Ini adalah ulasan dari buku Interaksi Tuhan-Manusia dalam Komunikasi Al-Qur`an: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Pragma-Linguistika yang ditulis oleh Husni Muadz (selanjutnya ditulis Husni), seorang linguistik berasal dari Lombok, NTB. Ia dipanggil Husni Chomsky oleh teman-temannya karena dianggap paham betul dengan gagasan Noam Choamsky, seorang linguis berpengaruh era hari ini. Buku ini bagi saya sangat menarik karena beberapa alasan. Di antaranya, buku ini menawarkan sebuah pendekatan baru (setidaknya bagi saya) dalam berinteraksi dengan Al-Qur`an.
Buku ini lebih mudah dibaca apabila anda sudah membaca karya Husni yang lainnya seperti Anatomi Sistem Sosial: Rekonstruksi Normalitas Relasi Intersubyekvitas dengan Pendekatan Sistem, Kuadran Pembelajaran: Konsep dan Strategi dengan Formula Ruang dan Waktu, Sekolah Perjumpaan, dan lain-lain. Buku yang saya ulas sangat erat kaitannya dengan buku-buku tersebut. Husni menyebut contoh yang sama dalam bukunya.
Buku ini menawarkan alternatif pembacaan terhadap al-Qur`an, yakni pembacaan perspektif orang kedua. Perspektif ini secara sederhana adalah sudut pandang mukhâtab dalam bahasa Arab atau lawan bicara. Jadi, Husni dalam buku ini menjelaskan bagaimana perspektif orang kedua lebih mendekati ontologi Al-Qur`an sebagai kitab petunjuk dan pedoman umat Islam. Buku ini mengantarkan pembaca untuk menjadikan Al-Qur`an bukan sebagai pengetahuan saja atau knowing what, tapi juga menjelaskan bagaimana mewujudkan pembumian Al-Qur`an atau knowing how.
Saya pikir kontribusi Husni di sini. Ia meyakinkan pembaca bahwa ontologi Al-Qur`an adalah pengetahuan bagaimana atau knowing how bukan knowing what. Ia memiliki perhatian yang sangat besar di sini. Di buku yang yang lain, ia menyatakan bahwa jika pada hal-hal yang sifatnya main-main seperti tari, sepak bola, dan lain-lain membutuhkan praktek, maka kenapa kita tidak memberikan perhatian kepada yang lebih serius seperti moral dan etika. Oleh karenanya, menurutnya salah apabila perkara mengamalkan hal-hal baik dikembalikan ke pribadi-pribadi bukan kepada tanggung jawab kolektif. Tari saja disistemkan lewat lembaga pendidikan. Tesis ini kemudian mengantarkan Husni pada Al-Qur`an. Singkatnya, lahirlah buku ini.
Di awal buku ini, sebelum menawarkan hal baru, ia mendedahkan kelemahan filosofis dalam pendekatan orang ketiga atau dalam bahasa Arabnya dhamîr ghâib. Ini yang saya sebut sebagai kelemahan obyektifikasi Al-Qur`an. Secara sederhana maksud perspektif ini, misalnya ibarat seorang peneliti, penonton, pelapor, dan seterusnya. Kesemuanya melakukan obyektifikasi terhadap suatu obyek. Dalam perspektif orang ketiga, relasi berbentuk subyek-obyek. Al-Qur`an dalam perspektif ini sebagai obyek.
Berikut ini adalah kelemahan yang saya maksud. Pertama, asumsi perspektif orang ketiga bahwa setiap ayat Al-Qur`an harus dipahami secara rasional. Asumsi ini kemudian menjadi bermasalah karena bertententangan dengan kenyataan-kenyataan ayat Al-Qur`an yang menghamparkan sesuatu yang tidak rasional seperti ayat Mutasyabihât, perkara-perkara ghaib seperti hari kiamat, para malaikat, syurga dan neraka, jin dan setan, dan lain sebagainya.
Implikasi asumsi ini berdampak pada sikap menjadikan akal sebagai hakim terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Pada saat bersamaan, akal berada di atas teks. Praktek seperti ini sudah bisa kita lihat dalam tafsir liberal Al-Qur`an. Misalnya tafsir mereka terhadap ayat-ayat yang dianggap tidak rasional adalah perkara perempuan, waris, perkawinan, qishas, dan lain-lain. Semua yang disebut tadi dianggap tidak rasional karena bertentangan dengan semangat modernitas. Mereka mengotakatik ayat-ayat tersebut demi menyesuaikan apa yang mereka anggap rasional.
Dalam hal ini, saya agak risih dengan cara berpikir biner Husni Muadz. Bagi saya, tafsir liberalis sebenarnya muncul secara alami. Kondisi zaman amat mendorongnya, yakni penggunaan rasionalitas secara massif dalam kerja-kerja ilmiah dan teknologi. Ini adalah faktor eksternal. Faktor internalnya adalah penggunaan perspektif ketiga terhadap Al-Qur`an. Mereka sebenernya sedang berusaha membangun pendekatan supaya Al-Qur`an susuai zamkin (zamân wa makân). Mereka harus dilihat dalam sudut pandang sejarah, yakni satu bagian dari percikan pikiran umat Islam.
Berdasarkan uraian di atas menyangkut rasionalitas, rasionalitas memiliki batasan. Jangankan Al-Qur`an, rasionalitas bahkan tidak bisa memahami hakikat rasionalitas itu sendiri, yakni menyangkut cara kerja kesadaran yang merupakan sumber rasionalitas itu sendiri. Kesadaran yang dimaksud dalam konteks ini adalah kesadaran yang hanya dimiliki manusia, bukan batu, hewan, dan lain-lainnya! Kesadaran, bahwa kita ini manusia bukan yang lainnya. Hal itu tidak bisa diakses oleh rasionalitas, hanya ekspresinya saja. Tidak ada yang tahu kesadaran itu berada di mana. Ini yang saya maksud contoh yang ada di bukunya yang lainnya.
Kelemahan kedua adalah terkait dengan implikasi perspektif orang ketiga, yakni komitmennya terhadap apa yang ia sampaikan. Misalnya begini, saya mengatakan kepada anda bahwa Ilham diundang besok pagi ke sebuah acara. Apa yang saya sampaikan kepada anda adalah sebuah proposisi yang berbentuk laporan karena ada kata bahwa. Lalu anda menyampaikannya lagi kepada seorang teman bahwa saya bilang Ilham diundang ke sebuah acara.
Kaitannya dengan kelemahan yang dimaksud di sini adalah komitmen terhadap kebenaran yang disampaikan. Bagi orang ketiga, kebenarannya bukan digantungkan pada kebenaran proposisinya, namun pada orang yang menyampaikannya kepada anda. Anda tidak memiliki tanggung jawab atas kebenaran itu karena anda menggantungkan kebenaran itu kepada orang yang menyampaikannya kepada anda.
Berbeda halnya ketika anda bukan orang ketiga, tapi sebagai orang kedua, yakni orang yang langsung melihat, merasakan, percaya, dan tahu atas apa yang anda akan sampaikan. Komitmen orang kedua itu berkaitan dengan apa yang ia lihat, rasakan, dan alami. Di sinilah letak bedanya. Dalam kaitan Al-Qur`an, komitmen orang yang hanya melaporkan berbeda dengan orang meyakininya. Implikasinya berbeda. Satu tidak melaksanakan. Satu yang lain melaksanakan karena ia percaya.
Kelemahan ketiga adalah terkait dengan implikasi lain dari perspektif ketiga, yakni tidak melahirkan tindakan, tapi hanya sampai level kognisi saja. Hal ini bertentangan kepada ontologis Al-Qur`an yang merupakan kitab panduan yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Praktek ini biasanya di peneliti yang memosisikan Al-Qur`an hanya sebagai objek pengetahuan tanpa ada komitmen untuk melaksanakan isi di dalamnya. Secara khusus, orientalis.
Kelemahan keempat adalah implikasi lainnya, yakni problem pembumian Al-Qur`an di dalam praktek hidup masyarakat. Perspektif orang ketiga telah membuat Al-Qur`an hanya sebatas pengetahuan saja atau knowing what bukan sebagai sesuatu yang akan dipraktekkan atau knowing how. Padahal hakekat Al-Qur`an adalah knowing how atau titik tekannya pada dimensi praksis bagi yang percaya.
Sejauh ia menguraikan kelemahan filosofis ini, saya setuju dengan apa yang ia utarakan kecuali cara berpikir binernya. Saya memiliki kegelisahan yang sama menyangkut perlakuan umat Islam di sekitar saya terhadap Al-Qur`an. Barangkali memang masalahnya pada bagaimana kita “membaca” Al-Qur`an. Terakhir, ada hal-hal lain yang saya bingungkan dalam gagasan perspektif orang kedua. Saya pikir itu sebuah kelemahan gagasan ini. Di bagian kedua saya akan mengulasnya.