Gagasan Perspektif Kedua: Tuhan sedang Berbicara dengan Kita (Part 2)

Bagi teman-teman yang belum baca part 1, silakan diakses di sini untuk keutuhan bacaan. Di part 1, saya sudah mengulas problematika perspektif ketiga. Dalam part 2 ini, saya akan mengurai gagasan perspekif kedua. Bagi Husni Muadz, gagasan perspektif kedua mengasumsikan Al-Qur`an sebagai subyek yang langsung berkomunikasi dan berinteraksi dengan pembaca teks Al-Qur’an. Kenapa hal ini dimungkinkan? Karena bahasa dalam konteks ini tidak dianggap hanya sebagai medium penyampai informasi, namun juga dimaknai sebagai tindakan: berbahasa sama artinya dengan bertindak.

Ini adalah hal yang cukup mengejutkan saya, yakni paradigma bahasa yang digunakan Husni (hal. 38). Ini sekaligus menjadi kunci dari gagasan yang sedang ia tawarkan. Saya langsung paham maksudnya.

Bacaan Lainnya

Tesis bahasa sebagai Tindakan, dalam penelusuran saya, pertama kali disampaikan oleh Austin dalam karyanya yang terbit tahun 1962. Ia lahir sebagai kritik bahasa yang dianggap sebagai katalis penggambaran dunia saja (J. L. Austin, 1962, hal. 1). Berikut ini adalah contoh bahasa sebagai tindakan: mendeklarasikan perang, mengawinkan anak, membuka/menutup rapat, membuat janji, meminta orang untuk melakukan sesuatu, dan lain sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, Husni memberikan analogi yang sederhana. Ada peminta sedekah di pinggir jalan yang menegadahkan tangannya ke setiap orang yang melintas. Dia tidak mengatakan apapun kecuali menengadahkan tangannya. Aktivitas menengadahkan tangan merupakan sebuah “tindakan” (hal. 39).

Adapun tindakan selalu terdiri dari dua komponen. Pertama adalah komponen mental. Kedua, komponen fisik. Komponen mental berkaitan dengan niat atau motif, lalu komponen fisik berkaitan dengan gerakan menengadahkan tangan (dalam konteks ini). Komponen niat menjadi penyebab dari komponen menengadahkan tangan. Ketiadaan salah satu komponen menyebabkan tidak sahnya disebut dengan tindakan.

Deskripsi di atas mengingatkan saya kepada definisi kalam dalam Ilmu Nahwu. Kalam bagi Ilmu Nahwu adalah lafaz yang tersusun yang memiliki makna dan ada niat di dalamnya (Ahmad Zaini Dahlan, 2014, hal. 14). Ulama Nahwu sepertinya memandang bahasa sebagai tindakan karena mensyaratkan kesengajaan atau niat. Bagi mereka, ucapan orang tidur atau gila tidak termasuk dalam kalam. Barangkali ulama memandang bahasa selalu sebagai tindakan.

Dalam kaitan itu, Al-Qur`an merupakan bahasa Tuhan yang ditranskripsi dan dipandang sebagai speech act/tindakan Tuhan kepada manusia. Lebih lanjut, dengannya akan tercipta relasi subyek-subyek atau Husni menyebutnya sebagai relasi trans-subyektif karena melibatkan Tuhan. Jika sesama manusia disebut inter-subyektif. Pandangan ini akan membantu pembaca mengubah pandangannya bahwa Al-Qur`an bukan lagi sekedar berdimensi kognitif/informasi, namun dimensi komunikatif lainnya seperti direktif (mengarahkan pembaca untuk melakukan sesuatu), komisif (janji akan melakukan sesuatu), ekspresif, dan lain sebagainya. Walhasil, Al-Qur`an dalam perspektif kedua mengarahkan pembaca supaya sesuai dengan apa yang diharapkan lawan bicaranya, yakni Tuhan (hal. 45).

Berangkat dari pandangan-pandangan di atas, maka teori yang paling pas dalam menguatkan pandangan-pandangan mendasar itu adalah teori pragmatika (hal. 42). Teori ini adalah teori yang mengkaji fenomena kebahasaan dalam konteks penggunaannya. Secara khusus, ia mengkaji makna dari konteks bahasa tertentu. Supaya lebih mudah dipahami, misal saya mengatakan kepada anda bahwa saya akan datang ke rumah anda malam ini. Kalimat tersebut bisa bermakna banyak, seperti janji dan bisa merupakan ancaman (seperti tukang penagih utang yang belum dibayar). Untuk mengetahui konteks penggunaan suatu kalimat, dikaji dengan teori pragmatika.

Berikut ini adalah poin penting menyangkut teori pragmatika sekaligus mengaitkan dengan apa yang sedang saya bicarakan. Di antaranya adalah origo (hal. 51). Secara sederhana, origo dapat diartikan kesatuan antara fisik, ruang, dan waktu. Origo mudah diidentifikasi apabila anda adalah orang kedua (perspektif kedua atau lawan bicara). Misal saya bilang kepada anda “Heri datang dari Lombok tadi malam.” Meskipun tidak dijelaskan siapa yang bicara, di mana, dan kapan, anda selalu bisa mengidentifikasi origo-nya karena anda secara langsung berbicara dengan saya.

Berbeda halnya apabila anda menemukan secarik kertas di pinggir jalan. Di dalam kertas tersebut ada kalimat “Saya akan datang satu jam lagi.” Origo pemilik kalimat ini tentu sulit anda identifikasi karena anda tidak berbicara langsung dengannya. Anda tidak tahu siapa yang bilang “saya”, satu jam kapan, dan datang ke mana. Dengan demikian, tindakan berbahasa selalu mengharuskan ada lawan bicara.

Tuhan sebagai Pembicara

Lalu bagaimana dengan origo Tuhan yang ruang dan waktu tidak berlaku bagi-Nya? Menjawab pertanyaan ini, Husni menjelaskan ontologi eksistensi Tuhan dulu. Pertama bahwa adanya perbedaan konsep ruang dan waktu antara Tuhan dan manusia. Tuhan berada di luar ruang dan waktu. Dia-lah yang menciptakan dua hal tersebut, sehingga Dia tidak mungkin berada di ciptaannya. Jika Dia mengada di dalamnya, maka Dia akan bergantung pada waktu dan ruang (hal. 57-58).

Dengan demikian, ruang dan waktu yang di atas berada di luar origo Tuhan. Deskripsi ruang dan waktu yang sudah diulas adalah deskripsi konsep yang berlaku bagi manusia yang mengada di dalamnya. Adapun konsep ruang dan waktu bagi Tuhan adalah Ia berada di mana-mana tidak berlaku ruang masa lalu dan ruang masa depan. Ia mengabadi di masa sekarang di ke-“di sini”-an. Konsep inilah yang dipakai Husni. Sepintas mirip konsep Sunni.

Perbedaan konsep ruang dan waktu tersebut berimplikasi pada bagaimana manusia berinteraksi dengan Tuhan, yakni ketergantungan total karena ruang dan waku manusia merupakan ciptaan-Nya. Sebaliknya Tuhan tidak membutuhkan apapun dari manusia karena Dia adalah penciptanya. Oleh karenanya, komunikasi Tuhan kepada manusia bukan dalam rangka kebutuhannya, namun kepada kepentingan manusia, yakni memberikan petunjuk menuju kesempurnaan evolusi keberadaannya (hal. 60).

Husni tidak menjelaskan lebih mengenai kepentingan manusia yang ia sebut. Seharusnya ia menjelaskannya kenapa ia sampai pada kesimpulan untuk “kepentingan evolusi keberadaan manusia di dalam ruang dan waktu.” Bagi saya terkesan tiba-tiba muncul.

Terlepas itu, kita bisa tarik kesimpulan dari apa yang disebut ketergantungan total, yakni interaksinya asimestris atau one way.  Al-Qur`an secara khusus kemudian bukan lagi soal isu kognitif, namun isu praksis. Isinya petunjuk Tuhan. Oleh karenanya, Al-Qur`an adalah kitab bagaimana, bukan apa dan mengapa atau singkatnya kitab huda li an-nâs.

Untuk mengatakan kitab huda li an-nâs, Husni mengarungi jalan yang jarang dilakukan kebanyakan orang. Ia berangkat dari paradigma bahasa yang berbeda lalu menggunakan teori pragmatika. Jalan ini, bagi saya, yang cukup istimewa dari apa yang dilakukan Husni.

Cara Tuhan Menggambarkan Diri-Nya dalam Al-Qur`an

Berikut ini adalah mekanisme Tuhan dalam menggambarkan dirinya dalam Al-Qur`an (hal. 67-136). Yang pertama adalah menggambarkan diri-Nya. Misalnya komunikasi Tuhan dan Nabi Musa pertama kali di lembah Thuwa. Allah berfirman, (terjemahan bebas) “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (20): 14. Sebelum ayat ini, Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).” (20): 12-13.

Begitu pula komunikasi Tuhan dan Nabi Muhammad seperti tertuang dalam surat al-Alaq: 1-5. Dalam surat ini, Allah mendeskripsikan diri-Nya, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (96): 1-5.

Sebelum lanjut, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan mengenai contoh-contoh di atas. Kedua contoh di atas merupakan sama-sama komunikasi pertama. Sebagaimana umumnya komunikasi pertama seperti misal saya tidak mengenal anda lalu bertemu pertama kalinya. Hal pertama yang saya lakukan adalah mendeskripsikan diri saya kepada anda. Misal, saya Zulkarnaen, mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta. Begitu pula dengan apa yang dilakukan Tuhan ketika pertama kali memulai komunikasi.

Namun yang menarik di dalam surat al-Alaq, Tuhan langsung menggunakan kata perintah, yakni bacalah! Idealnya orang yang baru bertemu tidak langsung memberikan perintah karena belum kenal. Namun dalam kasus ini, pragmatik (tujuan penggunaan) kalimat yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah untuk menjelaskan siapa Tuhan dan bagaimana relasi antara diri Tuhan dengan Nabi Muhammad yang merupakan ciptaan-Nya, yakni relasi ketergantungan total. Oleh karenanya, ia langsung memberikan perintah.

Selain itu, dalam surat al-Alaq ada kesan bahwa pembicaranya bukanlah Tuhan karena Tuhan dalam surat ini adalah yang dideskripsikan atau orang ketiga. Misal dalam terjemahan yang mengatakan “bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”.  Namun dalam teori pragmatik, Tuhan dalam hal ini adalah pembicara pertama meskipun kesannya objek/orang ketiga seperti itu. Untuk memudahkan pemahaman, misal seorang ayah mengatakan kepada anaknya “ayah akan pulang nanti malam.” Kata ayah dalam contoh tersebut bukanlah orang lain, tapi pembicaranya sendiri. Secara gramatikal, kata ayah adalah orang ketiga yang disebut ayah. Namun dalam pragmatik (tujuan penggunaan), ayah adalah pembicara. Secara umum tujuan surat al-Alaq kemudian adalah pengenalan diri Tuhan dan relasi bagaimana yang hendak dibangun.

Mekanisme berikutnya adalah dengan menyebut namanya: Allah. Mekanisme ini ada dua bentuk: dengan deskripsi dan tanpa deskripsi. Ada tidaknya deskripsi dari nama Tuhan tergantung adresi ayatnya atau tergantung ada atau tidaknya pengetahuan atas apa yang dibicarakan terhadap lawan bicara. Dalam banyak ayat misalnya penyebutan nama Allah dan deskripsi terjadi jika adresinya adalah orang kafir. Begitu pula sebaliknya, jika adresinya adalah Nabi, maka Tuhan tidak menggunakan deskripsi. Umumnya komunikasi, misal saya menyebut sesuatu yang belum pernah anda dengar, tentu saya akan memberikan deskripsi. Jika pernah didengar, saya tidak akan memberikan deskripsinya.

Tipe Speech Act Tuhan dalam Al-Qur`an  

Sebelum mengurai tipe speech acts atau bahasa sebagai tindakan dalam Al-Qur`an, perlu kiranya diketengahkan jenis-jenis speech acts. Berikut ini adalah jenis-jenisnya: deklaratif (mendeklarasikan sesuatu seperti nikah, talak, perang, dan lain-lain), ekspresif (mengekspresikan perasaan, emosi, batin, dan sebagainya), konstatif (asertif: seperti menyampaikan kejujuran), direktif (contohnya seperti perintah), dan komisif (seperti membuat janji). Kesemua jenis tersebut mengharapkan respon terhadap lawan bicara.

Kaitannya dengan Al-Qur`an, Husni tidak mengurai semuanya (hal. 141-160). Ia hanya mengurai satu jenis saja, yakni direktif (meminta orang untuk melakukan sesuatu). Jenis ini sangat banyak dalam Al-Qur`an. Misal, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (5): 8. Umumnya, komunikasi Tuhan kepada manusia adalah relasi ketergantungan total manusia kepada Tuhan. Oleh karena itu, posisi manusia hanyalah untuk merespon dengan positif.

Demikian bagaimana Husni membangun gagasan perspektif kedua. Ia menyebutnya sebagai alternatif pembacaan Al-Qur`an di tengah problematika perspektif ketiga. Bagi saya, gagasan Husni cukup istimewa meskipun saya merasa ada banyak kesamaan dengan para ulama yang menjelaskan Al-Qur`an merupakan kalâm Allah (misal uraian Muhammad Nuruddin waktu lalu di kampus PTIQ). Ini adalah suatu umum, terutama audiensnya di Lombok. Perbedaannya terletak pada bagaimana Husni membungkus gagasannya dengan mekanisme yang filosofis-teoretis dan pengalamannya menuntut ilmu di Barat.

 

Daftar Bacaan

Austin, J.L. How to Do Things with Words. London: Oxford University Press, 1962.

Dahlan, Ahmad. Zaini. Mukhtasar Jiddan. Beirut: Syirkah Dâr al-Masyâri’, 2014.

Mu’adz, M. Husni. Interaksi Tuhan-Manusia dalam Komunikasi Al-Qur`an Berdasarkan Tinjauan Pragma-Linguistika. Mataram: Sanabil, 2019.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *