Sekilas tentang Authoritative Parenting
Pengasuhan anak merupakan aspek penting dalam perkembangan individu. Berbagai pola pengasuhan memiliki dampak yang berbeda terhadap perkembangan psikologis dan sosial anak. Pengasuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, berarti: proses, cara, perbuatan mengasuh. Menurut Lestari (2012) dalam (Nurussakinah, 2020: 1) bahwa istilah parenting menggeser istilah parenthood, sebuah kata benda yang berarti keberadaan atau tahap menjadi orang tua, menjadi kata kerja yang berarti melakukan sesuatu pada anak seolah-olah orang tualah yang membuat anak menjadi manusia.
Pengasuhan bertujuan untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak berlandaskan rasa kasih sayang tanpa pamrih. Dengan makna pengasuhan yang demikian, maka sejatinya tugas pengasuhan murni merupakan tanggung jawab orang tua. Dengan demikian, kurang tepat bila tugas pengasuhan dialihkan sepenuhnya kepada orang lain yang kemudian disebut pengasuh.
Menurut Baumrind (1991) dalam (Nurussakinah, 2020: 3) pengasuhan adalah cara orang tua dalam memperlakukan, berkomunikasi, mendisiplinkan, memonitor, dan mendukung anak. Interaksi yang terjalin antara anak dan orang tua akan membentuk gambaran, persepsi, dan sikap-sikap tertentu pada masing-masing pihak, yaitu sikap anak memengaruhi respons orang tua dan sebaliknya sikap orang tua pun akan memengaruhi respons anak.
Baumrind (1991) dalam (Nurussakinah, 2020: 3) mengemukakan empat bentuk sikap orang tua dalam mendidik anak, yaitu:
Authoritarian, adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan menghukum, di mana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka, terlalu menuntut anak, tidak ada penghargaan dan kehangatan terhadap anak serta disiplin yang keras.
Authoritative, adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak untuk mandiri, namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Model pengasuhan ini mengatur perilaku anak dengan kehangatan, harapan realistis dan memotivasi untuk berpikir mandiri.
Neglectful (mengabaikan), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak merasa diabaikan dan menganggap kehidupan orang tua lebih penting dibandingkan diri mereka.
Indulgent (menuruti), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang diinginkannya. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya.
Dari keempat bentuk sikap orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak yang dikemukakan oleh Diana Baumrind tersebut, yang paling baik menurut penulis adalah model authoritative parenting.
Authoritative parenting secara garis besar mempunyai dua tanda yaitu adanya kombinasi antara tuntutan yang tinggi serta responsivitas terhadap kebutuhan anak yang tinggi pula. Maka untuk menerapkan pola authoritative parenting dalam kehidupan sehari-hari, ada beberapa cara yang bisa dilakukan, diantaranya: 1) komunikasi terbuka, orang tua sering berkomunikasi dengan anak-anak mereka, mendengarkan pendapat mereka, dan memberikan penjelasan mengenai aturan atau keputusan yang bisa diambil dalam setiap keadaan, 2) dukungan emosional, orang tua menunjukkan kasih sayang dan dukungan emosional yang kuat, memberikan anak rasa aman dan dihargai pendapatnya,
3) pengendalian yang wajar, orang tua menetapkan batasan-batasan yang jelas dan konsisten, akan tetapi tidak terlalu ketat atau kaku yang bisa menyebabkan anak menjadi pembantah bahkan pemberontak, 4) harapan yang tinggi, orang tua memiliki harapan yang tinggi terhadap prestasi dan perilaku anaknya, namun tetap realistis dan mendukung perkembangan individua anak.
Tafsir Q.S. Ash-Shaffat (37): 102 dan Prototipe Model Pola Asuh Otoritatif
Surat Ash-Shaffat adalah salah satu surat dalam Al-Quran yang mengandung kisah-kisah para nabi dan pelajaran penting bagi umat manusia. Ayat 102 dari surat ini bercerita tentang dialog antara Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail (Ishaq?), ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya sebagai ujian iman. Dalam kisah ini, kita dapat menemukan refleksi sekaligus prototipe dari pola asuh otoritatif (authoritative parenting) yang dapat dijadikan pedoman dalam mendidik anak-anak di era modern ini. Dalam ayat tersebut disebutkan secara langsung bagaimana dialog antara Nabi Ibrahim dengan putranya. Allah berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’. (QS. Ash-Shaffat: 102).
Dari dialog tersebut dapat diambil pelajarannya, bagaimana keterbukaan komunikasi orang tua terhadap anaknya. Nabi Ibrahim bisa saja langsung menjalankan perintah Allah tanpa berbicara atau berkomunikasi dengan anaknya terlebih dahulu. Akan tetapi beliau memilih untuk membicarakan wahyu yang diterimanya melalui mimpi tersebut. Ini menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim melibatkan putranya dalam keputusan yang penting, memberikan ruang bagi anak untuk memahami situasi dan kondisi yang ada.
Bahkan dalam Tafsir Al-Misbāẖ dikatakan bahwa Nabi Ibrahim memanggil anaknya dengan panggilan mesra yakni ya bunayya. Nabi Ibrahim menyampaikan mimpi itu kepada anaknya dirasa dapat dipahami bahwa perintah tersebut tidak dinyatakan sebagai harus memaksakannya kepada sang anak. Ia berkehendak melakukannya, akan tetapi jika sang anak membangkang dan tidak mau melaksanakannya maka itu urusan anak dengan Tuhan, layaknya kisah anak Nabi Nuh yang membangkang terhadap perintah ayahnya.
Nabi Ibrahim menunjukkan dukungan emosional dengan memberi kasih sayangnya terhadap anak. Nabi Ibrahim memberi pengertian secara halus dengan berkomunikasi dua arah antara orang tua dengan anak. Ia berusaha menjelaskan bahwa perintah ini merupakan perintah Tuhan yang harus ia laksanakan. Ia pun berhasil menjelaskan secara lemah lembut seperti tanpa adanya paksaan. Hal itu terbukti bagaimana jawaban putranya yang menjawab dengan kerelaaan hati. Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.
Nabi Ibrahim tidak secara langsung melaksanakan perintah Tuhannya layaknya pola asuh authoritarian atau otoriter. Ia meminta pendapat anaknya dan memastikan bahwa anaknya menyetujui dengan penuh kesadaran. Hal tersebut menunjukan bahwa Nabi Ibrahim memberi kebebasan anaknya berpendapat. Tidak seperti pola asuh indulgent yang menuruti apapun yang diinginkan oleh anak, Nabi Ibrahim tetap memberi kebebasan dengan tetap mengarahkan atau memberi batasan-batasan secara halus tapi pasti dalam perintah ataupun larangan.
Dalam dialog dan komunikasi yang terjalin antara Nabi Ibrahim dengan anaknya pun mengandung harapan yang tinggi seperti harapan orang tua terhadap terhadap seorang anak secara umum. Nabi Ibrahim pun berharap anaknya mempunyai keimanan dan keyakinan yang tinggi untuk melaksanakan apapun perintah yang telah diwajibkan bagi tiap individu. Perintah yang diturunkan mulai dari yang mudah bahkan sampai yang berat seperti perintah penyembelihan tersebut. Penyembelihan pun bukan hewan ternak seperti unta, sapi ataupun domba, akan tetapi anaknya sendiri yang akan dikurbankan. Dimana anak yang bertahun-tahun lama ditunggu kelahirannya dan ketika sudah mampu berusaha sendiri malah harus dikorbankan.
Tengku M. Hasbi Ash-Shiddiqy (2000: 3470) menjelaskan jawaban anaknya Nabi Ibrahim bahwa ia berkata: Wahai ayah. Allah memanggil seorang yang mendengar seruanmu dan ayah meminta kepada orang yang memperkenankan permintaanmu. Maka laksanakan apa yang diperintahkan agar ayah menjalankannya. Tugasku hanya mengikuti dan menuruti perintah. Kemudian untuk meneguhkan kerelaannya, ia berkata lagi: Aku akan sabar atas ketetapan (qadha) Allah dan aku akan memikul beban ini dengan tidak berkeluh-kesah.
Dari penjelasan dialog tersebut terpancar penghayatan iman yang benar dan penyerahan diri yang sempurna, serta sabar dan rela kepada ketetapan Allah dengan sepenuh-penuhnya. Hal tersebut sesuai dengan harapan dari ayahnya yakni Nabi Ibrahim, dimana ia sangat mendambakan keturunan yang soleh serta taat pada perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kisah Nabi Ibrahim dan anaknya dalam Q.S. Ash-Shaffat:102 memberikan contoh yang sangat baik tentang pengasuhan otoritatif. Ibrahim menunjukkan komunikasi terbuka, memberikan dukungan emosional yang kuat, menetapkan batasan yang jelas namun memberikan kebebasan dalam batas tersebut, dan memiliki harapan yang tinggi namun realistis terhadap anaknya.
Melalui pendekatan ini, Nabi Ibrahim dan anaknya menunjukkan bagaimana keimanan, ketaatan, dan kasih sayang dapat berjalan seiring dalam situasi yang sangat menantang. Kisah ini mengajarkan bahwa melalui pengasuhan yang penuh kasih dan komunikatif, anak dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki keimanan yang kuat.
Referensi
Daulay, Nurussakinah. Psikologi Pengasuhan Bagi Orang Tua dari Anak-Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf, (Jakarta: Kencana, 2020)
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 12
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi, Tengku. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Vol. 4