Eksponen Perempuan dalam Dunia Penafsiran: Studi atas Tafsir Ummul Mu’minîn, ‘Aisyah r.a.

Pasca wafatnya Rasulullah, penafsiran Al-Qur’an secara otomatis dilanjutkan oleh para sahabat nabi, dengan cara yang tidak jauh berbeda dari penafsiran pada masa ketika Rasulullah masih hidup. Para sahabat yang masyhur terlibat aktif dalam aktivitas penafsiran adalah khulafâ’ ar-râsyidȋn, Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubay Ibn Ka’ab, dan Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibn Zubaar, Anas Ibn Malik, Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Jabir Ibn Abdullah, dan ‘Aisyah. (adz-Dzahabi, 2005: 49) Dari beberapa nama sahabat ini, yang kesemuanya adalah laki-laki, ’Aisyah adalah di antara sahabat perempuan yang memiliki peran sejajar dalam aktivitas penafsiran Al-Qur’an dengan para sahabat laki-laki tersebut.

‘Aisyah merupakan representasi sahabat Perempuan yang memiliki andil besar dalam aktivitas intelektual pada masa sahabat, baik dalam bidang Al-Qur’an, hadis, maupun fikih. ‘Urwah bin Zubair misalnya menegaskan bahwa pada masa itu dia tidak melihat seorangpun yang kemampuan memahami Al-Qur’annya lebih baik daripada ‘Aisyah. Sahabat lain, Atha’ bin Abi Rabah juga berpendapat bahwa ‘Aisyah merupakan sosok Perempuan yang ahli dalam bidang fikih (Abu Sa’ud Badr, 1996: 78). Kemudian Ibn Jauzi, yang mengatakan bahwa ‘Aisyah merupakan salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, berdasarkan perhitungannya kurang lebih 2200-an hadis. (Ibnu Jauzi, 1997: 184)

Bacaan Lainnya

Karakteristik dan Prinsip Penafsiran ‘Aisyah

Pada dasarnya, ‘Aisyah tidaklah menulis tafsir dalam suatu kitab yang khusus dan spesifik, seperti at-Thabari yang menulis Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, atau Ibn Katsir yang menulis Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhim. Sebab, pada masa sahabat, tafsir masih menjadi bagian dari hadis. Dan riwayat-riwayat penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat baru terkodifikasi pada masa Daulah Umayyah, di era kekhalifahan Umar Ibn ‘Abd al-Aziz (Aristo Sadewa, 2021: 272).

Meskipun demikian, keseluruhan bentuk pemikiran dan upaya yang dilakukan oleh ‘Aisyah, yang bisa ditelusuri dalam beberapa riwayat maupun khabar, semuanya bertujuan untuk memahami Al-Qur’an. Sehingga, hasil dari aktivitas yang dilakukan ‘Aisyah tersebut masuk ke dalam kategori ‘tafsir’. Selaras dengan definisi tafsir yang dikemukakan oleh ‘Iffat Muhammad as-Syarqawi, bahwa tafsir merupakan setiap bentuk pemikiran dan upaya seseorang yang dilakukan dengan tujuan untuk memahami makna Al-Qur’an (‘Iffat Muhammad as-Syarqawi, 1972: 81-82).

Pada tahun 1981 M, Abdullah Abu as-Sa’ud Badr, mahasiswa doktoral di fakultas Adab (sastra) Universitas Kairo, mengkompilasi dan meneliti khabar serta riwayat dari ‘Aisyah yang memuat pemikirannya dalam bidang hadis maupun fikih yang berkaitan dengan penafsiran Al-Qur’an, dalam bentuk disertasi yang berjudul Tafsîr as-Sayyidah ‘Âisyah Ummul Mu’minîn. Abdullah menggali kegiatan ‘Aisyah dalam beragam bidang, mulai dari aktivitas intelektualnya yang berhubungan dengan tujuan menafsirkan Al-Qur’an, periwayatan hadis, ijtihad dalam ranah fikuh, ataupun posisi ‘Aisyah sebagai ummul mu’minîn (Abu Sa’ud Badr, 1997: 38). Risalah inilah yang penulis jadikan pijakan dalam mengkaji penafsiran ‘Aisyah.

Kekhasan dalam penafsiran ‘Aisyah adalah corak fiqhi nya yang kental. Hal ini menjadi wajar, sebab geliat penafsiran yang dilakukan oleh generasi pertama umat Islam (sahabat), pada mulanya dilakukan atas dasar untuk menjawab beragam problematika yang dialami oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, menjadi lazim jika aktivitas penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat, termasuk ‘Aisyah, memunculkan tafsir-tafsir yang bercorak fiqhi. Corak ini juga turut mewarnai atmosfer pengajaran yang dilakukan oleh para sahabat di madrasah-madrasah tafsir (As-Suyuthi, 1972: 233).

Kapabilitas ‘Aisyah dalam memahami ajaran Islam, membuatnya disegani oleh para sahabat dan kerap didatangi mereka yang ingin menanyakan hal-hal yang bersifat praksis, serta ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perempuan. Misalnya’Abdullah Ibn Umar yang menanyakan tentang perkara apa saja yang dihalalkan bagi seorang suami ketika istrinya sedang haid, Syuraih Ibn Hani’ yang menanyakan tentang kebolehan seorang istri yang sedang haid makan Bersama suaminya, Abu Musa al-Asy’ari yang menanyakan tentang perkara yang mewajibkan seseorang untuk mandi besar (Abu Sa’ud Badr, 1997: 79).

Pertanyaan-pertanyaan dari para sahabat tersebut, oleh ‘Aisyah direspon dengan menjelaskan pemahamannya terhadap ayat Al-Qur’an yang dibangun atas prinsip-prinsip berikut. Sunnah Nabi, asbabun nuzul, aspek linguistik (kebahasaan) serta balaghah, dan terakhir adalah ijtihad pribadinya (bi al-ra’yi) yang berlandaskan pada rasio yang bersesuaian dengan nash, qirâat (ragam baca Al-Qur’an), nâsikh-mansûkh, dan muhkam-mutasyâbih (Abu Sa’ud Badr, 1997: 82)

Penafsiran Q.S. Al-Baqarah (2)/222: Seputar Permasalahan Perempuan yang Sedang Menstruasi

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ  قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

Dalam beberapa penafsirannya mengenai perempuan yang sedang menstruasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya, ‘Aisyah menegaskan beberapa hal berikut. Perempuan, dalam konteks ini adalah istri, yang sedang menstruasi tidak boleh digauli. Namun jika suaminya menghendaki untuk bercumbu dengan sang istri, maka diperbolehkan hanya di tubuh bagian atas, selain bagian intimnya. Hal ini sesuai dengan apa yang praktikkan oleh Rasulullah ketika ‘Aisyah sedang menstruasi. Ketentuan tersebut juga berlaku pada perempuan mustahâdhah. (Abdullah Abu Sa’ud Badr, 1997: 145).

Selanjutnya, perempuan yang sedang menstruasi harus diperlakukan selayaknya, tidak perlu dijauhi bahkan diasingkan. ‘Aisyah mencontohkan bagaimana Rasulullah memperlakukannya ketika sedang menstruasi. Rasulullah tetap mengajaknya makan, minum, dan melakukan aktivitas yang diperbolehkan bersama. Kemudian dalam hal ‘ubûdiyah, mereka tercegah untuk melakukan sholat ataupun puasa hingga suci dari menstruasinya, dan ketika datang menstruasi pada waktu berpuasa, maka tidak perlu men-qadha’ shalatnya, cukup dengan mengganti puasa di hari yang mereka tidak berpuasa (Abdullah Abu Sa’ud Badr, 1997: 151).

Penafsiran Ayat-ayat Seputar Perlindungan Harta Anak Yatim

Q.S. An-Nisa’ (4)/3

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ “…

Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat..”

Berdasarkan penafsiran ‘Aisyah, ayat ini berkaitan dengan harta anak yatim yang berada di bawah pengasuhan walinya tercampur dengan harta sang wali. Wali tersebut hendak menikahinya sebab kecantikan parasnya dan keberlimpahan hartanya. Namun, wali tersebut abai akan hak mahar untuk sang anak yatim. Sehingga turunlah pelarangan untuk menikahi anak yatim yang hartanya berada dalam penguasaan sang wali, kecuali dengan memberikan mahar yang pantas. Jika tidak, maka mereka dianjurkan untuk menikah dengan perempuan selain anak yatim tersebut (Abdullah Abu Sa’ud Badr, 1997: 160).

Q.S. An-Nisa’ (4)/12

…..”وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ “….

“…Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik…”

Ayat ini masih berkaitan dengan penguasaan harta anak yatim yang dipelihara oleh walinya.  Menurut ‘Aisyah, seorang wali yang mengasuh atau memelihara anak yatim, maka dia boleh menggunakan harta tersebut, dengan syarat jika ada keperluan dan dipergunakan secara wajar, tidak dikuasai seluruhnya hingga mengabaikan hak-hak kepemilikan anak yatim tersebut. Sebagaimana yang banyak dipraktikkan oleh masyarakat Arab pada waktu itu (Abdullah Abu Sa’ud Badr, 1997: 162).

Q.S. An-Nisa’ (4)/127

وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاۤءِۗ  قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْهِنَّ ۙوَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ ….

Mereka meminta fatwa kepada engkau (Nabi Muhammad) tentang perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kamu ingin menikahi mereka…”

Menurut ‘Aisyah, Ayat ini masih berkaitan dengan perempuan yatim yang berada di bawah lindungan walinya, dan hartanya bercampur dengan harta walinya. Wali tersebut tidak mau menikahi perempuan yatim itu, dan tidak rela jika perempuan itu dinikahi oleh laki-laki lainnya, sebab takut hartanya akan beralih kepada calon suaminya (Abdullah Abu Sa’ud Badr, 1997: 166). Tentunya kondisi semacam ini menghilangkan hak perempuan yatim, baik dari segi kepemilikan harta, ataupun hak untuk memilih pasangan hidup. ‘Aisyah secara tegas menolak praktik-praktik tersebut yang masih membudaya di kalangan masyarakat Arab. Dan mengingatkan kepada mereka pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an tentang bagaimana cara mengelola harta anak yatim yang seharusnya.

Refleksi

Berdasarkan pembacaan penulis, penafsiran ‘Aisyah dalam Q.S. Al-Baqarah (2)/222, merupakan penegasan untuk mengembalikan hak-hak perempuan baik dalam ranah reproduksinya maupun sosial yang senada dengan pesan dari ayat tersebut. Penafsiran ‘Aisyah terkait ketentuan hukum seputar perempuan yang sedang mengalami menstruasi ini juga digunakan hujjah oleh para fuqahâ’ dalam menetapkan hukum fikih.

Selanjutnya, dalam Q.S. An-Nisa’ (4)/3, yang oleh sebagian mufassir dijadikan dalil sebagai kebolehan melakukan praktik poligami (poligini), penulis tidak menemukan penekanan tersebut di dalamnya. Justru, ‘Aisyah menegaskan kembali pesan sebenarnya yang ingin disampaikan dalam ayat ini bahwa wali tidak boleh semena-mena dalam urusan pengaturan harta perempuan yatim. Jika ingin menikahinya maka harus tetap diberi mahar yang layak. Karena dalam pernikahan, mahar adalah hak untuk perempuan. Pada ayat yang lain, ‘Aisyah juga menegaskan bahwa perempuan yatim berhak untuk memilih pasangan hidupnya, wali cukup menjadi pelindung, tidak untuk mengatur seluruh kehidupannya.

 

Daftar Literatur

adz-Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dar al-Hadis. 2005.

as-Suyuthi. Jalaluddin. al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyyah. 1975.

as-Syarqawi, ‘Iffat Muhammad. Ittijâhatut Tafsîr fî Mishra fî al-‘Ashri al-Hadîts. Kairo: Mathba’ah al-Kaylani. 1972.

Badr, Abdullah Abu Sa’ud. Tafsîr al-Sayyidah ‘Âisyah Ummul Mu’minîn. Kairo: Dar ‘Alam al-Kutub. 1996.

Ibnu Jauzi, Abdurrahman. Talqîh Fuhûm Ahl al-Atsar. Beirut: Dar al-Arqam. 1997.

Sadewa, Mohammad Aristo. “Penafsiran Masa Sahabat: Di antara Perbedaan Pemahaman dan Perpecahan umat”. Jurnal Al-Dzikra, Vol. 15. No. 2. 202.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *