“Memaklumi” Para Apologet Muslim dalam Kajian Al-Qur`an

Artikel ini mencoba menerawang bagaimana asal mula lahirnya tipologi apologetik Islam dan kajian Islam dengan berkaca kepada jawaban dari Majid Daneshgar dalam bukunya, Studying the Qur`an in the Muslim Academy (2020). Lalu, artikel ini akan menyajikan pula jawaban versinya sendiri yang tentu saja tidak sekompleks milik Daneshgar. Tujuannya adalah untuk sekedar memberikan tanggapan sederhana untuk Daneshgar.

Tanggapan yang hendak diajukan oleh artikel ini adalah semacam pemakluman terhadap kajian yang telah secara luar biasa dilakukan oleh Daneshgar sekaligus juga pemakluman terhadap apa yang disebut olehnya sebagai apolegetik Islam. Pemakluman ini penting dilakukan agar baik apologetik Islam maupun kajian Islam memahami posisi masing-masing karena ketidakpahaman sering membawa keduanya kepada bentrok tidak karuan.

Bacaan Lainnya

Bagaimana Kajian Al-Qur`an yang Kritis Itu?

Daneshgar memulai dengan menjelaskan bagaimana kajian Islam itu tumbuh di Barat, yaitu pada sekitar pertengahan abad ke-18, para pakar sejarah, pakar Arab, dan pakar bahasa menemani para pendeta dan misionaris untuk mempelajari Islam. Semangat yang mereka bawa ketika melakukan kajian, bisa dicurigai meskipun Daneshgar sendiri tidak tegas menyatakannya, ialah membantu promosi kolonialisme dan imperialisme Barat, meskipun mungkin pada dasarnya itu adalah hasrat pribadi masing-masing pakar dengan kepakarannya sendiri (Majid Daneshgar, 2020: 25)

Kajian mereka diawali dengan pertanyaan: Apa yang dapat dikatakan oleh teks Al-Qur`an tentang orang yang membawanya? Bagaimana komunitas tumbuh dalam menanggapi pesannya? Bagaimana sejarah periode paling awal kehidupan komunitas tersebut (Majid Daneshgar, 25). Sangat tampak dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bahwa bukan maksud Al-Qur`an yang hendak dikaji, tetapi tentang individu dan komunitas yang berada di sekitar Al-Qur`an itu sendiri. Dari sini, perbedaan “pengkaji Islam” dengan para “apologet Islam” sudah menunjukkan batang hidungnya.

Daneshgar mencontohkan pengkaji Islam awal yaitu Ignác Goldziher (w. 1921) yang mengkaji bagaimana saling ketergantungan antara komunitas Muslim dengan Kitab Sucinya terjadi sepanjang sejarah. Lalu, kajian berkembang dengan sasarannya kepada saling ketergantungan antara kehidupan Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur`an (Majid Daneshgar, 2020: 27). Maksud saling ketergantungan adalah dialektika antara teks-teks suci Al-Qur`an dengan komunitas Muslim dan juga dengan pribadi Nabi Muhammad Saw.

Kisah tentang kajian Islam kritis yang diceritakan oleh Daneshgar mengambil setting pada awal era modernitas dan memuncak pada gerakan orientalisme. Modernitas sebagai budaya serta ideologi dan orientalisme sebagai langkah konkret atas itu. Daneshgar sengaja memulai dengan titik ini, karena titik ini pula yang dianggap kontroversial oleh, yang disebutnya, apologetik Islam.

Bagi apologetik Islam, itu adalah alasan untuk menolak cara berfikir kajian Islam. Baik modernitas maupun orientalisme, bagi mereka, adalah bahan bakar bagi kolonialisme dan imperialisme Barat atas wilayah-wilayah jajahannya, termasuk wilayah-wilayah dengan mayoritas berpenduduk Muslim. Semua kajian yang menolak kajian Islam, termasuk hermeneutika, selalu menjadikan orientalisme sebagai batu pijakan. Di antaranya adalah karya Adian Husaini dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur`an (2007).

Jadi, ketika Daneshgar menyimpulkan bahwa kajian Al-Qur`an di akademi Islam lebih bermakna politik daripada sebuah disiplin ilmu, maka barangkali itu benar (Majid Daneshgar, 2020: 131). Namun, itu terjadi karena bagi kaum apologet, studi itu memang adalah respon terhadap gerakan, juga tidak murni kajian karena nuansa politisnya yang kental.

Bagaimana Kajian Al-Qur`an yang Tidak Kritis Itu?

Modernisme memang menggema ke seluruh penjuru bumi, tetapi dengan gema yang berbeda-beda nada. Timur Tengah sebagai negeri para nabi memiliki narasi dan tradisi yang berbeda yang membuat modernitas yang sampai kepadanya bernada berbeda. Belahan bumi lain yang mengagungkan Timur Tengah karena agama yang berasal darinya begitu kuat mentradisi, juga memiliki narasi dan tradisi yang mirip dengan Timur Tengah dan dengan nada juga juga mirip.

Menurut Daneshgar, modernisme Barat dalam bentuk teknologi dan ilmu pengetahuan lebih cepat masuk ke dunia Islam daripada modernisme Barat dalam bentuk budaya dan ideologi. Karena itu, apapun selain studi agama, cukup berkembang di dunia Islam. Sedangkan studi agama tetap dalam bentuknya yang klasik (Majid Daneshgar, 2020: 49). Tentu saja itu terjadi karena mayoritas Muslim membedakan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Terhadap ilmu umum, komunitas Muslim cukup bersedia belajar kepada selain peradaban Islam, tetapi terhadap ilmu agama, mayoritas Muslim cukup percaya diri atas peradabannya sendiri.

Ketika teknologi dan ilmu pengetahuan dirasa oleh para sarjana Muslim bisa dijadikan bahan untuk membuktikan kebenaran dan kesesuaiannya dengan Al-Qur`an. Hal itu dilakukan sekaligus untuk menolak pandangan bahwa teks-teks Al-Qur`an telah mengalami distorsi. Itu menjelaskan mengapa karya Maurice Bucaille, yang di dalam edisi Indonesia berjudul Bibel, Qur`an, dan Sains Modern, sangat populer di kalangan sarjana Muslim (Majid Daneshgar, 2020: 52). Barangkali itu yang bisa disebut dengan “benci tapi rindu” peradaban Islam terhadap peradaban Barat. Teknologi dan ilmu pengetahuan modern yang berasal dari Barat dipakai untuk menolak pandangan yang juga berasal dari Barat tentang historisitas Al-Qur`an.

Kisah Klasik untuk Masa Depan

Penting untuk dipertegas bahwa baik kategori “kajian Islam” maupun kategori “apologetik Islam” yang diapungkan oleh Majid Daneshgar hadir sebagai penamaan atas kajian terhadap Islam dan khususnya Al-Qur`an. Karena itu, perlu terawangan terhadap bagaimana kemungkinan kedua kategori tersebut hadir secara epistemologis. Terawangan ini perlu karena jika tidak dilakukan, maka seakan-akan keduanya hadir begitu saja. Artikel ini memahami bahwa keduanya hadir karena adanya dua pandangan berbeda terhadap ontologi Al-Qur`an.

Mayoritas Muslim memahami bahwa Al-Qur`an adalah firman Tuhan yang didiktekan tanpa proses pengeditan oleh manusia. Posisi ontologis Al-Qur`an ini diyakini umat Muslim sama dengan posisi Yesus Kristus bagi umat Kristiani yang diyakini sebagai inkarnasi dari keberadaan Tuhan. Karena itu, ada sifat-sifat Tuhan yang dimiliki oleh Al-Qur`an sebagaimana ada sifat-sifat Tuhan yang dimiliki oleh Yesus Kristus, yaitu “sesuatu yang tidak bisa diciptakan” (qadîm bukan hadîts) (Jens Zimmermann, 2021: 139-140).

Perdebatan tentang qadîm bukan hadîts untuk Al-Qur`an mengingatkan kepada perdebatan klasik dalam teologi Islam. Uniknya, Al-Qur`an menyebut Nabi Isa as (Yesus) dengan kalimah, sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan kalâm, sebagaimana dalam QS. An-Nisa/4: 171. Qadîm berarti Al-Qur`an tidak dapat ditiru oleh manusia yang hadîts. Lebih daripada itu, karena manusia hadîts, maka tidak layak manusia mempergunakan pendapatnya untuk menafsirkan Al-Qur`an (Adonis, 2007: 188).

Bagi mayoritas umat Yahudi, meskipun Taurat diyakini didiktekan kata demi kata kepada Nabi Musa as, namun cukup dapat mereka terima bahwa ada intervensi manusia biasa dalam Taurat hingga sampai kepada umat Yahudi saat ini (Jens Zimmermann, 2021: 138). Pandangan mayoritas umat Kristiani kepada Injil tidak jauh berbeda karena adanya para penulis wahyu sebagai saksi Yesus dari perwujudan diri Tuhan (Jens Zimmermann, 2021: 141).

Mereka yang masuk kategori “apologetik Islam” adalah mereka yang sama dengan mayoritas Muslim sebagaimana disebutkan di atas. Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan untuk memahami Al-Qur`an adalah bagaimana Al-Qur`an dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari komunitas Muslim? Bahkan secara umum, oleh komunitasnya, kitab-kitab agama Abrahamik dipercaya sebagai pewahyuan Ilahiah, dan dengan demikian merupakan otoritas yang mengikat dan mendefinisikan kehidupan normal manusia (Jens Zimmermann, 2021: 141).

Upaya pemahaman modern terhadap Kitab Suci sesungguhnya cukup mengakomodasi kecenderungan apologetik. Proyek Friederich Schleiermacher (1768-1834) hingga Wilhelm Dilthey (1833-1911) adalah buktinya. Terutama Schleiermacher. Baginya, pemahaman terhadap teks benar-benar adalah relasi Aku, penafsir, dan Engkau, pengarang, dan itu berarti tidak bersifat kebahasaan dan segala aturannya (W. Poespoprojdo, 2015, 30-31).

Jangan dilupakan bahwa hermeneutika yang dipakai untuk memahami Kitab Suci adalah anak kandung Romantisme yang merupakan gerakan kritis terhadap “Pencerahan” abad ke-18 dengan cara menggali kembali kebijaksaan kuno dalam tradisi, agama, hingga mitos. Jadi, hermeneutika pada dasarnya adalah kritik terhadap modernitas (F. Budi Hardiman, 2015, 28-29)

Mereka yang masuk kategori “kajian Islam” tentu tidak mengajukan pertanyaan yang sama karena memang pandangan tentang status ontologis Al-Qur`an yang berbeda. Perbedaan pandangan mengakibatkan perbedaan pertanyaan. Pertanyaan mereka telah disebutkan pada awal tulisan ini. Sampai di sini, posisi para apologet Muslim itu bisa dipahami dan dimaklumi.

Meski bisa dimaklumi, ada kontradiksi pada mereka yang masuk ketegori “apologetik Islam”. Apakah jika seorang apologet percaya bahwa Kitab Suci diturunkan dari Ilahi dan turun secara Ilahiah tanpa proses pengeditan oleh manusia, maka penafsiran tidak lagi dibutuhkan?

Pertanyaan itu penting karena seharusnya jika memang sebuah teks suci dikatakan hendak mengontrol jalannya sejarah, maka seharusnya tidak perlu ada penafsiran agar teks suci itu sendiri yang mengontrol jalannya sejarah, bukan penafsiran itu sendiri. Bukankah dalam definisi apologetik, Al-Qur`an adalah wahyu Tuhan untuk diikuti, bukan untuk dikritisi atau dikomentari?

Kenyataannya, tidak semua apologet puas dengan pemahaman deskriptif teks. Banyak yang mencoba melampauinya. Meski tidak persis seperti cara kerja kritis (Jens Zimmermann, 2021: 136). Banyak di antara mereka yang bertindak sebagai penafsir Al-Qur`an atau mediator antara Al-Qur`an dengan kenyataan kehidupan mereka sendiri. Seringkali, padangan bahwa Al-Qur`an jauh dari campur tangan manusia membuat penafsiran mereka pun diyakini sebagai jauh dari campur tangan manusia dan karena itu, sakral.

Posisi penafsir sebagai mediator menjadi problematis karena dia secara otomatis mengambil alih kontrol sejarah dari tangan Kitab Suci ke tangannya sendiri, meskipun dia mengatakan dirinya hanya sekadar juru bicara. Ada sisi “kajian” dalam diri mereka meski mungkin tidak disadari.

Sebaliknya, mereka yang barangkali mengaku tergolong dalam kategori “kajian Islam”, bahkan hingga yang bisa dikategorikan sebagai sangat “liberal” pun sesungguhnya masih berada dalam koridor berupaya menyingkap maksud Al-Qur`an untuk kehidupan manusia, dalam arti Al-Qur`an untuk sejarah, bukan sebaliknya, sejarah untuk Al-Qur`an.

Memang ada penafsiran ortodoksi yang melembaga dalam bentuk aliran bahkan organisasi. Banyak orang yang cukup merasa nyaman berada di bawah naungannya, termasuk para apologet. Tapi ada yang merasa kurang nyaman atas beberapa (tidak semua) penafsiran ortodoksi lalu berupaya memberikan catatan kritis.

Ini juga termasuk para apologet tapi apologet yang gelisah. Mereka yang gelisah mungkin sudah mulai merengkah tempurung apologetisnya dan sepersepuluh tubuhnya mulai memasuki ruang kritis. Rasa gelisah adalah pertunjukan auntentisitas yang penting. Ada semacam keintiman antara seseorang dengan Kitab Sucinya yang tidak perlu dihakimi oleh otoritas tertentu.

Penulis artikel ini (mengaku) termasuk yang gelisah tetapi juga mengakui sisi ketidakkritisannya atau sisi apologetiknya. Penulis mengakui ketidakjelasan dirinya. Paling tidak, pengakuan lebih baik daripada mereka yang justru mengaku kritis tetapi sesungguhnya apologet.[]

 

Bahan Bacaan

Daneshgar, Majid, Studying the Qur`an in the Muslim Academy, New York:  Oxford University Press, 2020.

Zimmermann, Jens, Hermeneutika: Sebuah Pengantar Singkat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2021

Poespoprojdo, W., Heremeneutika, Bandung: Pustaka Setia, 2015

Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, Yogyakarta: LKiS, 2007

Hardiman, F. Budi, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, Yogyakarta: Kanisius, 2015

Husaini, Adian dan Abdurrahman Al-Baghdadi, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur`an Jakarta: Gema Insani Press, 2007

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *