Sejarah mencatat adanya upaya pereduksian kualitas ḥadīṡ Nabi Saw. dan meragukannya sebagai salah satu main source umat Islam, seperti yang dilakukan oleh al-Jāḥiẓ, di antara sebagian tokoh Mu’tazilah Niẓāmiyyah (Al-Bagdādī: 1988, 133), atau Syi’ah Ekstrem (Gulāt al-Rāfiḍah) yang meyakini bahwa Malaikat Jibril salah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw., (Al-Suyūṭī: 2016, 58-59), atau semisalnya seperti kelompok Khawārij yang mengkafirkan sahabat sehingga menolak riwayatnya, (Al-Siba’i: 2000).
Para ulama pada setiap masanya menanggapi dan menolak pemahaman tersebut dengan memaparkan pentingnya posisi ḥadīṡ dalam Islam, kemudian memberi penjelasan terkait ḥadīṡ yang diklaim bermasalah. Sikap penolakan itu-secara jelas-dapat ditemukan dalam karya tulis mereka, misalnya:
Al-Syāfi’i (w. 204 H) dalam Al-Risālah menyebutkan persoalan keabsahan otoritas ḥadīṡ, (Al-Syāfi’ī: 1938, 73-105), kemudian Ibn Qutaibah (w. 276 H) dalam Ta’wīl Mukhtalaf al-Ḥadīṡ menyebutkan tanggapan menarik terhadap upaya pereduksian ḥadīṡ, (Ibn Qutaibah: 1999, 63-66), begitu juga Ibnu Fūrak (w. 406 H) dalam Musykil al-Ḥadīṡ, Al-Khaṭīb Al-Bagdādi (w. 463 H) dalam Al-Kifayah, al-Suyūṭī (w. 911 H) dalam Miftāḥ al-Jannah, dan begitu seterusnya.
Mayoritas ulama bersepakat mengenai otoritas ḥadīṡ Nabi Saw. sebagai salah satu instrumen utama pengambilan hukum. Memang, kebijakan resmi penulisan ḥadīṡ Nabi Saw. tidak terjadi pada abad pertama hijriah sebagaimana dituliskannya Al-Qur’an. Umar ra., inisiator penulisan Al-Qur’an sebenarnya juga sempat berpikir untuk menuliskannya, namun setelah mempertimbangkan, niat ini diurungkan, setidaknya dengan dua alasan:
Pertama: ‘Umar ra. ingin mengikuti pendekatan kedua pendahulunya, yaitu Rasulullah Saw. dan Abū Bakar ra. yang tidak menginisiasikan hal itu.
Kedua: ‘Umar ra. melihat belum diperlukannya kodifikasi ḥadīṡ dengan terjaganya tradisi menghafal secara lisan antara para sahabat Nabi Saw. dan implementasinya dalam praktek hidup sehari-hari. (Salim: 2019, 16-17).
Selain itu, adanya konsentrasi para sahabat terhadap pengkodifikasian Al-Qur’an semakin membuat Umar menarik rencananya mundur, sehingga abad pertama hijriah berlalu tanpa ditulisnya ḥadīṡ sampai masa Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azīz (w. 101 H)-keturunan Umar bin Khattab ra.-dari bani Umayyah. (Dasmun: 2015, 89).
Perlu digarisbawahi bahwa kodifikasi ḥadīṡ secara resmi pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz bukan berarti tidak adanya aktifitas penulisan ḥadīṡ secara total sebagaimana dapat diketahui bahwa Abdullah bin Amru bin al-Ash mempunyai lembaran pribadi bernama Al-Ṣādiqah, yang berisi catatan ḥadīṡ yang didengarnya dari Rasulullah Saw. sendiri-barangkali dengan izin khusus dari Rasulullah Saw.-sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Abu Hurairah ra. berkata:
“Akulah sahabat Rasulullah yang terbaik dalam menghafal ḥadīṣ Rasulullah Saw., kecuali Abdullah bin Amr bin Al-Ash, karena dia menulis sementara saya tidak.” (Al-Bukhari: 2002, 41).
Dari literatur tersebut, dapat dinyatakan bawa pengingkaran ḥadīṡ Nabi Saw., secara parsial atau kolektif, baik dari segi sanad dengan dalih koreksi historis atas jenjang kodifikasi ḥadīṡ yang dicap terlambat setelah wafatnya Rasulullah Saw. sehingga disinyalir adanya rekayasa, atau dari segi matn yang berbanding balik dengan rasio, telah terjadi sejak masa tābi’īn.
Hal ini persis seperti pernyataan Muṣṭafā Sibā’i bahwa gelombang pengingkaran ḥadīṡ dimulai tidak jauh setelah abad kedua hijriyah atau awal mula abad ketiga hijriyah dengan munculnya paham sekelompok Mażhab Niẓāmiyyah dari Mu’tazilah yang mendemonstrasikan penolakan terhadap seluruh kategori ḥadīṡ selain mutawātir. (Sibā’i: 2000, 165).
“Pemborosan Ḥadīṡ” atas Dasar QS. Al-An’ām/6: 38 Dan QS. An-Nahl/16: 89
Sempat muncul pemahaman yang menyatakan bahwa ḥadīṡ Nabi Saw. kehilangan fungsi, sebab Al-Qur’an dinilai telah mencukupi. Pernyataan ini sempat beredar dalam majalah al-Manar, Kairo, edisi ke 7 dan 12 yang ditulis oleh Taufiq Shidqi, (Sibā’i: 2000, 176). Hal ini diklaim berdasarkan pernyataan Al-Qur’an sendiri, yang cakupannya telah memuat segala sesuatu sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-An’am: 38 dan QS. An-Nahl: 89. (Abu Syuhbah dan ’Abdul Khāliq: 1989, 397).
Pandangan ini mengatakan bahwa Allah Ta’ala sendiri telah menjelaskan dalam QS. Al-An’ām/6: 38 bahwa Dia (Allah) tidak mengabaikan apapun kecuali termuat di dalam “Kitab”, yang ditafsirkan sebagai Al-Qur’an, sehingga kehadiran Al-Qur’an menjadi cukup, dan hadirnya Ḥadīṡ (Sunnah) justru dinilai sebagai “pemborosan”.
Kemudian juga dalam QS. An-Naḥl/16: 89 dinyatakan bahwa setiap hal telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, maka hadirnya ḥadīṡ justeru menafikan pernyataan tersebut dan berkonsekuensi terhadap adanya ketidaksesuaian dalam Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang Maha Mengetahui.
Ḥasyiat al-Ṣāwi ‘alā Jalālain atas QS. Al-An’ām/6: 38 Dan QS. An-Nahl/16: 89
Jalaluddin al-Suyūṭī dalam tafsir Jalālain menafsirkan-secara jelas-bahwa yang dimaksud dengan kata al-Kitāb pada QS. Al-An’ām/6: 38 bukanlah Al-Qur’an, melainkan Lauhul Mahfuz (Al-Ṡāwī: t.t. vol. 2: 13-18), yang dinyatakan oleh Nabi Saw.: tinta telah kering dengan segala yang terjadi hingga hari kiamat. (Al-Ṭaḥāwī: 1995, 18).
Tafsir Al-Suyuṭi ini jelas membatalkan syubhat di atas, akan tetapi ketika mengomentari tafsir al-Suyuṭi tersebut, al-Ṣāwi menambahkan penjelasan bahwa ada pendapat ulama yang menyatakan lain, bahwa maksud al-Kitāb di sini adalah Al-Qur’an, kemudian al-Ṣāwi menggarisbawahi bahwa maksud “Allah tidak mengabaikan sesuatupun di dalam Al-Qur’an” adalah sebatas yang dibutuhkan manusia dalam urusannya, bukan mencakup segala sesuatu. (Al-Ṡāwī: t.t. vol. 2: 13-18).
Pemahaman al-Ṣāwi di atas juga dipahami ulama sebelumnya, Imam al-Syāfi’i dalam al-Risālah mengatakan: tidak ada suatu perkara yang dihadapi ahli agama Islam kecuali Al-Qur’an memuat tanggapan (petunjuk) atas hal tersebut. (Al-Syāfi’ī: 1938, 20).
Al-Ṣāwi dalam tafsirnya menjelaskan, jika menyambut penafsiran bahwa yang dimaksud dari al-Kitāb di sini adalah Al-Qur’an, maka tidak mungkin kata Syai (sesuatu) dalam ayat tersebut dimaknai secara umum, dalam artian bahwa Al-Qur’an memuat penjelasan tentang segala sesuatu, yang berkaitan dengan urusan agama dan keduniaan, sebab jika ditafsirkan secara umum akan berimplikasi pada kerancuan makna dalam ayat tersebut. (Al-Ṡāwī: t.t. vol. 2: 13).
Penafsiran al-Ṣāwi ini disamping memberikan penjelasan tambahan, juga mengisyaratkan tentang pentingnya fungsi ḥadīṡ Nabi Saw., hal-hal ibadah saja misalnya: Sholat disyariatkan dalam Al-Qur’an, tapi rinciannya tidak disebutkan, Haji, Zakat dan ibadah-ibadah lainnya yang disyariatkan dalam Al-Qur’an, tidak dijelaskan dengan teliti cara pelaksanaannya, lalu bagaimana dapat dikatakan ḥadīṡ Nabi Saw. sebagai pemborosan?
Adapun al-Tibyān (penjelas) yang dimaksud pada ayat kedua (QS. An-Naḥl/16: 89) itu, menurut al-Ṣāwi perlu dipahami dalam dua format, yaitu: penjelasan secara langsung melalui teks (naṣṣ) Al-Qur’an secara jelas, atau secara tidak langsung dan diserahkan penjelasannya kepada dalil-dalil yang dipertimbangkan dalam agama, seperti: Ḥadīṡ, Ijmā’, Qiyās, dll. (Al-Ṡāwī: t.t. vol. 2: 301).
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam QS. An-Nisā/4: 83: “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) sekiranya mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan kepada Ulil Amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya.”
Intervensi terhadap autentisitas ḥadīṡ, melalui jalur sanad atau matn, jika bukan dalam usaha intelektual terhadap kompetensi para perawi ḥadīṡ (sanad), atau kompromi atas kandungan matn-nya yang tidak menuruti standar rasio, bisa diasumsikan sebagai upaya mendiskreditkan nilai dan otoritas ḥadīṡ dalam Islam, dan al-Ṣāwī dalam tafsirnya sebagaimana juga ijmā’ ulama menyangkal hal tersebut.
Daftar Pustaka
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, dan ’Abdul Gani ’Abdul Khāliq. Difā’ ’an al-Sunnah wa Radd Syubah al-Mustasyriqīn. Kairo, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1989.
Al-Bagdadi, Abd al-Qāḥir bin Ṭāḥir bin Muhammad. Al-Farq baina al-Firaq. Disunting oleh Muhammad ’Usman al-Khusyt. Kairo: Maktabah Ibn Sīnā, 1988.
Al-Bukhārī, Muhammad bin ‘Ismā’īl. Ṣāḥīḥ al-Bukhārī. 1 ed. Damaskus: Dar Ibn Kaṡīr, 2002.
Al-Khaṭīb al-Bagdādī, Aḥmad bin ’Ali bin Ṡābit. Al-Kifāyah fi ‘Ilm al-Riwāyah. Hyderabad, India: Dāirat al-Ma’ārif al-Uṡmāniyyah, 1939.
Al-Ṡāwī, Aḥmad bin Muḥammad. Ḥāsyiyat al-Ṡāwī ’alā Tafsīr al-Jalālain. Vol. 2. Beirut, Lebanon: Dar al-Jīl, t.t.
Al-Sibā’i, Musṭafā. Al-Sunnah wa Makānatuhā fī al-Tasyrī’ al-Islāmi. Suriah: Dar al-Warrāq, 2000.
Al-Suyūṭī, ‘Abdurraḥmān bin Abū Bakr. Miftāḥ al-Jannah fi al-Ihtijāj bi al-Sunnah. Disunting oleh Sirājul Islām Hanīf. 2 ed. Pakistan: Dar Al-Qur’an wa al-Sunnah, 2016.
Al-Syāfi’i, Muḥammad bin Idrīs. Al-Risālah. 1 ed. Kairo, Mesir: Muṣṭafā al-Bābī al-Ḥalabi, 1938.
Al-Ṭaḥāwī, Abu Ja’far. Matn al-’Aqīdah al-Ṭaḥāwiyyah. Beirut, Lebanon: Dar Ibn Ḥazm, 1995.
Dasmun, H, S Ag, dan M Si. “Studi Al-Quran dan al-Hadits.” Vol ., no. 1 (2015).
Ibn Qutaibah, ‘Abdullah bin Muslim. Ta’wīl Mukhtalaf al-Ḥadīṣ. Disunting oleh Muhammad Muḥyiddīn al-Aṣfar. 2 ed. Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1999.
Salim, Agus. “Studi Analisis Kodifikasi Hadis” 16, no. 2 (2019).