Di era globalisasi dan perubahan sosial yang pesat, struktur keluarga tradisional mengalami transformasi signifikan. Salah satu fenomena yang semakin marak adalah meningkatnya jumlah keluarga fatherless, baik karena perceraian, kematian, atau pilihan hidup. Fenomena ini tidak hanya menantang norma sosial yang ada, tetapi juga memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang interpretasi ajaran agama, khususnya dalam konteks pemahaman gender dalam Islam.
Rekonstruksi pemahaman gender dalam konteks keluarga fatherless bukan hanya menjadi kebutuhan sosial, tetapi juga merupakan imperatif teologis. Sebagai agama yang raẖmatan lil ‘âlamȋn. Islam dituntut untuk memberikan jawaban dan solusi atas permasalahan kontemporer ini. Pendekatan tafsir maqasid Al-Qur’an menawarkan kerangka yang dinamis dan kontekstual untuk mereinterpretasi konsep-konsep gender yang selama ini dianggap kaku dan tidak responsif terhadap perubahan sosial.
Konsep Keluarga Fatherless dalam Konteks Sosial-Religius
Keluarga fatherless bukanlah fenomena monolitik. Ia mencakup berbagai situasi, mulai dari janda akibat perceraian atau kematian suami, hingga ibu tunggal yang memilih membesarkan anak sendiri, atau bahkan keluarga di mana ayah absen secara emosional meski hadir secara fisik. Dalam konteks Islam, fenomena tersebut menantang konsep qiwâmah (kepemimpinan laki-laki dalam keluarga) yang sering dipahami secara sempit dan kaku.
Studi-studi psikologi menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga fatherless menghadapi tantangan dalam pembentukan identitas gender dan konsep diri. Namun, bahwa dengan dukungan yang tepat dan lingkungan yang mendukung, anak-anak ini dapat tumbuh menjadi individu yang sehat secara psikologis dan sosial (McLanahan, 1994: 45). Ini menunjukkan bahwa struktur keluarga bukanlah penentu tunggal kesejahteraan anak, melainkan kualitas pengasuhan dan dukungan sosial yang lebih berperan penting.
Tafsir Maqasid Al-Qur’an: Sebuah Pendekatan Kontemporer
Tafsir maqasid, yang berakar pada pemikiran Imam Al-Shatibi pada abad ke-14, telah berkembang menjadi metodologi yang sophisticated dalam memahami dan mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an. Pendekatan ini berfokus pada tujuan-tujuan utama (maqasid) syariah, yang meliputi perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (Al-Shatibi, 1997: 17-25).
Jasser Auda, seorang sarjana kontemporer, telah memperluas aplikasi maqasid dengan mengusulkan pendekatan sistem. Dalam pandangannya, tujuan-tujuan syariah dipandang sebagai sistem yang saling terkait dan tidak hierarkis (Auda, 2008: 51). Ini membuka ruang untuk memahami ajaran Islam secara lebih holistik dan kontekstual.
Dalam konteks gender dan keluarga, pendekatan maqasid memungkinkan untuk melihat beyond struktur keluarga tradisional dan fokus pada esensi keluarga sebagai unit yang menjamin kesejahteraan anggotanya. Hal ini membuka ruang untuk memahami peran-peran dalam keluarga secara lebih fleksibel, tanpa terikat pada stereotip gender yang kaku.
Konsep Gender dalam Al-Qur’an: Tinjauan Tafsir Klasik dan Kontemporer
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan gender, seperti QS. An-Nisa [4]: 34 tentang qiwâmah, telah lama menjadi fokus perdebatan. Tafsir klasik seperti Ibn Katsir cenderung menafsirkannya sebagai justifikasi superioritas laki-laki. Namun, pemikir kontemporer seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Khaled Abou El Fadl menawarkan pembacaan yang berbeda.
Wadud, misalnya, menganalisis kata “qawwâmûn” dalam konteks sosio-ekonomi zaman Nabi, bukan sebagai prinsip universal yang berlaku sepanjang masa (Wadud, 1999: 71). Ia berpendapat bahwa ayat tersebut lebih merupakan deskripsi realitas sosial saat itu daripada preskripsi normatif untuk semua waktu.
Barlas, lebih jauh mengargumentasikan bahwa Al-Qur’an secara keseluruhan mempromosikan kesetaraan spiritual dan moral antara laki-laki dan perempuan (Barlas, 2002: 129). Ia menekankan pentingnya membaca Al-Qur’an secara holistik, tidak terpaku pada ayat-ayat tertentu yang diambil secara terisolasi.
Rekonstruksi Pemahaman Gender melalui Tafsir Maqasid
Melalui lensa maqasid, konsep qiwamah dapat dipahami ulang sebagai tanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan keluarga, bukan sebagai hak prerogatif laki-laki. Dalam keluarga fatherless, prinsip ini dapat diterapkan dengan memandang ibu atau anggota keluarga lain yang mengambil peran tersebut sebagai qawwâm (Abu-Zayd, 2006: 80).
Prinsip keadilan (al-‘adl) dalam maqasid juga menuntut untuk mempertimbangkan konteks sosial-ekonomi kontemporer. Misalnya, dalam masyarakat di mana perempuan memiliki akses pendidikan dan pekerjaan yang setara, pembagian peran dalam keluarga seharusnya lebih didasarkan pada kemampuan dan kesepakatan, bukan semata-mata pada gender (Mir-Hosseini, 2015: 30).
Lebih jauh lagi, pemahaman maqasid tentang perlindungan keturunan (hifzh al-nasl) dapat diperluas tidak hanya dalam konteks biologis, tetapi juga mencakup perlindungan terhadap kesejahteraan psikologis dan sosial anak-anak. Ini membuka ruang untuk mengakui dan mendukung berbagai bentuk struktur keluarga, termasuk keluarga fatherless, selama mereka dapat menjamin kesejahteraan anggotanya.
Aplikasi Tafsir Maqasid dalam Keluarga Fatherless
Dalam kerangka maqasid, perlindungan terhadap agama (hifzh al-dȋn) dalam konteks keluarga fatherless dapat diwujudkan melalui pendidikan agama yang komprehensif, tidak terbatas pada figur ayah. Ini bisa dicapai melalui keterlibatan komunitas dan lembaga pendidikan Islam (Bano & Kalmbach, 2012: 105).
Perlindungan terhadap jiwa dan akal (hifzh al-nafs wa al-‘aql) menekankan pentingnya dukungan psikologis dan pendidikan yang memadai. Program-program mentoring, beasiswa, dan konseling dapat menjadi manifestasi dari prinsip ini (Badri, 2000: 76). Misalnya, program “big brother” berbasis masjid dapat memberikan figur panutan laki-laki bagi anak-anak dari keluarga fatherless, sambil tetap memperkuat peran ibu sebagai pengasuh utama.
Perlindungan terhadap harta (hifzh al-mâl) dalam konteks ini dapat diterjemahkan menjadi program-program pemberdayaan ekonomi bagi ibu tunggal. Ini bisa berupa pelatihan keterampilan, akses ke modal usaha, atau kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan pengasuhan anak.
Tantangan dan Solusi dalam Rekonstruksi Pemahaman Gender
Resistensi terhadap reinterpretasi ini sering berakar pada kekhawatiran akan erosi nilai-nilai tradisional. Diperlukan pendekatan yang sensitif dan dialogis untuk menjembatani pemahaman tradisional dan kontemporer. Ulama progresif seperti Khaled Abou El Fadl telah menunjukkan bahwa ijtihad kontemporer tidak bertentangan dengan tradisi Islam, melainkan kelanjutan dari tradisi intelektual yang kaya (Abou El Fadl, 2014: 201).
Tantangan lain adalah mentransformasikan pemahaman teoretis menjadi kebijakan praktis. Ini memerlukan kolaborasi antara sarjana Islam, pembuat kebijakan, dan praktisi sosial. Reformasi hukum keluarga Islam di beberapa negara Muslim dapat menjadi langkah awal yang penting.
Konklusi
Rekonstruksi pemahaman gender melalui tafsir maqasid Al-Qur’an membuka jalan bagi interpretasi Islam yang lebih responsif terhadap realitas kontemporer. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk tetap setia pada prinsip-prinsip Al-Qur’an sambil merespon secara kreatif terhadap tantangan modern, termasuk fenomena keluarga fatherless (Rahman, 1982: 19). Dengan memahami maqasid syariah sebagai panduan dinamis, bukan prinsip-prinsip kaku, kita dapat menjembatani kesenjangan antara idealisme Islam dan realitas sosial yang kompleks.
Ini bukan hanya tentang mengakomodasi perubahan, tetapi juga tentang menegaskan relevansi abadi ajaran Islam dalam menghadapi tantangan kontemporer. Akhirnya, rekonstruksi pemahaman gender ini bukan sekadar exercise intelektual, tetapi langkah konkret menuju masyarakat yang lebih adil dan inklusif. Ini adalah manifestasi dari prinsip Islam sebagai raẖmatan lil ‘âlamȋn, yang memberikan rahmat dan solusi bagi seluruh umat manusia, terlepas dari struktur keluarga atau kondisi sosial mereka.
Daftar Pustaka
Abou El Fadl, Khaled. Reasoning with God: Reclaiming Shari’ah in the Modern Age. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield, 2014.
Abu-Zayd, Nasr Hamid. Reformation of Islamic Thought: A Critical Historical Analysis. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2006.
Al-Shatibi, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Al-Muwafaqat fi Usul al-Shari’ah. Saudi Arabia: Dar Ibn Affan, 1997.
Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 2008.
Badri, Malik. Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study. Virginia: International Institute of Islamic Thought, 2000.
Bano, Masooda & Kalmbach, Hilary. Women, Leadership, and Mosques: Changes in Contemporary Islamic Authority. Leiden: Brill, 2012.
Barlas, Asma. Believing Women” in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin, Texas: University of Texas Press, 2002.
McLanahan, Sara & Sandefur, Gary. Growing Up with a Single Parent: What Hurts, What Helps. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. 1994
Mir-Hosseini, Ziba. Men in Charge? Rethinking Authority in Muslim Legal Tradition. London: Oneworld Publications, 2015.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999.