Kepala menempati posisi yang istimewa. Apabila dibandingkan dengan anggota tubuh lainnya, kepala dipandang lebih terhormat dan juga mendapat penghormatan. Menurut Plato, kepala memperoleh penghormatan karena ia menyimpan akal manusia. Bagi seorang muslim, kepala merupakan salah satu bagian yang diusap ketika berwudhu. Ketika menyatakan penghormatan kepada Tuhan maupun sesama manusia, kepala ditundukkan dan ditunjukkan. Hal tersebut menjadi sedikit bukti bahwa betapa kepala itu tergolong sesuatu yang spesial dalam tubuh manusia. (Taufiq Pasiak, 2004: 308)
Kepala terutama bagian depan-atasnya, yaitu ubun-ubun atau dahi tidak luput mendapatkan perhatian dalam Al-Qur’an. Lafadz dalam Al-Qur’an yang menggambarkan terkait ubun-ubun adalah nâshiyah. Lafadz ini ditemukan kurang lebih lima ayat dalam 3 surah yang berbeda baik dalam bentuk tunggal maupun jamak, diantaranya: QS. Al-Alaq/96: 15-16, QS. Hûd/11: 56, dan QS. ar-Rahmân/55: 14.
Dalam QS. Al-Alaq/96: 15-16:
كَلَّا لَٮِٕنۡ لَّمۡ يَنۡتَه لَنَسۡفَعًۢا بِالنَّاصِيَةِۙ ﴿١٥﴾ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ ۚ ﴿١٦﴾
Sekali-kali tidak! Sungguh, jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya (ke dalam neraka). (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan dan durhaka.
Dalam ayat tersebut Al-Qur’ân menyifati kata nâshiyah dengan kata kâdzibah khâthi’ah (mendustakan dan durhaka). Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa dalam Al-Qur’an suatu zat disandarkan dengan sifat berdusta dan durhaka padahal secara logika zat tersebut bukanlah makhluk utuh selayaknya manusia yang dapat berbicara dan melakukan kesalahan. Mustahil Allah SWT memberikan suatu isyarat dan sifat khusus terhadap suatu zat melainkan terdapat rahasia yang amat penting di dalamnya.
Dalam tafsir al-Munîr, Wahbah az-Zuhaili menguraikan dari segi kebahasaan terkait lafadz ناصية كاذبة خاطئةmerupakan sebuah majaz ‘aqli yaitu sifat kadzb (dusta) dan khatha’ (salah) disandarkan kepada nâshiyah secara majaz. Maksud yang berdusta dan salah adalah pemilik ubun-ubun karena dia merupakan sebab. (Wahbah az-Zuhaili, 2016: 602)
Menurut Muhammad Abduh dalam tafsiran beliau, nâshiyah merupakan rambut yang tumbuh di atas dahi dan merupakan simbol dari kehormatan, kesombongan, keangkuhan. Sehingga apabila ada seorang yang menarik rambut yang berada pada dahi orang lain maka hal itu menunjukkan penghinaan terhadap orang tersebut. Seperti halnya kuda yang tidak berdaya ketika ditarik jambulnya. Ayat ini juga ditujukan khusus kepada Abu Jahal yang sangat ingkar. Akibat perbuatannya yang sangat ingkar dan tidak berhenti berbuat mungkar maka akan ditarik ubun-ubunnya, hal ini berarti seseorang yang sudah tidak memiliki ubun-ubun maka tidak akan bisa mendapat petunjuk lagi. (Wikanti Iffah Juliani, 2020: 88)
Kemudian, Quraish Shihab dalam tafsirnya memberi ungkapan bahwa kata nâshiyah dalam ayat tersebut bisa diterjemahkan ubun-ubun. Ia mulanya berarti rambut yang terdapat pada dahi, tetapi dalam pemakaian lebih jauh ia diartikan sebagai tempat tumbuhnya rambut tersebut. Kata ini digunakan Al-Qur’ân dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang yang berdosa kelak di hari Kiamat. (M. Quraish Shihab, 2005: 413)
Menurut beliau, patut ditambahkan bahwasanya kata nâshiyah dalam ayat tersebut bukan hanya terbatas jangkauannya pada pengertian bahasa (hanya ubun-ubun) tetapi mencakup seluruh tubuh Abu Jahal atau siapa pun yang melarang orang lain yang melakukan pengabdian kepada Allah swt.
Kata tersebut dipilih untuk mewakili seluruh tubuh karena dahi merupakan lambang kemuliaan seseorang, di samping bahwa kasus turunnya ayat ini banyak berkaitan dengan dahi yakni bahwa Abu Jahal enggan meletakkan dahinya di bumi guna sujud kepada Allah, bahkan melarang Nabi Muhammad saw. untuk sujud dalam shalat (meletakkan dahi beliau) guna mengabdi kepada Allah swt.
Ar-Râzi kemudian berkata dalam tafsirnya, Mafâtȋẖ al-Ghayb, bahwa ubun-ubun disini adalah rambut di bagian dahi kepala, tempat tumbuhnya rambut pun terkadang dinamakan ubun-ubun, kemudian Allah Swt memakai kinâyah (permisalan) dengan wajah dan kepala untuk menunjukkan ubun ubun. Sifat ubun-ubun yang bohong dan salah adalah sifat haqȋqȋ (sebenarnya).
Allah swt telah men-ta’rif-kan kata nâshiyah dengan alif dan lâm, seakan-akan Allah berkata yaitu ubun-ubun yang kalian ketahui dzatnya tetapi kalian tidak ketahui sifatnya, yaitu ubun-ubun yang berdusta dalam perkataannya dan salah dalam perbuatannya sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an telah mengisyaratkan peran sentral bagian depan otak yang terletak di dalam ubun ubun. Baik dalam mengarahkan perilaku manusia dengan mengendalikan ucapan dan perbuatan melalui keberadaan pusat pemrosesan kata-kata dan pengendalian perbuatan yang berkaitan dengan perkataan, penglihatan dan seluruh pergerakan yang direncanakan bagi seluruh anggota tubuh.
Sehingga, dengan adanya ukuran yang luas di bagian nâsiyah ini, memungkinkan bagi manusia untuk menghasilkan dan menganalisis informasi yang memberikannya pengalaman dalam memilih kata-kata dan perbuatan serta mengendalikan perilaku dengan bantuan pusat pengetahuan yang ada di lapisan otak ini. (Fitria Ningrum Rismawati: 41)
Kemudian dalam QS. Hûd/11: 56, Allah swt. berfirman:
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ رَبِّي وَرَبِّكُمْۚ مَا مِنْ دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَاۚ إِنَّ رَبِّي عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْم ﴿٥٦﴾
Sesungguhnya aku bertawakal dengan menyerahkan semua urusanku hanya kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak satupun makhluk yang bergerak (diatas bumi) melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sesungguhnya Tuhanku di jalan yang lurus (adil).
Hamka menerangkan bahwa Nâshiyah dalam ayat ini, juga berarti ubun-ubun. Artinya puncak kepala kita, yang menguasai seluruh badan kita. Maka ubun-ubun itulah yang dikuasai dan dipegang oleh Tuhan, sehingga tidak satu pun yang melata di atas bumi ini yang sanggup keluar daripada apa yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sebab itu lebih baiklah patuh daripada melawan. (Hamka: 3494)
Hal tersebut selaras dengan pernyataan yang diungkapkan oleh salah satu ahli terkenal pada bidang sains otak, anatomi, dan embriologi, yaitu Keith L Moore. Seorang peneliti yang berasal dari Kanada yang mendatangi sebuah konferensi medis yang diadakan di Kairo. Beliau mengungkapkan bahwa 50 tahun yang lalu kita mengetahui bagian tubuh inilah yang bertanggung jawab dalam membuat keputusan. Lalu siapakah yang mengambil keputusan? Kita tahu bahwa jiwa adalah bagian yang mengendalikan pengelihatan dan pendengaran. Otak juga merupakan bagian tubuh tapi pada akhirnya pembuat keputusan terletak pada ubun-ubun.
Telah dikonfirmasi pula bahwa ubun-ubun adalah tempat pembuat keputusan. Jika bagian dari otak ini terluka, orang itu kemungkinan tidak memiliki kehendak. Para peneliti kemudian menemukan bahwa organ ini pada hewan, ukurannya lebih kecil dan lemah, karena pusat kendali dari gerakan hewan juga terletak di sini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Surat Hûd: 56 yang telah disebutkan sebelumnya. (Fitria Ningrum Rismawati, 2020: 43)
Nâsiyah atau yang dimaknai sebagai bagian ubun-ubun merupakan pusat kendali yang bukan hanya terdapat pada manusia namun juga pada hewan. Karena nâsiyah ini yang sebagai pusat pembuat keputusan, dan juga sebagai pengendali terhadap tindakan. Inilah yang kemudian ditemukan oleh studi ilmiah modern dari abad ke-20 yang mana sementara Al-Qur’an jauh sebelum itu telah memberikan isyarat mengenai peran sentral organ tubuh ini bagi makhluk hidup. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an memang bukan kitab Sains, namun isyarat-isyarat kauniyah di dalamnya jika berhasil ditangkap dan ditindaklanjuti dapat mengantarkan pada sinergitas positif antara teologi dan ilmu pengetahuan yang selama ini seakan didikotomi dan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri.
REFERENSI
Az-Zuhaili, Wahbah, “Tafsir Al-Munîr” Gema Insani, Jilid 15, 2016.
Juliani, Wikanti Iffah, dkk. “Tafsir Ayat-Ayat Neurosains Dan Implikasinya Bagi Pengembangan Higher Order Thinking (Hot) Dalam Pendidikan Islam” Muaddib: Studi Kependidikan dan Keislaman, Vol. 10 No. 01, 2020.
Pasiak, Taufiq, “Revolusi IQ/EQ/SQ: antara neurosains dan Al-Quran” Bandung: Mizan Pustaka, 2004.
Shihab, M. Quraish, “Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” Lentera Hati, Vol. 15, Cet. 4, 2005.
Tamin, Andi Khuzaimah, “Telaah Konsep Otak dalam Al-Qur’an: Kajian Tafsir ‘Ilmi Terhadap Kata Al-Nasiyah dan Al-Sadr” Tanzil, Vol. 5, No. 1, 2022.
Wulan, Adinda Retno, dkk. “Sistem Saraf Manusia Dalam Perspektif Al-Qur’an” Jurnal Cahaya Mandalika, tt, tp, diakses pada 4 Juli 2024.
Rismawati, Fitria Ningrum, ‘Ijaazunnaasiyah (Dalam Perspesktif Tasiilul ‘Ijaazul ‘Ilmi Fiil Qur’an Wassunnah)” Al Karima: Jurnal Studi Ilmu Al Quran dan Tafsir, Vol. 04, No. 2, 2020.