Intertekstual Al-Qur’an dan Bible: Studi Narasi Sarah Tertawa (Review Artikel Reading The Qur’an as Homily: A Case of Sarah’s Laughter)

“The field of qur’anic studies today has become the crown of Islamic studies”. (Mun’im, 2019: 1).

Statement Mun’im Sirry tersebut rasanya tak berlebihan, kajian atas al-Qur’an memang telah memasuki gerbang keemasannya dengan menggeliatnya berbagai variasi penelitian yang menjadikan al-Qur’an sebagai objek riset, salah satunya adalah mengkaji keterhubungan al-Qur’an dengan teks-teks yang ada sebelum datangnya al-Qur’an. Riset ini dikembangkan oleh salah seorang sarjanawan, Gabriel Said Reynolds.

Bacaan Lainnya

Gabriel Said Reynolds adalah salah seorang professor yang fokus pada bidang studi agama dunia, sejarah kekristenan, hubungan muslim-kristen, serta studi al-Qur’an. Minatnya pada studi al-Qur’an membuatnya menulis beberapa karya buku seperti the Qur’an and the Bible: Text and Commentary; The Qur’an Seminar Commentary: A Collaborative Study of 50 Qur’anic Passages; New Perspectives on the Qur’an: the Qur’an in Its Historical Context 2; The Qur’an and Its Biblical Subtext dan the Qur’an and its Historical Contexts, dan masih banyak karya yang lainnya termasuk artikel yang berjudul Reading the Qur’an as Homily: A Case of Sarah’s Laughter yang menjadi fokus review kali ini.

Pada artikel tersebut, Reynolds fokus membahas mengenai narasi tertawanya Sarah (istri Abraham), namun sebelumnya Reynolds mengajukan rekonstruksi hubungan antara al-Qur’an dan Bible “the two texts become the best of friends, one helping the other along” saling bersahabat dan saling membantu sama lain, sehingga al-Qur’an tidak lagi dituduh menyalin Bible, dan Bible tidak lagi terlarang untuk dipelajari oleh sarjanawan Muslim. (Reynolds, 2010: 586)

Sarah Tertawa: Antara al-Qur’an dan Bible

Hubungan interteks antara al-Qur’an dan Bible dapat dilihat dalam paradigma yubayyinu ba’dhuhu ba’dhan. Hal ini dapat dilihat dari contoh yang diangkat oleh Reynolds mengenai narasi Sarah tertawa yang disinggung oleh al-Qur’an dan Bible.

Al-Qur’an menceritakan seputar tertawanya Sarah dimulai dengan datangnya utusan-utusan kepada Ibrahim/Abraham dengan membawa berita gembira. Lalu Ibrahim/Abraham bergegas menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang, akan tetapi para utusan tersebut tidak menjamah hidangan tersebut sehingga membuat Ibrahim/Abraham merasa takut dan curiga, para utusan tersebut kemudian menenangkan Ibrahim/Abraham dengan mengatakan sesungguhnya kami diutus kepada kaum Luth (Qs. Hud: 69-70).

Selanjutnya, al-Qur’an menggambarkan dua peristiwa yang terjadi; Sarah berdiri lalu dia tertawa kemudian terdapat berita gembira mengenai kelahiran Ishaq, dan Sarah kemudian tampak takjub dengan penuh keheranan karena usianya dan Ibrahim/Abraham sudah sangat tua, lalu para utusan tersebut mengatakan bahwa itu adalah rahmat dan berkah dari Allah yang dicurahkan kepadamu, setelah rasa takut Ibrahim/Abraham hilang, al-Qur’an lalu mengungkapkan bahwa terjadi mujâdalah (diskusi) antara para utusan tersebut dengan Ibrahim/Abaraham mengenai nasib kaum Luth (Qs. Hud: 71-76). Kisah kedatangan para utusan tersebut juga disinggug pada Qs. Az-Zariyat: 24-37 namun dalam ayat tersebut respon Sarah tidak tertawa, melainkan tercengang dan menepuk wajahnya sendiri (fȋ sharratin fashakkat wajhahâ).

Selain al-Qur’an, Bible juga menyinggung narasi tertawanya Sarah dalam kitab Kejadian pasal 18 dimulai dengan Tuhan yang menampakkan diri kepada Abraham dekat pohon Tarbantin di Mamre, sedang ia duduk di pintu kemahnya saat panas terik, lalu datang tiga orang utusan yang berdiri di depannya, lalu Abraham menyuruh para utusan tersebut untuk beristirahat, sembari ia pergi ke kemahnya dan menyuruh Sarah untuk membuat roti dari tiga sukat tepung yang terbaik, Abaraham pun segera mengambil anak lembu yang empuk dan baik dagingnya untuk diolah, begitupun dadih dan susunya kemudian dihidangkan kepada tiga utusan tersebut, kemudian mereka menanyai keberadaan Sarah dan dijawab oleh Abaraham bahwa Sarah edang berada dalam kemah, lalu utusan tersebut menyampaikan firmannya “sesungguhnya aku akan kembali tahun depan mendapatkan engkau, pada waktu itulah Sarah akan mempunyai seorang anak laki-laki”.

Sarah yang mendengarkan hal tersebut pada pintu kemahnya menjadi tertawa dan berkata dalam hatinya “akan birahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” lalu berfirmanlah Tuhan kepada Abraham “mengapa Sarah tertawa, adakah sesuatu yang mustahil untuk Tuhan? Pada waktu yang telah ditetapkan itu tahun depan, aku akan kembali mendapatkan engkau, pada saat itulah Sarah mempunyai anak laki-laki” Sarah kemudian menyangkal dan berkata “aku tidak tertawa”, tetapi Tuhan berfirman “tidak, memang engkau tertawa!”.

Selanjutnya, Bible juga menceritakan pedebatan Abraham dengan tiga utusan tersebut. Abraham berkata “apakah engkau akan melenyapkan orang benar bersama-sama orang fasik? Bagaimana sekiranya jika ada lima puluh orang benar dalam kota itu apakah engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya? Tuhan lalu berfirman “jika kudapati lima puluh orang yang benar di kota Sodom, aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka” dan seterusnya hingga Abraham kembali ke tempat tinggalnya.

Narasi mengenai tertawanya Sarah dalam al-Qur’an dan Bible jika dibaca secara intertekstual, akan ditemukan detail-detail cerita yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya berapa jumlah utusan yang datang pada Ibrahim/Abraham, apa saja makanan yang disuguhkan, dan apa isi atau topik perdebatan yang terjadi antara ibrahim/Abraham dengan para utusan tersebut. Nah, untuk menjawab pertanyaan ini seorang pembaca hendaknya merujuk pada Bible yang menyediakan narasi yang lebih rinci, sehingga paradigma hubungan antara al-Qur’an dan Bible adalah yubayyinu ba’dahu ba’dan.

Menurut Reynolds melalui pembacaan seperti ini, dapat disimpulkan bahwa peran yang diberikan al-Qur’an pada Sarah dalam konteks kisah kunjungan para utusan tersebut yang membawa kabar gembira adalah mengekspresikan keterkejutan atas apa yang telah dijanjikan oleh Allah yaitu ia akan melahirkan anak laki-laki, baik dengan tertawa, menepuk wajahnya, ataupun mengatakan dia dan suaminya sudah tua. (Reynolds, 2010: 588) Namun menurut Reynolds, kebanyakan para mufassir tidak sampai pada kesimpulan ini, mengapa demikian?

Thabari dan Narasi Sarah Tertawa

Reynolds mengungkapkan bahwa Thabari menolak narasi bahwa Sarah tertawa karena adanya berita gembira atas mukizat yang dijanjikan Allah kepadanya berupa seorang anak laki-laki, karena secara urutan tekstual potongan frasa ayat yang merujuk kepada tertawanya Sarah lebih dahulu muncul dibandingkan frasa ayat yang merujuk kepada berita gembira kelahiran anak laki-laki (wamratuhû qâimatun fa-dhahikat fa-basysyarnâhâ bi Ishâqa wa min warâ’i Ishaqa Ya’qûb) (Reynolds, 2010: 588).

Thabari sendiri mengungkapkan enam penjelasan mengenai sebab mengapa Sarah tertawa: Pertama, tertawa karena takjub, sebab ia telah membantu Ibrahim/Abraham menyiapan makanan, namun makanan tersebut tidak disentuh oleh tamunya. Kedua, tertawa karena kaum Luth yang lalai dan telah datang utusan Allah untuk membinasakan mereka. Ketiga, tertawa karena mengira utusan tersebut ingin berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Keempat, tertawa karena melihat utusan tersebut takut melihat Ibrahim/Abraham ketakutan. Kelima, tertawa karena mendapat berita gembira mengenai kelahiran Ishaq padahal ia dan Ibrahim/Abraham sudah berusia senja, Keenam, tertawa karena ia mengalami haid. (Thabari, 2000: 389-394)

Thabari sendiri lebih memilih pendapat yang kedua (wa awlâ al-aqwâl allatȋ dzukirat fi dzâlika bi al-showâb qawlu man qâla ma’na qawlihȋ fa-dhahikat fa’ajabat min ghaflah qawm luth) karena frasa ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya yang berbicara tentang perkara kaum Luth (Thabari, 2000: 394).

Namun dalam menjelaskan pendapat kelima, Thabari mengemukakan argumentasi kalangan yang mengaitkan tertawanya Sarah akibat adanya berita gembira atas kelahiran Ishaq. Menurutnya ayat ini dibaca dalam kerangka “al-muqaddam alladzȋ ma’nâhu al-takhȋr” memahami apa yang berada di awal teks sebenarnya berada di akhir, sehingga ayat ini seakan akan bermakna (wamratuhû qâimatun fa-basysyarnâhâ bi Ishâqa wa min warâ’i Ishaqa Ya’qûb fa-dhahikat) dan istrinya berdiri, maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang kelahiran Ishaq dan setelah Ishaq akan lahir Ya’qub, lalu Sarah tertawa. (Thabari, 2000: 391)

Namun mengapa al-Qur’an tidak menceritakan detail peristiwa secara rinci? Dan apakah pembacaan ayat dalam kerangka takhȋr al-muqaddam adalah sesuatu yang salah?

 

Membaca al-Qur’an sebagai Homili

Reynolds mengembangkan konsep homili dalam mengkaji al-Qur’an dan kitab suci lainnya, menurutnya para mufassir agak kesulitan dalam menjelaskan bagian-bagain al-Qur’an secara detail dan rinci, karena mufassir memiliki dimensi kosong dalam membaca narasi tertentu dalam al-Qur’an, yakni mereka tidak menguasai bahasa lain seperti Syria, Aram, Ibrani, Ethiopia, Pahlavi, Yunani, dan Arab Utara/Selatan Kuno. Menurutnya, al-Qur’an seharusnya dibaca dan didialogkan dengan apa yang datang sebelumnya (Bible, Apokrifa, dan karya eksegesis Yahudi dan Kristen) bukan dibaca dengan apa yang datang setelahnya (literatur tafsir) (Reynolds, 2010: 2).

Lebih lanjut, Reynolds mengungkapkan bahwa terdapat ciri-ciri sastra dalam tertentu dalam al-Qur’an yang memiliki hubungan homili dengan sastra alkitab, misalnya dalam menarasikan suatu cerita/kisah, al-Qur’an tidak mendetailkan dan tidak sedang menceritakan sebuah cerita/kisah baru, akan tetapi al-Qur’an malah membawa audiens nya untuk mengingat dan mengharapkan pembacanya mengenal atau mengingat tradisi Yahudi dan Kristen. Misalnya dalam ayat yang berbicara tentang kisah/cerita biasanya dimulai dengan frasa udzkur yang dimaknai dengan mengingat, sehingga dalam hal ini al-Qur’an bersifat homili, mengingatkan apa yang sebelumnya telah diingat atau diketahui audiensnya, tetapi cenderung dilupakan dan dilalaikan (Reynolds, 2010: 236). Hal ini mengisyaratkan bahwa bisa jadi audiens al-Qur’an sebenarnya telah akrab dengan narasi kisah-kisah dalam biblical tradition. Baca lebih detail soal apa itu pendekatan homili atau homilitik di sini.

Salah satu ciri homili al-Qur’an lainnya adalah susunannya yang bersajak -i dan -u. Dalam konteks kisah tertawanya Sarah, ayat-ayat sebelumnya berakhiran -i dan -u. Itulah sebabnya menurut Reynolds dalam Qs. Hud: 71, nama Ya’qub yang notabennya tidak memiliki tempat dalam pemberitaan tentang Ibrahim/Abraham dan istrinya, baik dalam literatur Alkitab maupun ayat al-Qur’an lainnya, dimasukkan karena namanya memiliki unsur sajak -u. Seandainya unsur tersebut tidak menjadi masalah, ayat tersebut mungkin berbunyi (wamratuhû qâimatun fa-basysyarnâhâ bi Ishâqa fa-dhahikat) (Reynolds, 2010: 589).

 

Partisipasi al-Qur’an dalam Tradisi Penafsiran yang Lebih Luas

Salah satu contoh yang diberikan oleh Reynolds adalah Hymn on Abraham and Isaac karya dari Mary Efhrem yang mengaitkan antara tertawanya Sarah dengan kelahiran Yesus dari rahim Maria. Menurut Efhrem, tawa Sarah merupakan pertanda dari ketakjuban Maria atas kabar gembira tentang Yesus. Dalam al-Qur’an informasi tentang kelahiran Ishaq dan Isa/Yesus kepada Sarah dan Maria sama-sama menggunakan derivasi kata basysyara, pada berita gembira kelahiran Ishak menggunakan kata “basysyarnâhâ bi Ishaq” (Qs. Hud: 71) dan pada berita gembira kelahiran Isa/Yesus menggunakan kata “yubasysyiruki bi kalimatin minhu” (Qs. Ali Imran: 45). Dari analisis yang dilakukan Reynolds, ia pun berkesimpulan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang al-Qur’an maka yang dilakukan adalah membaca keduanya (al-Qur’an dan literatur biblical tradition) secara bersamaan, bukan membuatnya terpisah satu sama lain. (Reynolds, 2010: 590-591)

 

Menimbang Aspek Intertekstual Sebagai Unsur dalam Penafsiran

Melanjutkan argumen Reynolds mengenai urgensi intertekstual al-Qur’an dan Bible, sekiranya penting untuk dipertimbangkan masuknya aspek intertekstual dalam proses menafsirkan al-Qur’an. Metodologi Ma’na cum Maghza misalnya sudah meyadari pentingnya aspek intertekstual dalam menafsirkan al-Qur’an. Sahiron Syamsuddin memasukkan aspek intertekstual dalam rangka menemukan ma’nâ al-târȋkhȋ (Sahiron, 2017: 142). Pembacaan secara intertekstual nampaknya relevan juga digunakan pada metodologi tafsir lainnya seperti tafsir taẖlȋlȋ guna menemukan worldview yang lebih luas dan komprehensif mengenai makna sebuah ayat yang ingin dikaji secara mendalam. Terkhusus pada ayat-ayat kisah yang tidak dicantumkan secara mendetail dalam al-Qur’an sehingga diperlukan teks-teks lain yang muncul sebelum dan semasa dengan al-Qur’an guna menemukan narasi yang lengkap, sehingga lebih memudahkan peneliti untuk menganalisis makna dan maqâshid yang terkandung dalam ayat-ayat kisah yang dikaji.

Tabir yang menghalangi pembacaan terhadap Bible sebaiknya diletakkan sesuai dengan porsinya, memosisikan Bible sebagai “teman” al-Qur’an dapat memperluas cakupan dan pandangan dunia dalam aktivitas pemaknaan terhadap al-Qur’an. Menggunakan Bible tidak berarti menganggap al-Qur’an “meminjam dan menyalin” isi dari Bible, sebaliknya mendialogkan Bible dengan al-Qur’an membuatnya punya hubungan yubayyinu ba’dhuhu ba’dhan.

Reference

Mun’im Sirry, New Trends in Qur’anic Studies: Text, Context, and Interpretation, (Atlanta: Lockwood Press, 2019)

Gabriel Said Reynolds, Reading The Qur’an as Homily: The Case of Sarah’s Laughter, in “The Qur’an in Context: Historical and Literary Investigations into The Qur’anic Mileu, (Leiden: Brill, 2010)

Gabriel Said Reynolds, The Qur’an and Its Biblical Subtexts, (London: Routledge, 2010)

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press, 2017)

Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, Juz XV, (t.t: Mu’assasah al-Risalah, 2000)

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *