Nilai-nilai etis yang dipersuasikan al-Qur’an kepada pembacanya merupakan bagian yang menjadi salah satu karakteristiknya dalam menghadirkan masyarakat yang beradab. Nilai-nilai etis tersebut bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Poin ini kemudian yang menjadikan kedudukan maupun eksistensi tafsir dan ilmu-ilmu perangkatnya begitu urgent dalam agama Islam, sebab menjadi perantara untuk terus membawa nilai-nilai etis ini dalam kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Salah satu yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini ialah dalil yang membahas tentang etika perempuan, yaitu Q. S Al-Ahzab [33]:32 yang menggambarkan karakteristik para istri Nabi yang, dalam hemat penulis, begitu relevan apabila ditiru perempuan sekarang.
Dalam periode akhir zaman ini, musibah berupa pelecehan bahkan hingga rudapaksa terhadap perempuan begitu marak terjadi. Maka, al-Qur’an datang dengan sekian konsep dan ajaran untuk menghadapi fenomena tersebut. Salah satunya yaitu ajaran seperti karakteristik atau sifat yang seharusnya dimiliki perempuan dalam Q. S Al-Ahzab [33]:32,
يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ فَيَطۡمَعَ ٱلَّذِي فِي قَلۡبِهِۦ مَرَضٞ وَقُلۡنَ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا
Artinya: Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Q. S Al-Ahzab [33]:32)
Secara tekstual, ayat tersebut menerangkan tentang dua sifat atau karakteristik berupa larangan dan perintah kepada para istri Nabi. Dalam tafsir Al-Misbah karangan Quraish Shihab, dijelaskan bahwa takdir Allah Swt mengenai siksa dan ancaman yang lebih keras kepada istri-istri Nabi daripada perempuan lainnya. Hal tersebut dikarenakan istri Nabi tidak sama akan tanggung jawabnya dengan perempuan biasa. Perihal itu diterangkan dalam ayat “Hai isteri-isteri Nabi! Sesungguhnya kedudukan kamu sekalian sebagai istri Nabi secara tidak langsung menjadikan kamu sekalian berbeda dengan perempuan lain dalam kedudukan dan keutamaan”.
Perbedaan tersebut dengan ketentuan yaitu apabila mereka mau bertakwa, atau menjauhi perkara-perkara yang bisa mendatangkan murka Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, untuk mempertahankan dan meningkatkan takwa mereka, Allah Swt melarang agar mereka tidak terlalu lemah lembut dan lunak yang dibuat-buat dalam berkomunikasi kepada lawan bicara, apalagi kepada yang bukan mahram mereka. Hal tersebut dikarenakan munculnya potensi untuk berperilaku buruk terhadap mereka dan menarik perhatian seseorang yang terdapat kotoran dan penyakit dalam hatinya. Kemudian Allah Swt memerintahkan agar mereka berbicara atau berkomunikasi dengan cara yang baik dan wajar, tidak dibuat-buat (Quraish, 2005:261).
Dwi Karakteristik Wanita Bertakwa Dalam Q. S Al-Ahzab [33]:32
Interpretasi mengenai dua sifat pada wanita yang diwariskan oleh para istri Nabi dalam Q. S Al-Ah{za>b [33]:32 yaitu sebuah larangan agar tidak menjadikan suara rendah (yang dibuat-buat) ketika berkomunikasi dengan lawan jenis, dan sebuah perintah agar berbicara dengan cara yang baik (sewajarnya). Quraish Shihab menerangkan bahwa term تَخۡضَعۡنَ diadopsi dari kata khudu’ yang berarti tunduk. Term tersebut jika disandingkan dengan ucapan, maka perihal yang dimaksud adalah merendahkan suara.
Perempuan memiliki fitrah atau kodrat bersuara dengan lemah lembut. Karena itu, larangan tersebut lazim dipahami dalam pemahaman membuat-buat suara lebih lembut melebihi kodrat dan kebiasaanya ketika berkomunikasi. Model atau gaya yang dibuat-buat bisa diartikan dengan melihatkan sifat kemanjaan terhadap lawan bicara yang berpotensi muncul hal-hal yang tidak direstui agama. Khitab atau lawan bicara dalam konteks ini yaitu jika mereka berbicara dengan siapapun yang bukan mah{ram mereka. Adapun jika berkomunikasi dengan suami maka diperbolehkan.(Quraish, 2005:262)
Adapun term مَّعۡرُوفٗا dalam konteks ini diinterpretasikan dengan arti yang dikenal oleh kebiasaan atau adat masyarakat. Sedangkan anjuran atau perintah untuk berucap yang ma’ruf meliputi sekian konteks. Seperti cara atau gaya berbicara dan kalimat yang terucap agar selalu bernilai kebaikan. Maka, hal ini menuntut suara yang wajar, gerak-gerik yang berakhlak, kalimat yang terucap baik dan sesuai dengan sasaran, tidak menyinggung perasaan bahkan mengundang syahwat atau rangsangan dari lawan bicara.
Senada dengan pendapat tersebut, mufassir asal Banten dengan kitabnya Marah Labid atau dikenal dengan tafsir al-Munir karangan Imam Nawawi al-Bantani juga menguraikan bahwa para istri Nabi itu disifati al-Qur’an dengan “takwa” karena mereka mengemban perkara yang tidak didapati pada wanita biasa, yaitu sebagai ummahat al-Mu’minin atau ibunya orang-orang yang beriman dan zawjat khayri al-mursali<n atau pasanganya sebaik-baik utusan. Pensifatan tersebut sepadan dengan Nabi Muhammad Saw yang tidak sama dengan laki-laki pada umumnya.
Imam Nawawi menuntaskan penjelasannya, makna dari kalimat فَلَا تَخۡضَعۡنَ بِٱلۡقَوۡلِ yaitu larangan supaya tidak menjadikan suara mereka tipis (lirih) ketika berkomunikasi dengan laki-laki. Kemudian beliau mengartikan kalimat ٱلَّذِی فِی قَلۡبِهِۦ مَرَضࣱ dengan rasa syahwat yang berkaitan erat dengan zina. Oleh karena itu, karakteristik kedua yang disifatkan kepada para istri Nabi adalah supaya mereka berkomunikasi kepada sesama dengan cara yang disifati dengan قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا atau perkataan yang baik sehingga tidak muncul rasa syahwat tersebut.(Nawawi, 1884:184)
Bahkan, dalam kitab tafsir Ma‘alim al-Tanzil karya Imam al-Baghawi diuraikan bahwa perempuan disunnahkan agar bersifat tegas kepada lawan komunikasi yang bukan mahramnya agar dapat menghilangkan rasa syahwat atau keinginan berbuat sesuatu yang tidak direstui agama. Oleh karena itu, mereka dilarang berkomunikasi dengan cara yang tidak wajar karena menimbulkan cela bagi orang munafik atau orang jahat berbuat demikian. (Baghawi, 2002:1040)
Benang Merah Dwi Karakteristik Wanita yang Diwariskan Para Istri Nabi dengan Wanita Zaman Sekarang
Tantangan yang dihadapi orangtua, guru, dan pendidik anak-anak zaman ini lebih besar dan amat rumit. Pasalnya, kebanyakan anak-anak melewati waktu mereka dengan bermain gawai dan mengonsumsi konten yang nirfaidah. Penggunaan gawai yang tidak diawasi berdampak besar terhadap lingkungan dan karakteristik anak. Seperti sebagian anak perempuan yang mengikuti trending yang dapat dinilai melanggar etika dalam beragama, lalu dibagikan ke media sosial kemudian dikonsumsi oleh banyak orang. Hal demikian adalah awal dari kasus pelecehan hingga rudapaksa kepada perempuan.
Sejarah menjelaskan bahwa, pada masa penjajahan Jepang, perempuan dijualbelikan dengan bebas (Yayori Matsui, 2002:3). Di Indonesia, tidak sedikit perempuan yang masih mengenyam pendidikan di kursi SMA bahkan SMP, pada saat itu dan sampai saat ini, dikawinkan dengan lelaki yang menggaulinya. Perlu diketahui bahwa, mengawinkan keduanya tidak megurangi dosa terhadap zina yang telah dilakukan. Begitu juga dampak buruk yang akan menimpa anak tersebut dalam jangka dekat atau ketika dewasa nanti (Quraish, 2010:250). Fenomena tersebut menuntut agar perempuan amat betul-betul diperhatikan dan dijaga.
Nasihat kepada istri Nabi agar mereka tidak melirihkan suara ketika berkomunikasi adalah karena ditakutkan muncul sebuah syahwat atau rasa ingin untuk berbuat sesuatu yang tidak direstui agama kepada mereka. Maka jika poin penjagaan diri itu ditarik kepada konteks perempuan pada zaman ini, argumen yang sepadan ialah nasihat itu juga menuntut wanita saat ini agar menjaga kehormatan dirinya dengan tetap mengedepankan etika ketika mengumbar sesuatu ke publik, baik foto ataupun video. Karena dikhawatirkan dapat memuncukan rasa syahwat bahkan rangsangan terhadap yang menonton serta berpotensi menghadirkan dampak buruk bagi wanita tersebut. Hal demikian merupakan imbauan atau keikutsertaan al-Qur’an dalam memuliakan wanita, dengan juga memberikan batas-batas etis dalam komunikasi perempuan kepada lawan jenis dan di ruang publik.
Daftar Pustaka
Al-Baghawi, Abu Muhammad Husain bin Mas’ud. Ma’alim al-Tanzi<l. Dar Ibn Hazm: Beirut.
Bantani, Nawawi. 1884. Tafsir Marah Labid. Toko Kitab Al-Hidayah: Surabaya.
Matsui, Yayori. 2002. Perempuan Asia dari Penderitaan Menjadi Kekuatan. Yayasan Pustaka obor Indonesia: Jakarta.
Shihab, Quraish. 2005. Tafsir Al-Misbah. Lentera Hati: Jakarta.
Shihab, Quraish. 2010. Perempuan. Lentera Hati: Jakarta.