Di era globalisasi yang sarat dengan tantangan dan perubahan cepat, keluarga Muslim menghadapi ujian berat dalam membesarkan anak-anak mereka. Fakta sosial menunjukkan bahwa kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku menyimpang di kalangan generasi muda terus meningkat. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai 1,73 persen pada tahun 2023 (BNN, 2023: 15). Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan adanya peningkatan kasus tawuran pelajar sebesar 1,1% dari tahun sebelumnya, mencapai 202 kasus pada tahun 2020 (KPAI, 2021: 7).
Fenomena ini menunjukkan adanya krisis dalam pola pengasuhan anak di masyarakat modern. Banyak orang tua yang kebingungan mencari metode yang tepat untuk mendidik anak-anak mereka agar menjadi generasi yang unggul, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan zaman. Di tengah kebimbangan ini, umat Islam sebenarnya memiliki teladan sempurna dalam figur para nabi dan rasul yang diabadikan dalam Al-Qur’an.
Salah satu tokoh yang patut dijadikan inspirasi dalam pengasuhan anak adalah Nabi Ya’qub. Kisah beliau dalam mendidik anak-anaknya, terutama Nabi Yusuf, mengandung hikmah dan pelajaran berharga yang relevan untuk diterapkan di masa kini. Metode parenting Nabi Ya’qub yang penuh kebijaksanaan, kesabaran, dan keteguhan iman dapat menjadi blueprint bagi orang tua Muslim dalam membentuk generasi unggul yang siap menghadapi kompleksitas dunia modern.
Tulisan ini, akan mengeksplorasi konsep Islamic parenting yang terinspirasi dari kisah Nabi Ya’qub, menganalisis prinsip-prinsip utamanya, dan menawarkan strategi aplikatif bagi orang tua Muslim kontemporer. Dengan memadukan kearifan profetik dan pemahaman psikologi modern, diharapkan artikel ini dapat memberikan wawasan baru dalam upaya membentuk generasi Muslim yang unggul di abad 21.
Kisah Nabi Ya’qub dalam Al-Qur’an
Nabi Ya’qub, yang juga dikenal sebagai Israel, merupakan salah satu Nabi yang kisahnya diceritakan secara mendetail dalam Al-Qur’an, terutama dalam surah Yusuf. Beliau adalah putra Nabi Ishaq dan cucu dari Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai bapak para Nabi (Shihab, 2002: 385). Kisah Nabi Ya’qub terutama berfokus pada hubungannya dengan putra-putranya, khususnya Nabi Yusuf AS.
Al-Qur’an menggambarkan Nabi Ya’qub sebagai seorang ayah yang penuh kasih sayang, bijaksana, dan memiliki keteguhan iman yang luar biasa. Meskipun menghadapi berbagai cobaan berat, termasuk kehilangan putra kesayangannya, Yusuf, selama bertahun-tahun, beliau tetap sabar dan teguh dalam keimanannya kepada Allah Swt. (Kementerian Agama RI, 2010: 236).
Prinsip-prinsip Islamic Parenting ala Nabi Ya’qub
Kasih Sayang yang Seimbang
Nabi Ya’qub dikenal memiliki kasih sayang yang besar terhadap anak-anaknya, terutama Yusuf. Namun, beliau juga berusaha untuk bersikap adil dan memberikan perhatian kepada semua putranya. Al-Qur’an mencatat bagaimana Nabi Ya’qub menasihati Yusuf untuk tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya, menunjukkan kepedulian beliau terhadap dinamika hubungan antar saudara. Sebagaimana terdapat dalam QS. Yusuf/12: 5.
قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ٥
“Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku, janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu karena mereka akan membuat tipu daya yang sungguh-sungguh kepadamu. Sesungguhnya setan adalah musuh yang jelas bagi manusia.”
Zakiah Daradjat dalam bukunya “Ilmu Jiwa Agama” menekankan pentingnya kasih sayang dalam pembentukan kepribadian anak. Menurutnya, “Kasih sayang merupakan kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak” (Daradjat, 2005: 67).
Pendidikan Spiritual yang Konsisten
Nabi Ya’qub secara konsisten menanamkan nilai-nilai spiritual dan ketauhidan kepada anak-anaknya. Bahkan dalam kondisi tersulit, seperti ketika kehilangan Yusuf, beliau tetap menunjukkan keteguhan iman dan tawakal kepada Allah Swt. Ini terlihat dalam QS. Yusuf/12: 86.
قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٨٦
“Dia (Ya‘qub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbâẖ menjelaskan bahwa sikap Nabi Ya’qub ini menggambarkan tingginya spiritualitas beliau yang kemudian ditransfer kepada anak-anaknya (Shihab, 2002: 513).
Komunikasi Terbuka dan Dialogis
Nabi Ya’qub menerapkan pola komunikasi yang terbuka dengan anak-anaknya. Beliau tidak segan untuk mendengarkan pendapat mereka, namun tetap memberikan nasihat dan arahan yang tepat. Hal ini terlihat ketika putra-putranya meminta izin untuk membawa Yusuf bermain (QS. Yusuf: 11-14).
Menurut Fathiyaturrahmah (2018: 78), komunikasi terbuka antara orang tua dan anak dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kemampuan problem-solving anak.
Kesabaran dalam Menghadapi Ujian
Kesabaran Nabi Ya’qub dalam menghadapi berbagai ujian, terutama kehilangan Yusuf, menjadi teladan yang luar biasa. Beliau tetap optimis dan tidak pernah putus asa dari rahmat Allah SWT. Sikap ini tercermin dalam ucapannya, “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan” (QS. Yusuf: 18).
Siti Muri’ah dalam bukunya Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karier menegaskan bahwa kesabaran merupakan kunci utama dalam pendidikan anak. “Kesabaran orang tua dalam mendidik anak akan membentuk karakter yang tangguh dan resilient pada anak,” (Muri’ah, 2011: 124).
Pemaafan dan Rekonsiliasi
Salah satu aspek paling mengesankan dari parenting ala Nabi Ya’qub adalah kemampuannya untuk memaafkan. Ketika putra-putranya mengakui kesalahan mereka terhadap Yusuf, Nabi Ya’qub tidak hanya memaafkan mereka, tetapi juga mendoakan ampunan untuk mereka (QS. Yusuf: 97-98).
Penelitian yang dilakukan oleh Enright dan Fitzgibbons (2015: 251) dalam Journal of Child and Family Studies menunjukkan bahwa pemaafan dalam keluarga dapat meningkatkan kesehatan mental dan hubungan interpersonal yang lebih baik.
Strategi Implementasi Islamic Parenting ala Nabi Ya’qub dalam Konteks Modern
Pertama, membangun fondasi spiritual yang kuat. orang tua perlu menanamkan nilai-nilai keimanan dan spiritualitas sejak dini. Ini bisa dilakukan melalui rutinitas ibadah bersama, diskusi tentang nilai-nilai Islam, dan memberikan teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama menyatakan, “Pembentukan jiwa keagamaan pada anak dimulai sejak ia dilahirkan dan berlangsung hingga ia mencapai usia dewasa” (Jalaluddin, 2012: 294).
Kedua, menciptakan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang. Mengekspresikan kasih sayang secara verbal dan non-verbal, memberikan perhatian yang seimbang kepada setiap anak, dan menciptakan momen-momen kebersamaan yang bermakna. Rohner et al. (2012: 1068) dalam Personality and Social Psychology Review menunjukkan bahwa penerimaan dan kasih sayang orang tua berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis anak.
Ketiga, mengembangkan komunikasi efektif. Menerapkan pola komunikasi dua arah, aktif mendengarkan, dan memberikan respons yang empati terhadap anak. Membuka ruang dialog untuk membahas berbagai isu, termasuk hal-hal yang sensitif atau kontroversial. Seto Mulyadi dalam bukunya Membangun Komunikasi Bijak Orang tua dan Anak menekankan, “komunikasi efektif antara orang tua dan anak adalah kunci untuk membangun hubungan yang harmonis dan membentuk karakter anak” (Mulyadi, 2007: 53).
Keempat, mengajarkan resiliensi dan manajemen emosi. Membantu anak menghadapi tantangan dan kegagalan dengan sikap positif, mengajarkan teknik manajemen stres, dan memberikan dukungan emosional yang konsisten. Masten (2014: 6) dalam Annual Review of Psychology menunjukkan bahwa resiliensi dapat dilatih dan memiliki dampak signifikan terhadap kesuksesan anak di masa depan.
Kelima, mempraktikkan pemaafan dan resolusi konflik. Mengajarkan anak untuk memaafkan dan mencari solusi damai dalam setiap konflik. Orang tua juga perlu menjadi teladan dalam hal ini dengan meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Fincham et al. (2016: 32) dalam Journal of Family Theory & Review mengungkapkan bahwa pemaafan dalam keluarga dapat meningkatkan kualitas hubungan dan kesejahteraan psikologis anggota keluarga.
Catatan Akhir
Islamic parenting ala Nabi Ya’qub menawarkan pendekatan holistik dalam membentuk generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang tinggi. Prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Nabi Ya’qub, seperti kasih sayang yang seimbang, pendidikan spiritual yang konsisten, komunikasi terbuka, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan kemampuan untuk memaafkan, sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks pengasuhan anak di era modern.
Dengan mengimplementasikan strategi-strategi yang didasarkan pada keteladanan Nabi Ya’qub dan didukung oleh penelitian-penelitian kontemporer, orang tua Muslim dapat membekali anak-anak mereka dengan karakter yang kuat, resiliensi emosional, dan fondasi spiritual yang kokoh. Hal ini akan mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan kompleks di abad 21 tanpa kehilangan identitas dan nilai-nilai keislaman mereka.
Penting untuk diingat bahwa setiap anak adalah unik dan memerlukan pendekatan yang personal. Oleh karena itu, orang tua perlu terus belajar, beradaptasi, dan yang terpenting, selalu menyandarkan diri kepada Allah Swt. dalam proses mendidik anak-anak mereka. Dengan demikian, cita-cita untuk membentuk generasi Muslim yang unggul, berakhlak mulia, dan siap menjadi pemimpin di masa depan dapat terwujud dengan optimal.
Daftar Pustaka
Badan Narkotika Nasional (BNN). (2019). Laporan Tahunan 2023.
Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Enright, R. D., & Fitzgibbons, R. P. (2015). Forgiveness therapy: An empirical guide for resolving anger and restoring hope. Washington, DC: American Psychological Association.
Fathiyaturrahmah. (2018). Komunikasi Efektif dalam Keluarga. Jurnal Pendidikan Islam, 7(2), 71-84.
Fincham, F. D., Hall, J. H., & Beach, S. R. H. (2016). Forgiveness in marriage: Current status and future directions. Journal of Family Theory & Review, 8(1), 25-38.
Jalaluddin. (2012). Psikologi Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Kementerian Agama RI. (2010). Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). (2021). Laporan Kinerja 2020.
Masten, A. S. (2014). Global perspectives on resilience in children and youth. Child Development, 85(1), 6-20.
Mulyadi, S. (2007). Membangun Komunikasi Bijak Orang tua dan Anak. Jakarta: Kompas.
Muri’ah, S. (2011). Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karier. Semarang: RaSAIL Media Group.
Rohner, R. P., Khaleque, A., & Cournoyer, D. E. (2012). Introduction to parental acceptance-rejection theory, methods, evidence, and implications. Journal of Family Theory & Review, 4(2), 1-35.
Shihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.