Hudūd merupakan salah satu topik dalam pembahasan hukum Islam yang melahirkan gesekan cukup keras, terutama ketika diterapkan di negara yang meletakan Hak Asasi Manusia menjadi etika global. Prinsip-prinsip dalam konsep Hak Asasi Manusia yang menekankan pada kemanusiaan manusia telah pula dipandang sejalan dengan misi dan prinsip-prinsip Islam.
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan yang bukan lagi bagaimana menundukkan konsep Hak Asasi Manusia di bawah ajaran Islam, apalagi bagaimana mencocokkan ajaran Islam dengan konsep Hak Asasi Manusia, melainkan bagaimana memahami hudūd dengan mempertimbangkan perubahan sosial yang terus terjadi, namun tetap selaras dengan misi dan prinsip-prinsip Islam di atas yaitu penekanan pada kemanusiaan manusia.
Kata h{udūd adalah bentuk jama’ dari kata hadd, yang artinya batas, batasan atau faktor yang membatasi, atau secara sederhana dimaknai sebagai hukuman yang membatasi tindakan kejahatan. Dalam yurisprudensi Islam, ada dua pandangan yang berbeda dalam mendefinisikan istilah ini. Pertama, ada yang memahami bahwa penggunaan bentuk jama’ (hudud) mengindikasikan bahwa h{add (batas) yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. (Burhanudin, 2003, 152)
Pendapat kedua dan diakui oleh mayoritas ‘ulama, salah satunya Khatib al-Syarbini berpendapat bahwa hudūd merupakan hak Allah yang wajib dilaksanakan, sedangkan hak manusia adalah terangkum pada hukuman-hukuman diluar hudūd. Sehingga, dalam permasalahan hudūd ini, manusia tidak ada hak untuk mengubahnya atau tidak menjalankannya karena ini murni hak Allah yang sudah final. (Ahmad,1994, 155)
Seperti dalam QS. al-Maidah (5): 38:
Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.
Menurut beberapa tokoh termasuk Khatib al-Syarbini ketentuan potong tangan dalam ayat tersebut merupakan keputusan final dan tidak dapat diubah.
Namun, Fazlur Rahman (1919-1988), seorang sarjana dari Pakistan, memiliki pendapat yang berbeda dengan Khatib al-Syarbini. Ia menggagas metode tafsir kontekstual dengan double movement (gerakan ganda) sebagai cirinya. Sebelum ayat al-Qur’an diterapkan pada masa kini, ayat al-Qur’an perlu dikembalikan pada konteks sosio historis turunnya agar bisa disimpulkan pesan dasar atau pesan universalnya (ideal moral). Inilah yang disebut sebagai gerakan pertama (Fazlur, 2017, 70-71).
Gerakan kedua adalah membawa pesan dasar ayat al-Qur’an tersebut ke masa kini sebagai dasar untuk merumuskan petunjuk pada konteks yang berbeda. Metode ini disusun sebagai respon atas penafsiran harfiyah dan sepotong-sepotong (atomistis) terhadap ayat al-Qur’an yang menurutnya kerap mengorbankan tujuan-tujuan moral al-Qur’an itu sendiri (Fazlur, 2017, 70-71).
Menurut Fazlur Rahman, dalam QS. al-Maidah, 5:38 tentang pencurian yang banyak dibahas hanya terbatas pada kriteria pencuri, nilai barang yang dicuri, bagian tangan yang dipotong, dan seterusnya, sementara tujuan di balik ketentuan tersebut yaitu “mencegah pencurian, penyebab terjadinya pencurian dan mengembalikan kemanusiaan pencuri” belum dilakukan pembahasan. Seharusnya itu yang menjadi pokok pembahasan (Nur, 2016, 6).
Penafsiran seperti ini sesungguhnya sejalan dan didukung oleh penggunaan kata faqtha’u> yang di samping mempunyai makna hakiki yaitu potonglah, juga mempunyai makna majazi, yaitu hentikanlah, sebagaimana kata al-aidi yang memiliki beberapa makna yaitu tangan dan juga bermakna kekuasaan atau situasi mendesak yang memaksa terjadinya pencurian.
Sejalan dengan pendapat Fazlur Rahman di atas, Nasr Hamid Abu Zaid (1943- 2010), seorang sarjana dari Mesir menawarkan metode pembacaan produktif (al-Qira’a>h al-Munti>jah). Menurutnya al-Qur’an adalah korpus terbuka yang memungkinkan lahirnya pemahaman yang berbeda-beda yang dikategorikan menjadi dua, yaitu al-ma’na> (meaning) dan al-maghza> (significance).
Al-ma’na> adalah pemahaman al-Qur’an yang diambil langsung dari konteks historis al-Qur’an, sehingga sering disebut sebagai makna asli (original meaninig). Makna ini telah mengalami perubahan. Sementara itu, al-maghza> merupakan pemahaman yang diperoleh melalui pergesekan antara makna asli (al-ma’na>) dengan keseluruhan konteks yang mempengaruhi pembaca, sehingga memungkinkan lahirnya makna-makna baru yang lebih relevan dan mampu menjawab tantangan zaman yang ada.
Demikian halnya dengan ayat-ayat tentang h{udu>d. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid semua jenis hukuman yang tertera dalam al-Qur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) pada abad 7 M dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (divine imperatives) yang harus dijalankan sepanjang masa. Karena dalam hal ini, al-Qur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (seperti cambuk, hukuman mati, potong tangan) yang disebutkan di dalamnya (Nur, 2016, 9)
Penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar al-Qur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime) yang terjadi.
h{udūd telah dipraktekkan jauh sebelum Islam datang. Agama Hindu, Yahudi, Nasrani serta peradaban-peradaban besar pra Islam seperti peradaban Persia dan Yunani pernah menerapkan hukum yang saat ini dinilai sebagai hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, yaitu qisha>sh dan rajam. Allah SWT kemudian mengutus Nabi Muhammad SAW membawa ajaran Islam yang moderat dan merupakan jalan tengah antara dua kutub ekstrim sebelumnya. Sebab itulah al-Qur’an mengabadikan hukum Yahudi dalam kitab Taurat yang menetapkan keadilan dan kesetaran dalam qisha>sh.
Dalam QS. al-Maidah, 5:45, Allah berfirman:
Dan Kami tuliskan di dalamnya (Taurat) jiwa dibalas dengan jiwa, mata dibalas dengan mata, telinga dibalas dengan telinga, gigi dibalas dengan gigi, dan dalam setiap luka-luka juga ada balasan yang setimpal.
Aturan yang serupa terdapat dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran, 21:23-25 dengan redaksi sebagai berikut:
Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa sebagai ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak-ganti bengkak.
Di samping ajaran tentang hukuman yang harus dijalankan dan keadilan yang harus ditegakkan, Al-Qur’an juga memberi ruang pengampunan sebagaimana termaktub dalam surat al-Maidah, 5:45, Allah berfirman:
Barang siapa yang berderma (dengan tidak menuntut balas dan mengampuni mereka yang bersalah), maka perbuatan itu menjadi tebusan (dosa) baginya (kelak dihari pembalasan) dan barang siapa yang tidak memutuskan dengan hukum Allah Maka ia termasuk orang yang dhalim.
Dalam beragama, manusia cenderung menjadikan agama bagai alat untuk memuaskan Tuhan ketimbang memanusiakan manusia. Akibatnya, keberagaman manusia tidak banyak membawa efek positif bagi manusia lainnya. Sikap demikian bertentangan dengan ajaran Islam yang rah{matan lil ‘a>lami>n (membawa rahmat bukan hanya bagi seluruh manusia, melainkan juga bagi alam semesta).
Kewajiban berbuat baik kepada sesama manusia menempati urutan paling tinggi setelah kewajiban beriman kepada Tuhan. Bahkan, keimanan kepada Tuhan tidak bernilai sebelum direfleksikan dalam bentuk amal saleh terhadap sesama manusia, khususnya kepada orang tua, saudara, tetangga, dan kerabat (terutama kepada mereka yang lemah dan tertindas).
Berdasarkan uraian tersebut, masih terjadi pro dan kontra dalam diskusi perihal h{udu>d dan relevansi penerapannya di masyarakat. Keadilan dan kerahmatan harus berjalan beriringan. Keadilan tanpa kerahmatan bisa berujung ketidakadilan. Sebaliknya kerahmatan tanpa keadilan juga bisa menyebabkan manusia dalam kesalahan terus-menerus.
Di dalam ayat-ayat tentang h{udūd yang menjadi upaya untuk menegakkan keadilan sesuai dengan konteks 15 abad yang lalu, al-Qur’an selalu mengakhirinya dengan pertaubatan atau pemaafan sebagai pilihan yang lebih bermartabat dan meninggikan derajat kemanusiaan. Sehingga, penerapan h{udūd perlu dipikirkan kembali, atau sebaiknya tidak diterapkan mengingat h{udūd juga bukan murni produk peradaban Islam.
Referensi:
Burhanudin, dkk. Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudūd) Muhammad Syahrur dalam Pengembangan Epistemologi Hukum Islam di Indonesia. Yogyakarta: Islamika. 2003.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok Al-Qur’an. terj. Ervan Nurtawab dan Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan. 2017.
Rofiah, Nur, dkk. Kajian tentang Hukum dan Penghukuman dalam Islam: Konsep Ideal h{udūd dan Praktiknya. Komnas Perempuan.2016
Syarbini, Ahmad Khatib. Mughni Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani al-Fadz Minhaj. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1994.