Eksistensi Tuhan selalu disandingkan dengan sifat-sifat yang baik. Namun dalam realita kehidupan, tak jarang ada bencana, kerusakan, serta penderitaan yang menerpa manusia sebagai khalifah-Nya. Dalam menghadapi realita tersebut, seringkali manusia mengeluh bahkan tak jarang menganggap Tuhan tidak adil. Misal, kita sudah hidup teratur; menjaga pola makan, istirahat, dan olahraga dengan baik, tetapi mengapa Tuhan datangkan sakit? Kita sudah rajin ibadah, dermawan lagi istiqamah, tetapi mengapa Tuhan datangkan bala tentara memborbardir kita, sementara mereka yang tidak mengenal Tuhan bisa hidup dengan sentosa?
Jika menilik ke Abad Pertengahan, pertanyaan-pertanyaan serupa telah ramai diperbincangkan. Hal tersebut ditengarai oleh pernyataan seorang filsuf Yunani Kuno, Epicuros yang mengatakan:
Atau Tuhan mau meniadakan kejahatan tetapi tidak dapat, atau Ia dapat tetapi tidak mau, atau Ia tidak mau dan tidak dapat, atau Ia mau dan dapat melakukannya. Jika Ia mau, tetapi tidak dapat melakukannya, berarti Ia lemah, tetapi itu tidak sesuai dengan hakekat Tuhan. Jika Ia dapat melakukannya, tetapi Ia tidak mau, berarti Ia buruk hati; tetapi ini pun tidak sesuai dengan hakekat Tuhan. Jika Ia tidak mau dan tidak dapat, berarti Ia buruk hati, tetapi kalau begitu Ia bukan Tuhan. Bila Ia mau dan dapat, maka dari manakah asalnya kejahatan dan mengapa Ia tidak meniadakan/menghapuskannya? (Sunarko,2005:209).
Dialektika demikian tentu melahirkan ketegangan para agamawan, terlebih jika didengungkan pada umat dari kalangan awam. Kemudian pada tahun 1710, seorang filsuf Jerman Gottfried Leibniz menggagas istilah teodisi. Secara etimologi, “theos’’ bermakna Tuhan, dan “dike” keadilan. Leibniz menulis sebuah esai yang berjudul Essays on the Goodness of Godm the Freedom of Man and the Origin of Evil. Esai tersebut berisi upaya Leibniz membela Tuhan yang dituduh kontradiktif.
Leibniz menyatakan, “For God could not give creature all without making of it a God; there fore there must needs be different degrees in the perfection of things, and limitations also of every kind” (Leibniz, 2005:126). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa hanya Tuhan yang sempurna, sedangkan ciptaannya berada dalam lingkup ketidaksempurnaan. Begitulah kehendak Tuhan selalu bermuara pada kebaikan, sementara kehendak manusia masih ambigu; boleh jadi cenderung pada kebaikan, ada pula potensi bertendensi pada keburukan.
Berikutnya, Leibniz mengemukakan bahwa keburukan bisa diartikan secara metafisik, fisik, dan moral. Keburukan metafisik terdiri dari ketidaksempurnaan belaka, keburukan fisik berupa penderitaan, keburukan moral berupa dosa (Leibniz, 2005:136). Hal ini bukan berarti menafikan bahwa Tuhan tidak terlibat dalam proses turunnya keburukan, tetapi sejatinya Tuhan telah membekali segala kebaikan kepada manusia. Dengan akalnya, manusia bisa berpotensi melakukan kebaikan sesuai kodrat ilahi atau melanggar kodrat dengan menjalankan keburukan.
Oleh karena itu, Leibniz mengatakan ada dua jenis keburukan. Pertama keburukan dari hasil kebebasan manusia (dengan akalnya) yang tidak sesuai kodrat ilahi, kedua tingkah laku Tuhan (Leibniz,2005:125). Adapun efek dari datangnya keburukan itu hakikatnya adalah kebaikan. Leibniz mengatakan datangnya keburukan bisa jadi merupakan hukuman atas kesalahan manusia, bisa juga sarana untuk mencegah keburukan yang lebih besar, atau sarana memeroleh kebaikan yang lebih besar (Leibniz, 2005:137).
Tafsir al-Misbâẖ terkait Konsep Teodisi
Penafsiran Quraish Shihab terhadap beberapa ayat sarat akan konsep teodisi. Misal dalam penafsirannya terhadap ayat ke-216 surat al-Baqarah yang berbunyi:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Tentu peperangan merupakan salah satu bentuk keburukan yang bertentangan dengan sifat Allah Yang Maha Kasih. Sebab peperangan bisa mengakibatkan hilangnya nyawa, serta kerusakan di lingkungan medan perang. Namun melalui tafsirnya, Quraish Shibah menjelaskan bahwa peperangan bagaikan obat yang pahit, ia tidak disenangi tapi harus diminum demi memelihara kesehatan (Shihab, 2002:460). Memang ayat tersebut tidak serta merta mewajibkan muslim untuk berperang tanpa alasan. Semisal ada orang lain masuk wilayah negara kita dengan tujuan berbuat onar dan memicu permasalahan, maka wajib untuk memeranginya.
Hadirnya peperangan boleh jadi menjadi sesuatu yang dibenci dan bertentangan dengan sifat kasih Tuhan. Dalam ayat tersebut dijelaskan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu…” Peperangan yang hadir atas dasar membela diri justru akan membuahkan kebaikan yang lebih besar karena stabilitas negara akan kembali baik, sehingga rakyat juga sentosa. Kalimat terakhir pada ayat tersebut, “…Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Sebuah pengingat bahwa manusia hendaknya berserah diri pada Tuhan, sekaligus mendorongnya untuk hidup seimbang, tidak kehilangan optimisme ketika ditimpa kesedihan/keburukan, dan tidak larut dalam kegembiraan yang menjadikannya lupa daratan (Shihab, 2002:461).
Keburukan bisa datang pada siapa saja. Bahkan sekelas Nabi Ayyub juga tidak lepas dari keburukan yang menimpanya. Dalam al-Qur’an surat al-Anbiya’ ayat 83:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥٓ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”.
Nabi Ayyub mulanya adalah sosok yang sehat dan kaya raya, serta memiliki banyak keturunan. Kemudian datang sebuah penyakit yang menggerogoti tubuhnya, juga kehilangan anak-anaknya akibat tertimbun reruntuhan rumah. Bahkan harta bendanya juga lambat laun habis tak tersisa. Serumpun cobaan itu beliau hadapi dengan penuh rasa ikhlas. Orang-orang terdekatnya menjauh karena sakit yang dideritanya, kecuali istrinya yang setia menjaga dan merawat Nabi Ayyub (Zaidan,2019:458).
Dalam kondisi sedemikian rupa, Nabi Ayyub berdo’a dengan segala kerendahan hati tanpa ada kata mengeluh atau menggerutu. Ayat di atas merupakan doa beliau, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. Bahkan Nabi Ayyub tetap memuji Tuhan Yang Maha Baik di tengah kondisinya yang tidak baik-baik saja. Bahkan dalam do’a tersebut ada kata مسني yang berarti aku disentuh, yakni sekadar sentuhan yang sifatnya sedikit atau kecil, bukan berdoa dengan kata اصابني yang berarti ditimpa. Padahal penyakit yang dialami Nabi Ayyub hingga bertahun-tahun lamanya (Shihab, 2002:495). Kemudian di ayat berikutnya:
فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ فَكَشَفْنَا مَا بِهِۦ مِن ضُرٍّ ۖ وَءَاتَيْنَٰهُ أَهْلَهُۥ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَٰبِدِينَ
“Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.”
Permohonan tulus dari Nabi Ayyub disambut oleh Tuhan dengan begitu indah. Tuhan menyehatkan tubuhnya kembali, bahkan mengembalikan harta dan melipatgandakan anaknya. Konsep teodisi dalam kasus ini tentu melihat bahwa keburukan datang dari tingkah laku Tuhan yang bermuara pada kebaikan yang lebih besar. Untuk mencapai kebaikan tersebut, Nabi Ayyub memberikan contoh untuk senantiasa sabar dan berfikir bahwa Tuhan tetap menyayangi hambanya dengan segenap sifat baiknya dengan memanjatkan permohonan hanya kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Leibniz, Gottfried Wilhelm. Theodicy: Essays on the Goodnes of the God, the Freedom of Man, and the Origin of Evil, translated, E.M. Huggard, Charleston, South Carolina: BiblioBazaar. 2005.
Sunarko, Adrianus. “Teodisea, Antropodisea, Anti-Teodisea? Allah, Manusia, dan Penderitaan,” Diskursus Jurnal Filsafat dan Teologi, vol.4, No.3, Oktober, 2005
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
Zaidan, Abdul Karim. Kisah-kisah dalam al-Qur’an Versi Tadabbur. Solo: Zamzam. 2019.