an. Kalian boleh percaya, mengikuti atau bahkan menolaknya, tetapi yang pasti saya tidak akan memaksakan saudara mengikuti keimanan saya”.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Mun’im Sirry dalam mendekati dan menafsirkan al-Qur’an menggunakan pendekatan yang kaya akan lintas disiplin dan menghargai kompleksitas teks suci ini dalam berbagai konteks. Metode penafsirannya yang menggabungkan analisis linguistik, kultural, historis, dan kontekstual, menunjukkan betapa mendalam dan luasnya pemahaman Sirry terhadap al-Qur’an.
Sirry menekankan bahwa kebenaran adalah relatif dan pentingnya sudut pandang yang berbeda dalam memahami teks-teks suci, memberikan perspektif yang inklusif dan toleran. Ini bukan hanya menunjukkan kebijaksanaan dalam penafsiran, tetapi juga relevansi yang sangat penting dalam konteks akademis dan keagamaan saat ini. Pendekatan ini mendorong dialog lintas agama dan menghormati perbedaan pandangan, yang merupakan elemen krusial untuk membangun kohesi sosial dan pemahaman antar umat beragama.
Kontribusi Mun’im Sirry dalam bidang tafsir al-Qur’an tidak hanya memperkaya metode dan pemahaman kita terhadap teks suci, tetapi juga memperkuat pentingnya toleransi dan inklusivitas dalam studi agama. Workshop ini menegaskan bahwa pendekatan yang menghargai kompleksitas dan perbedaan dapat membawa kita lebih dekat pada pemahaman yang lebih holistik dan mendalam terhadap al-Qur’an, serta memperkuat dialog dan kerjasama lintas agama di dunia yang semakin pluralistik.
Terimakasih tim ibihtafsir