Indonesia termasuk negara yang memperhatikan perkawinan dengan pengesahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur batas usia perkawinan. Ayat pertama Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan: “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun” (2), telah diubah menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan usia minimal untuk menikah bagi perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan demikian, batas usia menikah laki-laki dan Perempuan sama yaitu 19 tahun. (UUD RI 1974)
Sebelum Undang-Undang Perkawinan disahkan orang-orang terdahulu melaksanakan pernikahan di usia 14 tahun sangatlah lumrah. Tidak ada yang mempersulit perizinan pernikahan. Namun di era modern ini jauh berbeda dengan kondisi sosial zaman dahulu. Adanya pembatasan usia pernikahan, sebenarnya bertujuan untuk menjaga kesehatan suami, istri dan keturunannya. Selain itu dengan adanya pembatasan ini diharapkan dapat mengurangi angka pernikahan di usia dini dan juga akan membantu menghambat tingginya laju kelahiran dan pertumbuhan penduduk. (Rofiq, 2013: 59)
Di Indonesia, banyaknya perkawinan di bawah umur telah menjadi ancaman kelangsungan kehidupan yang berkualitas. Hal Ini disebabkan karena perkawinan di bawah umur yang telah mengabaikan beberapa elemen penting sebagai persyaratan membangun rumah tangga termasuk aspek kematangan psikologis, kecerdasan sosiologis, dan kematangan medis dalam hal kesiapan organ reproduksi, terutama bagi perempuan yang menikah di bawah umur.
Oleh karena itu Pemerintah Negara Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 5 tahun 2019 tentang pedoman mengadili perkara dispensasi nikah dibawah umur yang berlaku di seluruh pengadilan agama di Indonesia. Peraturan ini bertujuan untuk menyeleksi secara ketat atas pengajuan perkara dispensasi nikah dibawah umur.
Tujuan aturan ini adalah untuk mengontrol standar usia nikah yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 16 tahun 2019, yang memberikan standar minimal laki-laki dan perempuan untuk menikah pada usia 19 tahun. Peraturan-peraturan ini bertindak sebagai “terobosan baru” dalam upaya mengurangi jumlah pernikahan di bawah umur di Indonesia. Tujuan idealnya adalah menciptakan perkawinan yang legal, berkualitas, dan berdampak pada kemajuan Republik Indonesia. (Sodikin dkk, 2023: 237)
Tafsir Q.S. al-Nisa (4): 6 dalam Tafsīr al-Misbāẖ
Dalam Al-Quran, Q.S. al-Nisa (4): 6 menyatakan bahwa seseorang hanya dapat menikah ketika dia cukup umur untuk menikah. Dengan kata lain, pernikahan dapat dilakukan ketika seseorang sudah bāligh atau dewasa secara syariat. Dalam ayat ini, kata rusyd berarti kecerdasan. Menurut M Quraish Shihab dalam Tafsīr al-Misbāẖ, ayat ini meminta wali untuk memeriksa anak-anak yatim dengan cermat sampai mereka mencapai usia yang memungkinkan mereka untuk menikah. Maka wali dapat menyerahkan harta mereka jika telah diketahui bahwa mereka memiliki kecerdasan (rusyd), yaitu kemampuan untuk menjaga harta benda dan kestabilan mental. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk menahan harta mereka. (Shihab, 2021: 419)
Quraish Shihab berpendapat dalam Tafsīr al-Misbāẖ bahwa baligh sangat berbeda dengan kata rusyd. Makna dasar kata rusyd adalah ketepatan dan kelurusan jalan. Dari sini lahir kata rusyd yang jika disifatkan kepada manusia memiliki makna kesempurnaan akal dan jiwa, yang menjadikannya mampu bersikap dan bertindak setepat mungkin. Mursyid adalah pemberi petunjuk/bimbingan yang tepat. Orang yang telah telah menyandang sifat itu secara sempurna dinamai rasyid yang oleh Imam Al-Ghazali diartikan sebagai dia yang mengalir penanganan dan usahanya ke tujuan yang tepat, tanpa petunjuk pembenaran atau bimbingan dari siapapun. (Shihab, 2021:421)
Dilihat dari Q.S. al-Nisa (4): 6 di atas, jelas bahwa istilah baligh memungkinkan berbagai penafsiran. Karena agama hanya memberikan prinsip-prinsipnya, pertanyaan tentang berapa umur yang tepat untuk menikah termasuk dalam masalah ijtihādiyyah berarti bahwa akal masih dapat digunakan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial dan budaya yang berbeda.
Dalam Tafsīr al-Misbāẖ, isyarat makna kata bāligh, juga bisa dimaknai sebagai seseorang yang cerdas dalam mengelola harta mereka. Al-Qur’an memerintahkan untuk untuk mendidik dan menguji kedewasaan anak-anak mereka “sampai usia menikah”, atau balaghū al-nikāẖ, sebelum mempercayakan pengelolaan harta sepenuhnya kepada mereka. Dalam hal ini, Al-Qur’an menunjukkan bahwa anak asuh yang belum memasuki usia perkawinan harus menjalani tes dan bukti objektif tentang tingkat kematangan fisik dan intelektual mereka sebelum mempercayakan pengelolaan harta bendanya kepada mereka.(Shihab, 2021:241)
Kualitas Usia Perkawinan dengan Pendekatan Sosial
Pada umumnya anak-anak sekarang atau para remaja lebih mudah menerima perubahan dan mengikuti tren luar, mereka mudah membuka diri untuk hal baru dan mengikutinya. Sehingga berkaitan dengan perilaku remaja saat ini yang mudah bergaul dengan lawan jenis, lebih mementingkan urusan asmara daripada pendidikan. Sungguh situasi yang memprihatinkan apalagi bagi orangtua. (Kholil, 2022: 5)
Sekarang ini situasi sosial yang susah dikontrol dan dicegah adalah pesatnya perkembangan dunia massa baik cetak maupun elektronik yang juga mempengaruhi perilaku anak-anak. Sehingga saat mengetahui anaknya melakukan hubungan seks diluar nikah, maka orangtua memutuskan untuk langsung menikahkan anaknya.
Melihat fenomena yang terjadi saat ini dimana masyarakat yang kurang mampu dan hidup di tengah tradisi yang mengikat cenderung menikahkan anaknya di usia yang muda. Karena bagi mereka bāligh bukan ukuran usia dan hanya melihat dari perubahan fisik anak. Kecemasan akan pergaulan anak menjadi salah satu faktor pendorong perkawinan anak.
Bahkan orang-orang yang kaya dan berpengetahuan juga akan memilih untuk menikah muda untuk menghindari seks bebas. Meskipun ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa menikah adalah upaya untuk menghindari seks bebas, tetapi mayoritas remaja belum terbiasa dengan berbagai tanggung jawab saat ini, sehingga pernikahan dini tidak dapat dianggap sebagai solusi. (Sufiyah, 2018: 5)
Kualitas Usia Perkawinan dengan Pendekatan Kesehatan Reproduksi
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, usia 16 dan 19 tahun dianggap belum matang dalam hal reproduksi, dan usia di bawah 20 tahun dianggap tidak aman untuk reproduksi, menurut Departemen Kesehatan. Usia 19 tahun juga dianggap tidak menjamin
remaja telah matang secara fisik, mental, sosial, dan biologis. Selain itu, Pasal 1 Ayat 1 Nomor 23 Undang-Undang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak-anak yang belum mencapai usia 18 tahun tetap dianggap anak-anak.
Menanggapi masalah meningkatnya angka kematian ibu dan anak, usia perkawinan pasangan pengantin berkaitan erat jika mereka menikah pada usia 16 hingga 19 tahun. Ada kemungkinan besar untuk hamil dan melahirkan sebelum usia dua puluh tahun, dan ini membahayakan kesehatan ibu dan bayi. Dalam ilmu kesehatan, kelahiran anak yang baik adalah apabila seorang ibu telah berusia 20 tahun.
Oleh karena itu, disarankan untuk menunda pernikahan apabila seorang perempuan belum berusia 20 tahun. Juga, disarankan untuk menunda kehamilan apabila seorang perempuan sudah menikah sebelum usia yang ditetapkan. Usia ini juga digunakan untuk memberikan hak reproduksi kepada perempuan.
Menurut Ali Sibran Malisi, usia perkawinan ideal menurut ilmu kesehatan adalah ketika seorang perempuan berusia 20 tahun dan seorang laki-laki berusia 25 tahun, di mana kedua orang tersebut secara fisik sudah matang dan alat reproduksi perempuan sudah matang, sehingga risiko yang telah diuraikan di atas akan berkurang ketika terjadi pembuahan dan kehamilan (Rohman, 2016: 86).
Usia minimal ini ideal untuk menikah karena memungkinkan untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu menjaga keturunan, membangun keluarga yang sakīnah, mawaddah wa raẖmah, menjaga garis keturunan, mempertahankan hubungan keluarga, keberagamaan, dan persiapan ekonomi. Orang-orang di atas usia tersebut dianggap sudah matang secara medis, psikologis, sosial, dan tentu saja agama untuk membentuk keluarga yang kuat.
Kualitas Usia Pernikahan dengan Pendekatan Psikologis
Mereka yang berusia antara 16 dan 19 tahun dianggap belum siap secara psikis untuk menikah dengan segala akibatnya. Kedokteran telah menghindari wanita muda yang melahirkan bayi. Karena mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Kematangan mental dan psikologis yang diperlukan untuk memulai rumah tangga disebut dalam ilmu psikologi sebagai usia akhir remaja, yaitu 21 atau 22 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Seseorang dianggap matang secara psikologis dalam hal emosi, kognisi, dan sosial pada usia ideal. Selain itu, dari perspektif sosiologis, masalah perkawinan terkait dengan keluarga, terutama orang tua dan masyarakat. Selain itu, orang tua yang selalu memberikan restu kepada anak mereka membuat mereka lebih siap. Berkembangnya kesiapan seseorang membuat mereka secara emosional matang dan mampu mengambil tanggung jawab rumah tangga.
Dilihat dari hikmah dan tujuan perkawinan, penulis mengatakan bahwa manusia di usia remaja cenderung berkonsentrasi pada pencarian identitas mereka sendiri dan cenderung melihat hal-hal baru di luar lingkungan keluarganya. Mereka juga cenderung belum memiliki kemampuan untuk membayar kebutuhan finansialnya sendiri. Namun, secara psikologis, kedewasaan adalah suatu fase dalam kehidupan manusia di mana seseorang mencapai keseimbangan pikiran dan mental dalam semua hal yang mereka katakan dan lakukan. Jika seseorang mampu bekerja untuk mencari penghidupan, itu berarti dia telah bertanggung jawab atas hidup dan kebutuhan hidupnya.
Referensi
Ahmad Rofiq. “Hukum Perdata Islam di Indonesia.” Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Enok Yuriqa Nabylaputri, Azhar Kholil. “ Kualitas Usia Perkawinan dalam Perubahan Sosial.” 2022.
Republik Indonesia, Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan 1, Bandung: Citra Umbara, 2007.
Holilur Rahman, “Batas Usia Ideal Pernikahan Perspektif Maqasid Shariah”, Journal of Islamic Studies and Humanities, Vol. 1, No. 1, 2016.
Shihab, M. Quraish, “Tafsir Al-Misbah” cetakan II Jakarta: Lentera Hati, Cetakan 1, 2024
Shufiyah. F. Pernikahan Dini Menurut Hadis dan Jurnal Living Hadis, Vol.3 (1), 2018
Undang-Undang Republik Indoneisa Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1)
Mahfudz Junaedi. “Perkawinan Anak, Hak Reproduksi Perempuan (Studi Perubahan Sosial Masyarakat Muslim di Wonosobo)” Nuansa Vol. 1. No. 2. 2023