Tafakkur dalam Perspektif Al-Qur’an dan Filsafat: Analisis Komparatif

Berpikir merupakan hal yang paling esensial dalam studi filsafat. Orang yang berfilsafat bisa dikatakan ialah orang yang memaksimalkan potensi berpikir. Namun sebaliknya orang yang berpikir belum tentu dikatakan berfilsafat. Hal tersebut dikarenakan bahwa berpikir dalam filsafat berarti berpikir yang memiliki makna, tujuan, serta manfaat sehingga dapat direalisasikan (Aulia, 2015: 87).

Befikir dalam filsafat memiliki kriteria-kriteria tertentu mulai dari membahas segala sesuatu, dilakukan secara runtut dan rasional, radikal (mendasar), dan kritis terhadap apa yang menjadi objek pikiran (FR: 2024: 21-28). Hal inilah yang menjadikan kegiatan berpikir dalam filsafat mesti dilakukan secara mendalam dengan mempertimbangkan aspek logika, etika, dan estetika.

Bacaan Lainnya

Sebagaimana penulis sampaikan pada artikel sebelumnya bahwa, menurut Imaduddin Fadlurrahman menolak filsafat sama dengan menolak Al-Qur’an secara tidak langsung. Statemen ini ia dasari pada statemen sebelumnya yang menyatakan bahwa kata lain dari filsafat ialah hikmah atau hakikat. Dan hakikat atau al-ẖikmah merupakan nama lain daripada Al-Qur’an. selain itu, Al-Qur’an tidak hanya sekali menyinggung umat manusia agar ber-tafakkur memaksimalkan potensi berpikirnya, untuk mengkaji dinamika kehidupan secara mendalam tanpa paksaan dogma, seimbang berdialog secara logis, estis, dan estetis yang mana hal ini merupakan pokok kegiatan filsafat sejatinya (FR: 2024: 30-31).

Oleh karena itu, apakah pesan untuk ber-tafakkur dalam Al-Qur’an selaras dengan proses berpikir yang dikehendaki dalam filsafat sehingga kemudian dapat ditarik benang merah antara keduanya? Artikel ini hendak mengkaji secara komparatif makna ber-tafakkur, berpikir dalam ajaran Al-Qur’an dan studi Filsafat secara deskriptif.

Perlu ditekankan bahwa berfilsafat hanyalah sebuah istilah yang pemakaiannya pertama kali diperkenalkan oleh Herodotus (484-424 SM.) (Fullerton, 2023: 2). Namun, yang hendak dicapai dari istilah tersebut sejatinya ialah aktivitas berpikir, upaya memahami, dengan mempertanyakan segala hal. Saat akal dan pikiran manusia berfungsi saat itulah aktivitas kefilsafatan dimulai (Faiz, 2023: 49).

Berpikir dalam Perspektif Filsafat

Adalah benar apabila setiap aktivitas berpikir belum tentu dikatakan berfilsafat. Pasalnya suatu kerangka berpikir harus memiliki ciri-ciri dan karakteristik tersendiri agar kemudian bisa disejajarkan dengan istilah berfilsafat. Seseorang tidak akan mampu membedakan antara pola pikir para filsuf dengan yang bukan terkecuali mereka memahami betul karakteristik dan ciri-ciri berpikir tersebut (Sumarna, 2020: 12-14).

Adapun konsep berpikir dalam filsafat terbilang beragam, para ahli memiliki perspektif tersendiri dalam membagi ciri-ciri dan karakteristik tersebut. Beberapa di antaranya dideskripsikan sebagai berikut:

Pertama, Radikal. Makna yang hendak dicapai pada kata radikal di sini ialah mendasar. Dalam berfilsafat seseorang harus terus berpikir hingga ke akar permasalahannya. Apabila akarnya kuat maka akan memiliki pendirian yang kokoh (FR, 2024: 25). Menurut Endri Boereswati, berpikir mendasar harus dilakukan secara sistematis, bukan sekedar pada pemahaman praksis saja melainkan juga teknisnya serta metodologi yang mengantarkan pada filsafat itu sendiri yang menjadi inti (Boeriswati and Arung, 2018: 12). Secara garis besar berpikir radikal bisa dikatakan sebagai karakteristik utama dalam berfilsafat (Rewita, 2022: 758).

Kedua, Sistematis. Seorang filsuf haruslah berpikir secara sistematis, maksudnya ialah mampu mengaitkan satu perkara dengan perkara lain yang secara bahasa memang itulah maksudnya (Sumarna, 2020: 17). Hal ini memungkinkan kita untuk berpikir secara jernih tidak egois melihat segala sesuatu serta kemungkinannya secara luas, dan runtut sebagaimana sistematis tadi, satu aspek hendaknya memiliki keterkaitan dan pertalian terhadap aspek lain (FR, 2024: 23).

Ketiga, Universal. Maksudnya ialah berpikir menyeluruh (Sumarna, 2020: 20). Objek berpikir manusia mencakup segala sesuatu yang dapat diketahuinya, meliputi yang ada dan yang akan ada, serta tidak terbatas pada yang itu-itu saja. Melihat segala sesuatu dibalik material yang empiris, yaitu dengan menilik bagian yang abstrak dari padanya (FR, 2024: 22). Hal yang demikian akan membawa seseorang bertransformasi dari penjelasan ke pertanyaan guna membuka wawasan baru yang lebih luas untuk melihat kompleksitas kehidupan di area sekitar (Boeriswati and Arung, 2018: 16).

Keempat, Spekulatif. Sebagian besar orang percaya bahwa filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan. Perlu ditekankan bahwa hal ini merupakan pencapaian yang semula diawali dari pemikiran spekulatif (Boeriswati and Arung, 2018: 12). Berpikir spekulatif artinya memiliki kesanggupan untuk menduga sesuatu yang mendasari suatu fenomena (Sumarna, 2020: 23). Seperti Thales yang memiliki dugaan bahwa air adalah awal mula dari segala sesuatu menjadi ada (Fullerton, 2023: 23). Dari spekulatif tersebut jadilah postulatif, merupakan sebuah pemikiran dasar pengetahuan berdasarkan analisis reflektif kritis yang dianggap benar. Pemikiran ini merupakan sebuah cara pandang yang tidak perlu diverifikasi secara empiris sehingga bisa diterima ataupun ditolak (Boeriswati and Arung 2018: 12-13). Menurut Imanuel Kant, pengetahuan yang bersumber dari pemikiran ini disebut sebagai apriori. (Kant: 2024: 1)

Kelima, Rasional. Sering dianggap ancaman karena mengesampingkan iman, pemikiran rasional justru akan menjadikan keimanan seseorang lebih kokoh dikarenakan memiliki dasar pemikiran yang logis dan masuk akal. Hasil dari pemikiran rasional merujuk pada sesuatu yang ada, menjadikannya sebagai suatu pengetahuan yang mempunyai nilai bagi kehidupan manusia (FR, 2024: 24). Berpikir rasional sendiri berarti berpikir sesuai dengan nalar dan masuk akal (Boeriswati and Arung, 2018: 17). Lebih dari itu berpikir rasional sejatinya ialah untuk memungkinkan seseorang mampu manarik suatu kesimpulan serta mengambil keputusan dari premis-premis yang digunakan (Rewita, 2022: 759).

Keenam, Kritis. Jika radikal ialah akar dari pemikiran filosofis, maka kritis ialah intinya. Karena dengan pemikiran kritislah seseorang akan mampu melihat suatu permasalahan hingga ke akar-akarnya (FR, 2024:27). Hal ini merupakan sebuah proses menentukan kebenaran serta ketepatan, yang mana konsep pemikirannya ialah mampu menilik dan memahami apa yang menjadi masalah akan sesuatu (Boeriswati and Arung, 2018: 13). Orang yang berpikir kritis akan senantiasa mempertanyakan jawaban dari berbagai aspek. Inilah seni kritik dalam filsafat, karena sejatinya filsafat ialah secara terus menerus mempertanyakan sesuatu yang sudah dianggap benar (FR, 2024: 27).

Meskipun tidak mewakili seluruhnya, paling tidak seminimal-minimalnya jika merujuk pada pendapat Cecep Sumarna bahwa, apabila seseorang telah menerapkan konsep pemikiran radikal, universal, sistematis, dan spekulatif, maka orang tersebut dianggap sudah mengikuti alur pemikiran filsafat (Sumarna, 2020: 25).

Berpikir dalam Perspektif Al-Qur’an: Analisis Q.S Ali Imran (3)/ 191

Salah satu hal yang Allah Swt. singgung dalam Al-Qur’an agar seseorang memaksimalkan potensi atas karunia yang telah diberikan kepada hambanya ialah ber-tafakkur. Al-Fikru berarti  pikiran, merupakan sebuah potensi yang mengantarkan manusia agar dapat memahami sesuatu. Menurut Al-Ashfahani, tafakkur berarti berpikir yang maknanya menggunakan potensi pikiran sesuai dengan pertimbangan akal (Al-Ashfahani, 2017: 85). Kendati demikian, term berpikir dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada lafadz fakara atau fakkara saja, lafadz lain yang mengisyaratkan berpikir diantaranya meliputi nadzara, ‘aqala, aẖlama, dan ûlil albab (Malkan, 2007: 359).

Menurut Fuad Abdul Baqi kata tafakkur disinggung sebanyak 18 kali dalam Al-Qur’an, dan disebutkan dalam 5 pola kata yang berbeda. di antaranya: (1) فَكَّرَ, disebutkan 1 kali, (2) تَتَفَكَّرُوْا, disebutkan 1 kali, (3) تَتَفَكَّرُوْنَ, disebutkan 3 kali, (4) يَتَفَكَّرُوْا, disebutkan 2 kali, (5) يَتَفَكَّرُوْنَ, disebutkan 11 kali. (Baqi, 1992: 667) Penulis kira tidak akan cukup membahas semua ayat tersebut dalam tulisan ini, oleh karenanya penulis hanya me-nukil satu ayat saja yakni Q.S Ali Imran (3)/ 191.

Dalam Q.S Ali Imran (3)/ 191, Allah Swt. membuat perumpamaan terhadap orang yang dalam segala posisinya memikirkan (tafakkur) tentang penciptaan langit dan bumi. Jelas dikatakan bahwa pemikiran filsafat harus-lah memiliki tujuan dan alasan serta apa hikmah yang dicapai dari pemikiran tersebut. Tidak ada batasan terkait bagaimana metode berpikirnya, besar kemungkinan Allah Swt. memberikan kesempatan kepada manusia agar memaksimalkan potensi tersebut.

Poinnya ialah, ketika orang Yunani berhenti mengaitkan seluruh fenomena yang ada di alam ialah sebab campur tangan para dewa (Mistis). Mereka mencari jawaban baru yang lebih ilmiah, beralih dari pemikiran metafisika menjadi fisika. Dan pada Q.S Ali Imran (3)/ 191 adalah kebalikannya, yakni dari apa yang disebut fenomena fisika terdapat persoalan metafisika yaitu campur tangan Tuhan.

Jika meninjau ayat di atas, cukup bisa dikatakan bahwa, kalimat: ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia…, merupakan jawaban atas orang yang berpemikiran filosofis. Sebelum jawaban itu terucap, pertanyaan yang besar kemungkinan akan terbesit dalam benak pikirannya terkait langit dan bumi sebagai objek pikiran universal pastinya ialah, mengapa dan untuk apa dunia ini diciptakan? Tentu untuk menemukan jawaban tersebut memerlukan pemikiran, pengamatan, dan perenungan yang teramat mendalam, serta pastinya menimbulkan cabang pertanyaan baru, sebelum sampai pada kesimpulan“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia…”.

Andaikan jawaban itu sudah didapat, maka spekulasi sebagai jawaban atas pemikiran ialah keyakinan (iman), bahwa tidak ada satupun di dunia ini mulai dari apa yang ada dalam diri manusia hingga alam semesta dan keteraturan di dalamnya tidak luput dari campur tangan Tuhan, bersumber darinya, dan akan kembali kepadanya. (Al-Bantani, 2017: 500-501) Dengan kata lain, hal ini juga menjadi bukti bahwa Allah Swt. sebagai zat yang wujûd adalah benar. Adapun pengakuan atas Allah bersifat wujûd merupakan etik yang sangat baik dari apa yang telah diamati sebagai estetik.

Mengapa untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang harus diuji dan diamati ialah ciptaannya? Karena itulah yang dikehendaki Tuhan sejatinya. (Ar-Razi, 2012: 132) Sebagaimana banyak agamawan pahami dan orang Islam yakini bahwa Tuhan (Allah Swt) ialah “…Rabb al-‘alamȋn” (Q.S Al-Fatihah [1]:2) pencipta/pemelihara alam semesta. Maka untuk membuktikannya ialah bukan apakah Tuhan benar-benar pencipta alam semesta, melainkan seberapa layak alam semesta diklaim sebagai ciptaan Tuhan. Mengapa demikian? karena jika langsung berpikir, merenungkan tentang zat Tuhan, realitas tidak dapat dibayangkan, akal manusia tidak akan sanggup memahaminya (Ar-Razi, 2012: 133). Maka untuk memahaminya ialah melalui apa yang nyata yakni alam semesta. Sebagaimana Tan Malaka katakan, bahwa berpikir tidak bisa langsung kepada objek yang teramat tinggi apalagi hal itu merupakan sesuatu yang abstrak (Tuhan), berpikir haruslah dimulai terhadap objek yang nyata (alam semesta) (Malaka, 2024: 76) dan inilah pemikiran rasionalnya.

Antara Tuhan dan ciptaan-Nya termasuk langit dan bumi memiliki relasi sistematis, karena Tuhan semesta ada, karena semesta ada, maka orang tahu bahwa penciptanya adalah Yang Maha Ada. (Al-Bantani, 2017: 501) Demikian ketidakmampuan manusia mengungkap kecemerlangan ini, maka alternatifnya ialah mengakui bahwa semua ini merupakan tanda atas kekuasaan yang maha agung sebenarnya (Ar-Razi, 2012: 134).

Serta firmannya: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia…, merupakan jawaban atas akar permasalahannya, serta kebijaksanaan yang sejatinya merupakan pemikiran filosofis, karena telah melewati perenungan dan telaah atas keingintahuan yang memunculkan visi untuk hidup yang lebih utuh (Faiz, 2023: 50-51).

Dapat disimpulkan bahwa, antara Al-Qur’an dan filsafat dalam mendefinisikan pemikiran yang baik pada dasarnya tidak bertentangan. Kendati demikian, keduanya tetap tidak dapat disejajarkan. Antara keduanya sama-sama memiliki ukuran yakni kebenaran. Dan kebenaran itu tidak serta-merta hadir kecuali untuk mengajarkan visi yang disebut kebijaksanaan.

Referensi

Al-Ashfahani, Ar-Raghib. 2017. Al-Mufradat Fi Ghoribil Qur’an. 1st ed. Pustaka Khazanah Fawa’id.

Al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2017. Tafsir Munir: Marah Labid. 2nd ed. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Ar-Razi, Fakhruddin. 2012. Tafsir Al-Kabir: Mafatihul Ghaib. Dar El-Hadist.

Aulia, Rihlah Nur. 2015. “Berpikir Filsafat; Sebagai Pembentukan Kerangka Berpikir Untuk Bertindak.” Jurnal Online Studi Al-Qur’an 11 (1): 81–89. https://doi.org/10.21009/jsq.011.06.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1992. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadzil Qur’an. 3rd ed. Darul Fikri.

Boeriswati, Endry, and Fernandes Arung. 2018. “Ruang Lingkup Filsafat.” Idik4006/Modul 1, no. 1: 1–54.

Faiz, Fakhruddin. 2023. Sebelum Filsafat. 8th ed. Yogyakarta: MJS Pess.

FR, Imaduddin. 2024. Filsafat Bagi Pemula. 1st ed. Yogyakarta: PT.Anak Hebat Nusantara.

Fullerton, George Stuart. 2023. Filsafat Sebuah Pengantar. 1st ed. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Kant, Imanuel. 2024. The Critique Of Pure Reason. 1st ed. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Malaka, Tan. 2024. MADILOG: Materialisme, Dialektika, Logika. 20th ed. Yogyakarta: Nurani.

Malkan. 2007. “Berpikir Dalam Perspektif Al-Quran Malkan Dosen Jurusan Tarbiyah Stain Datokarama Palu.” Jurnal Hunafa Vol.4, No. 4, Desember 2007: 353-372 4 (4): 354. https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2705884.

Rewita, Silvi. 2022. “Konsep Dan Karakteristik Filsafat.” Journal of Social Research 1 (4): 755–61. https://doi.org/10.55324/josr.v1i4.74.

Sumarna, Cecep. 2020. Filsafat Ilmu.Pdf. 1st ed. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *