Membaca Ulang Gagasan Amina Wadud Tentang Ragam Peran Tokoh Perempuan dalam al-Qur’an

Mereduksi pandangan non-egaliter dan membantu menghadirkan pemahaman yang adil dalam membaca Al-Qur’an dapat dilakukan dengan memperdalam kajian tentang peran perempuan di dalam Al-Qur’an. Ketika penafsir menginterpretasikan teks dengan didasari pada stereotip maka interpretasi mereka bisa menjadi bias. Ketika pandangan yang demikian mendapatkan dukungan Al-Qur’an maka penafsir bisa saja tidak menggali lebih dalam makna yang lebih kompleks.

Salah satu contohnya adalah perempuan seringkali dipersepsikan sebagai makhluk penggoda dengan mencomot QS. Yusuf: 23 sebagai basis pelegalan. Akibatnya, interpretasi ini dapat menyederhanakan serta mengaburkan nuansa ajaran Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai moral melalui contoh konkret yang terkandung di dalamnya. Salah satu contoh konkret yang dimaksud adalah ilustrasi dan kisah yang dapat digunakan sebagai pedoman dengan cara mengkaji peran tokoh perempuan di dalam Al-Qur’an

Bacaan Lainnya

Amina Wadud dan Qur’an and Women

Amina Wadud adalah seorang muallaf, lahir pada 25 September 1952 dengan nama Maria Teasley di Bethesda Maryland, Amerika Serikat. Menerima gelas BS dari University of Pensilvania, pernah menjadi Profesor Agama dan Filsafat di Virginia Common Walth University dan menyelesaikan studi doktor dalam bidang Filsafat di Universitas Michigan serta mempelajari Bahasa Arab di Universitas Amerika dan Universitas Al-Azhar.

Wadud mengajar di berbagai institusi di seluruh dunia dan membawakan kuliah tentang Islam, feminisme dan studi agama. Konstribusi Wadud yang paling signifikan dalam kajian tafsir Al-Qur’an adalah disertasinya yang berjudul Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective yang menyajikan analisis mendalam mengenai bagaimana teks Al-Qur’an direinterpretasi untuk mendukung kesetaraan gender.

Metode hermeneutika yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman yang disebut double movement digunakan oleh Amina Wadud sebagai sebuah pendekatan.  Ada tiga aspek yang Wadud tekankan dalam hermeneutika khususnya dalam konteks Al-Qur’an yakni: (1) konteks saat teks ditulis yaitu merujuk kepada situasi sosial, sejarah, serta budaya saat teks tersebut diwahyukan.

(2) Komposisi gramatikal teks atau dengan kata lain bagaimana struktur kalimat, kata-kata dan gaya bahasa yang digunakan Al-Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesannya. Serta (3) visi global atau pandangan dunia yang diusung oleh teks tersebut (Amina, 1999: 19). Dengan demikian Al-Qur’an tidak hanya dijadikan sebagai kitab petunjuk amalan tertentu tapi gagasan-gagasan konseptual yang terkandung dalam peristiwa konkret dapat dipetik dan direalisasikan.

Peran Tokoh Perempuan dalam Al-Qur’an Melalui Perspektif Amina Wadud

Peran tokoh perempuan di dalam Al-Qur’an disebutkan dalam 37 jumlah ayat yang tersebar dalam 21 surah yang berbeda. Nama-nama dari tokoh yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an, Wadud dapatkan dalam kitab-kitab tafsir berbahasa Arab maupun Inggris. Sebagaimana yang dikategorisasikan dalam Qur’an and Women bahwa peran tokoh perempuan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dibagi menjadi tiga tingkatan.

Tiga tingkatan tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori. Kemudian diikuti oleh nama surah dan nomor ayat yang menyebutkan para tokoh perempuan serta sedikit catatan tentang siapa mereka atau keterangan dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Adapun ketiga tingkatan yang terklasifikasikan dalam dua kategori yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Kategori pertama; tingkat I, mencakup perempuan-perempuan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an tapi sedikit sekali penjelasan mengenai diri mereka. Menurut Wadud, fungsi mereka disebutkan di dalam Al-Qur’an tidak lain sebagai tokoh tambahan untuk membuat sebuah kisah menjadi lebih logis hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki dialog yang signifikan dan peran aktif (Amina, 1999: 106).

Tokoh-tokoh perempuan pada tingkatan pertama disebutkan dalam kisah-kisah nabi tertentu utamanya pada ayat-ayat periode Mekah. Adapun pada periode Madinah, lebih sering dijadikan sebagai model teoritis. Artinya, representasi perempuan digunakan sebagai contoh atau ilustrasi dalam ajaran tanpa terlibat secara langsung dalam peristiwa yang diceritakan.

Masih dalam periode Madinah, dalam tingkatan ini tokoh disebutkan untuk mendeskripsikan prinsip atau nilai tertentu yang ingin disampaikan namun, mereka tidak berperan aktif dalam narasi tersebut. Mereka tidak lebih sebagai figur konseptual yang membantu untuk menyoroti aspek-aspek tertentu dari ajaran Islam atau hukum syariah.

Contoh dari kategori pertama; tingkat I ini bisa dilihat pada QS. Al-Imrân [3]: 40

قَالَ رَبِّ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ غُلٰمٌ وَّقَدْ بَلَغَنِيَ الْكِبَرُ وَامْرَاَتِيْ عَاقِرٌ ۗ قَالَ كَذٰلِكَ اللّٰهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ

Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa mendapat anak, sedangkan aku sudah sangat tua dan istriku pun mandul?” (Allah) berfirman, “Demikianlah, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.”

Nabi Zakariya menyebutkan istrinya sebagai wanita yang ‘âqir; mandul saat muda dan sudah monopouse (Katsîr, 1968: 833). Isya’ binti Faquq adalah nama istri Nabi Zakariya dalam literatur Tafsir dan Hadits, sedangkan dalam Injil disebut dengan nama Elisabet (Lukas, 1: 5-6). Selain Al-Imrân [3]: 40, pada QS. Maryam [19]: 5 juga disebutkan bagaimana Isya’ atau Elisabet tidak memiliki dialog dan tindakan signifikan dalam teks.

Isya’ binti Faquq disebutkan sebagai bagian dari konteks kisah Nabi Zakariya untuk menunjukkan kekuasaan Allah Swt., dalam memberi keturunan. Walaupun keberadaannya penting namun, ia tidak memiliki peran utama, eksistensinya dalam ayat dianggap sebagai pelengkap. Adapun fungsinya sebagai model teoritis adalah untuk menguatkan tema keimanan serta kesabaran dalam berdoa.

Adapun peran-peran lainnya bisa dilihat dalam QS. Ibrâhim [11]: 78, QS. An-Nûr [24]: 11, QS. Al-Ahzâb [33]: 37 dan 59, dan QS. Al-Tahrîm [66]: 10. Ayat-ayat tersebut  menunjukkan bagaimana peran perempuan di dalam Al-Qur’an sebagai pelengkap dari kisah yang lebih besar, tidak mengalami pengembangan karakter maupun peran yang lebih dalam.

Kategori pertama; tingkat-II, meliputi perempuan yang diceritakan di dalam Al-Qur’an, mereka melakukan tindakan atau perkataan tertentu tapi signifikansi dari perbuatan tersebut hanya terbatas pada peristiwa dalam kehidupan mereka dan kehidupan nabi. Seperti kategori pertama, perempuan tidak menunjukkan signifikan religius yang tegas yakni hanya sebatas menegaskan sifat kemanusiaan dari para individu (Amina, 1999: 107).

Tokoh perempuan ini diceritakan dalam tema-tema di mana manusia terlibat dalam kondisi alamiah seperti menghadapi krisis dalam keluarga mereka. Peran yang dimainkan biasanya dianggap tepat untuk perempuan dan mufasir berupaya membahas dan menjadikan perempuan ini sebagai simbol universal, salah satunya dalam QS. Yusuf [12]: 23:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ

Perempuan, yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya, menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.”

Dalam literatur disebutkan bahwa nama perempuan tersebut adalah Zulaikha (Ali, 1983: 533). Pada kategori ini tokoh telah melakukan tindakan dan perkataan, namun tindakan tersebut hanya mencerminkan sifat kemanusiaan yakni keinginan dan godaan yang dihadapi oleh individu tanpa memberi signifikansi religius yang luas apalagi sampai menjadikan sifat ini (penggoda) sebagai simbol universal bagi perempuan.

Peran lainnya dapat dilihat dalam QS. Al-A’raf [7]: 83, QS. Al-Ankabut [29]: 33, QS. Hud [11]: 71, QS. Adz-Dzariat [51]: 29, QS. An-Nahl [16]: 92, QS. Al-Qashash [28]: 23, QS. Al-Mumtahanah [60]: 10, QS. At-Tahrim [66]: 3, QS. Al-Mujadilah [58]: 1, dan QS. Yusuf [12]: 30.

Kategori kedua; tingkat-III, adalah kategori peran perempuan istimewa karena menghimpun peran-peran unik dari Al-Qur’an dan dari perspektif manusia. Mereka melakukan ibadah khusus, menunjukkan komitmen moral agama, dan melahirkan pengaruh luar biasa pada manusia namun sayangnya peran mereka diceritakan tanpa visi perempuan dan tanpa menyoroti hal-hal yang melampaui keperempuanan mereka (Amina, 1999: 107).

Salah satunya pada QS. An-Naml [27]: 23:

اِنِّيْ وَجَدْتُّ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَّلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ

Sesungguhnya aku mendapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka. Dia dianugerahi segala sesuatu dan memiliki singgasana yang besar.

Kisah Ratu Saba diceritakan dalam konteks pertemuannya dengan Nabi Sulaiman dengan dan menunjukkan interaksi antara pemimpin perempuan dan seorang nabi. Dalam ayat lain dideskripsikan sebagai pemimpin yang bijaksana dan adil yang akhirnya menerima kebenaran dan tunduk kepada Allah Swt., hal ini menunjukkan transformasi penting dari seorang ratu yang berkuasa menjadi seseorang yang beriman.

Meskipun awalnya menyembah matahari namun Ratu Saba menunjukkan keterbukaannya terhadap kebenaran, setelah beriman ia menunjukkan sebuah komitmen moral yang kuat dalam beralih dari politeisme ke monoteisme. Hal ini dianggap sebagai amalan ibadah khusus karena merefleksikan perubahan mendalam dalam keyakinan serta perilaku religius seorang pemimpin besar.

Kisah Ratu Saba tidak hanya berpengaruh pada kaumnya namun secara universal menyampaikan pesan-pesan kepemimpinan, pentingnya dialog, kebijaksanaan serta ketundukan kepada Allah Swt.. Peran tokoh perempuan lainnya dapat dilihat pada QS. Taha [20]: 38, QS. Al-Qashash [28]: 7, At-Tahrim [66]: 12, QS. Al-Imran [3]: 35.

Demikian tiga kategori peran perempuan yang ada di dalam Al-Qur’an, dengan mengetahui hal ini diharap perempuan tidak lagi distigmakan dengan peran-peran yang tidak signifikan dalam konstelasi religiusitas dan justru menjadikan bagian-bagian ilustrasi negatifnya sebagai simbol universal untuk perempuan (seperti pada kategori pertama, tingkat II), melainkan sebagaimana pada kategori kedua tingkat ke-III yang memberikan potret peran perempuan yang membawa nilai-nilai universal dalam konteks agama dan kemanusiaan.

Sumber Bacaan

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an; Text Translation and Eksplanatory Notes, Washington, DC: Islamic Center, 1938).

Katsîr, Ibû Al-Fidâ’ ‘Ismâil, Qashash Al-Anbiyâ, Kairo: Dâr At-Ta’lîf, 1968.

Lukas, 1: 5-6

Wadud, Amina. Qur’an and Women; Rereading the Sacred Text from a Women’s Perspektif, New York: Oxford University Press, 1999.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *