Peristiwa yang bersifat ekstrem dalam beragama bukanlah sesuatu yang baru. Sejarah mencatat bahwa kasus pengeboman tempat peribadatan maupun bom bunuh diri acap kali dilakukan oleh seorang muslim. Padahal, agama Islam adalah agama peradaban yang tidak kaku dan tidak membatasi pemeluknya sehingga bersifat konservatif dan tertutup. Golongan yang cenderung tertutup kerap kali berpotensi menjadi pribadi yang ekstrem dan tidak dapat bersikap moderat dengan baik.
Dalam beberapa periode yang rumit, Islam ditimpa musibah serius dan berkepanjangan, seperti kasus bom bunuh diri pada beberapa negara (termasuk Indonesia). Fenomena tersebut menyelisihi hakikat Islam sebagai agama perdamaian. Kelompok tersebut dengan perbuatan mereka memberikan isyarat kurangnya sikap moderat dalam beragama. Orang-orang tersebut tidak membenarkan pluralitas, tidak melirik percampuran budaya dalam agama, dan gemar mengartikan jihad dengan istilah perang (Abdurrahman, 2003:38).
Interpretasi Istilah “Moderasi” dan “Ekstremisme”
Rujukan utama dalam pencarian makna harfiah atau Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan term “moderasi” dengan dwi interpretasi. Kesatu, sifat yang condong menjauhi perilaku kefanatikan. Kedua, keinginan menuju jalan pertengahan. Sedangkan, dalam bahasa Arab, term “moderasi” selalu dikaitkan dengan term wasath yang diartikan dengan hal yang bertempat di antara dua penghujung dan suatu ukuran rata-rata dari segala ukuran yang ada (Quraish, 2019:2).
Term “moderasi” juga berkaitan erat dengan term “moderator” yang mengandung arti seseorang yang berperilaku tengah (adil), seperti seorang hakim dalam sidang dan wasit yang menjadi penengah antara kedua tim. Moderator memandu perkumpulan sekaligus menjadi pengarah dalam pembahasan dan penyelesaian masalah. Interpretasi tersebut satu arah dengan term wasat{ meskipun arti yang bersangkutan tidak lebih luas dengan interpretasi ahli bahasa Arab, khususnya yang merujuk kepada sumber utama Islam.
Sikap “moderat” atau wasathiyyah tidaklah perilaku yang abstrak atau lemah dalam menghadapi persoalan. Sikap “moderat” juga tidak sifat pertengahan matematis yang dianggap sebagian orang merupakan produk interpretasi filsuf Yunani. Sikap “moderat” juga tidak sifat lemah lembut, meskipun “moderat” memiliki indikator sopan santun dan lemah lembut, lebih-lebih diartikan dengan sifat yang tidak tegas dalam menyelesaikan persoalan (Quraish, 2019:11).
Al-Qur’an mengistilahkan ekstrem dengan term al-ghuluw, dengan makna harfiahnya al Isrâf, atau sikap berlebihan pada sebuah urusan. Diartikan juga dengan sifat ekstrem dalam menyikapi urusan dan melanggar garis (peraturan) yang ditetapkan Allah Swt dan Rasul-Nya (Asqalani, 1988:12). Salah satu ulama’ terkemuka dari Mesir, Yusuf al-Qardhawi, menjelaskan bahwa sikap ekstrem memiliki beberapa indikasi, antara lain: 1) sektarian (fanatik) atau percaya dengan satu pandangan yang diyakini saja; 2) kecondongan menjadikan agama kaku (sulit); 3) menganggap sesama lebih rendah (buruk); 4) membiasakan takfiriy (kebiasaan menganggap orang lain kafir).
Sifat al-ghuluw dalam beragama adalah sumber utama penyebab munculnya sifat-sifat di atas pada diri seseorang. Padahal, kebiasaan menganggap orang lain kafir telah dilarang secara tegas dalam Islam. Bahkan, mereka yang terbiasa mengkafirkan sesama menganggap darah sesama halal untuk dibunuh. Maka, sifat moderat dalam beragama sangat dibutuhkan guna menghindari perangai ekstrem tersebut (Yusuf, 1996:43)
Abdurrahman bin Mualla al-Luwaihiq menjelaskan 3 indikator utama yang menjadikan seseorang memiliki sifat al-ghuluw, di antaranya yaitu faktor yang bersangkutan dengan metodologi ilmiah, faktor yang bersangkutan dengan rohani dan edukasi, dan faktor yang bersangkutan dengan keadaan sosial dan permasalahan agama secara global (Abdurrahman, 2014). Faktor pertama yang dibahas adalah kebodohan dalam syariat Islam. Sikap al-ghuluw biasanya dimiliki seseorang karena kurangnya ilmu yang dikuasai namun keinginan untuk mengimplementasikan syariat islam sangat tinggi dan kerap kali menyimpulkan suatu hukum dengan pengetahuannya yang minim.
Faktor kedua mencakup kebiasaan dan daerah yang ditempati oleh orang-orang yang kokoh berpendapat. Dalam konteks ini, beliau menyebutkan kelompok Khawarij sebagai kelompok puritan. Model memahami syariat yang mereka anut dianggap bersifat paling asli/ orisinil/ ototitatif, mereka hanya mengamalkan dan mempercayai syariat yang didapati dari teks atau lafalnya saja. Kebiasaan buruk yang dipelihara oleh kelompok tersebut adalah menuruti hawa nafsu untuk mengalahkan penganut Islam yang berbeda paham atau tidak serupa pendapat dengan mereka.
Faktor terakhir mencakup keadaan masyarakat Islam dalam sosial, keuangan, kepemimpinan, dan persoalan agama dalam kacamata global. Kepuasan beragama yang mereka rasakan sangat kurang sehingga menjadikan hal tersebut alasan untuk berbuat radikal maupun ekstrem. Mereka sangat berkeinginan untuk mengembalikan keyakinan, syariat, dan popularitas agama Islam yang selama ini mereka angap telah sirna dan berbelok arah.
Makna Term Wasathan dalam Q. S Al-Baqarah[2]: 143
Pembahasan sikap “moderat” tidak hanya mencakup konteks orang per orang, namun pembahasan tersebut mencakup konteks suatu masyarakat, umat, bahkan kepentingan negara. Dalam konteks pembahasan moderasi, banyak ahli menyinggung Q. S al-Baqarah [2]:143 sebagai ayat yang relevan, ayat yang dimaksud yaitu:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ
Artinya: “Demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang megikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, keculai bagi orang yang telah diberi petunjuk Allah Swt. Allah Swt tidak akan menjadikan imanmu sia-sia. Sesungguhnya Allah Swt benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (Q. S Al-Baqarah [2]:143).
Bagian potongan ayat wa kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasathan dimaksudkan oleh para ahli dengan istilah “moderasi beragama”, kemudian mereka menyebutnya dengan istilah wasathiyyah, meskipun dalam al-Qur’an didapati banyak term lain yang memiliki arti serupa dengan makna wasathiyyah. Pembahasan moderat dalam konteks ini selalu dikemukakan lantaran secara bahasa tidak sampai mencakup interpretasi dari makna dasar moderasi beragama yang diinginkan agama (Quraish, 2019:6).
Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbâh menjelaskan makna wasathiyyah atau moderasi dengan arah tengah (rata-rata) sebagai penuntut seseorang supaya tidak condong ke salah satu dari dua arah dan menuntut pribadi seseorang berperilaku merata. Eksistensi berperilaku obyektif/tidak memihak menuntut pribadi yang terbuka (mampu dianalisis oleh sekian penjuru yang berbeda), sekaligus menjadi panutan untuk setiap masyarakat. Sikap tersebut membuat pribadi mampu melihat ke setiap arah di setiap tempat (Quraish, 2000:344).
Beliau menambahkan, sikap “moderator” memiliki analogi seperti penuntun kepada arah lurus, seakan-akan pelakunya bergerak di atas al-Shirâth al-Mustaqȋm. Al-Qur’an sebagai rujukan utama umat Islam menegaskan hal tersebut sekaligus mengakui jika al-Shirâth al-Mustaqȋm merupakan arah yang diberi nikmat Allah Swt kepada para Nabi, kelompok yang condong kepada kebenaran dan kejujuran (al-Shiddiqȋn), kelompok yang suka bersaksi kepada kebenaran dan kebajikan (Syuhadâ’), dan pribadi yang berwatak shaleh (Quraish, 2000:14).
Daftar Pustaka:
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 1988. Fath{u Al-Ba<ry. Darul Rayyan Lil Turats: Kairo.
Al-Luwaihiq, Abdurrahman bin Mu’alla. 2014. Da<r al-Fala<h{: Jakarta.
Mas’ud, Abdurrahman. 2003. Menuju Paradigma Islam Humanis. Gama Media: Yogyakarta.
Qardhawi, Yusuf. 1996. Al-Khas{a<is{ li Al-‘A<m. Maktabah Wahbah: Kairo.
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah. Lentera Hati: Jakarta.
Shihab, Quraish. 2019. Wasathiyyah. Lentera Hati: Jakarta.