Persekusi terhadap kelompok LGBTIQ+ tergolong kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma Pasal 7, yang melibatkan perampasan hak dasar secara sistematis terhadap kelompok minoritas berdasarkan agama, politik, ras, kewarganegaraan, etnis, budaya, atau gender. Istilah LGBTIQ+ mencakup berbagai orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dari norma heteronormatif, seperti lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, queer, serta kelompok minoritas lainnya. (UPMC Children’s Hospital of Pittsburgh 2021)
Di Indonesia, laporan Komnas HAM tahun 2017 mencatat 1.162 kasus persekusi, dengan polisi sebagai pelaku utama dalam 506 kasus, disusul oleh korporasi dan pemerintah daerah. Pada tahun yang sama, terdapat 973 korban persekusi yang tersebar di berbagai identitas gender, dengan kelompok transgender mengalami jumlah persekusi tertinggi sebanyak 715 korban, diikuti oleh gay 225 korban, lesbian 29 korban dan korban lainnya. (Zakiah 2018, 7)
Dampak dari persekusi ini mengakibatkan tekanan psikis/mental pada korban, peniadaan hak-hak hidup korban termasuk hak kerja, beberapa korban memiliki gejala ingin bunuh diri dari hasil reaksi tekanan mental dan lain sebagainya. Faktor penyebabnya antara lain pelaku LGBTIQ+ dianggap melanggar norma etika masyarakat, mengganggu ketertiban masyarakat, serta pelaku maksiat berdasarkan konstitusi agama, yang dalam Islam disandarkan pada al-A‘râf/7: 80 sehingga harus dihukum.
Secara data hukum, sebenarnya perlakuan persekusi sudah digolongkan sebagai kasus hukum pidana berat UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 1 Ayat 2 dan hukuman pidana tersebut telah termaktub pada KUHP Pasal 351. Kemudian, secara konkret Indonesia telah meratifikasi hukum internasional Statuta Roma Pasal 7 melalui UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 9 huruf (h) tentang pelarangan penganiayaan berbasiskan gender/jenis kelamin/orientasi seksual. (DPR RI 2000, 4)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Pasal 4 Poin H (Kepolisian RI 2009, 8) dan prinsip 10 Yogyakarta Principles juga mengartikulasikan perlindungan hukum untuk LGBTIQ+ (The Yogyakarta Principles 2020). Seharusnya, hukum-hukum ini melindungi LGBTIQ+, namun kenyataannya mereka justru menjadi korban persekusi oleh aparat kepolisian dan pemerintah daerah.
Jika kaum LGBTIQ+ memiliki ketidakumuman orientasi seksual, identitas gender dan karakteristik seksualnya, maka apa benar al-Qur’an membenarkan persekusi dengan peniadaan hak hidup mereka bahkan menggolongkannya sebagai perilaku maksiat dan kriminal? Bukankah al-Qur’an menjunjung tinggi nilai dan hak hidup manusia?
Legitimasi Ayat Sebagai Anjuran Persekusi LGBTIQ+
Ayat yang sering dilegitimasi untuk melakukan persekusi kaum LGBTIQ+ ialah al-A‘râf/7: 80 sebagai berikut:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus Nabi) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan yang sangat hina itu, yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?”
Ayat ini mengisahkan nasehat nabi Luth as. kepada kaumnya tentang larangan fâhisyah. Menelusuri makna fâhisyah, setidaknya dapat ditemukan dari redaksi nasehat nabi Luth kepada kaumnya yang dikutip oleh al-Thabarî sebagai berikut (al-Thabarî 2016):
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ فِي أَدْبَارِهِمْ شَهْوَةً مِنْكُمْ لِذَلِكَ مِنْ دُونِ الَّذِي أَبَاحَهُ اللَّهُ لَكُمْ وَأَحَلَّهُ مِنَ النِّسَاءِ
“Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan keji kepada sesama laki-laki melalui dubur mereka karena nafsu kalian, padahal Allah telah menghalalkan perempuan untuk kalian.”
Melalui redaksi di atas diperoleh pemaknaan bahwa fâhisyah merujuk pada perilaku sodomi. (al-Thabarî 2016)
Penafsiran yang kontemporer datang dari Buya Husein Muhammad bahwa perilaku sodomi yang dikehendaki berbeda hal dengan homoseksual. Homoseksual baru pada tataran orientasi seksual, sementara sodomi sudah dalam bentuk perilaku hubungan seksual dan hal tersebut bisa dilakukan siapa saja baik homoseksual, heteroseksual maupun biseksual. Maka, perlakuan secara sosial dan hukum kepada kaum homoseksual tidak bisa disamakan dengan kaum sodomi. (Muhammad 2011, 95)
Adapun ayat mengenai persekusi dapat merujuk pada al-Naḥl/16: 90:
إِنَّ ٱللَّهَ یَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَـٰنِ وَإِیتَاۤىِٕ ذِی ٱلۡقُرۡبَىٰ وَیَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَاۤءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡیِۚ یَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu selalu ingat.
Al-Ashfahânî memaknai lafaz al-bagy sebagai “melampaui batas kewajaran” (Departemen Agama RI 2008, 170), sedangkan Wahbah al-Zuhailî mengartikan sebagai penganiayaan terhadap manusia (al-Zuhaili 2003, 531). Quraish Shihab menjelaskan lebih rinci bahwa al-bagy mencakup pelanggaran hak dalam aspek sosial, baik melalui perampokan atau dalih yang tidak sah dalam penegakan hukum. Al-bagy seringkali dipicu oleh emosi, keinginan menegakkan hukum, dan kebencian terhadap kemungkaran. (Shihab 2012, 302)
Analisis Tafsir Atas Ayat
Dalam al-A‘râf/7: 80, yang dikatakan fâhisyah ialah perbuatannya, bukan pada orientasi seksualnya, sehingga, perbuatan yang sangat hina ialah mereka yang di mana orientasi seksualnya ‘sudah melahirkan tindakan’ berupa hubungan seksual dengan sesama jenis yang dalam hal ini bisa dilakukan oleh siapa saja tak sebatas kaum LGBTIQ+ bahkan kaum heteroseksual sekalipun.
Sementara, jika beberapa kaum lainnya masih pada tahapan orientasi seksual tanpa tindakan, maka tidak digolongkan fâhisyah, termasuk dalam hal ini kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender, selama hanya berkutik pada orientasi seksual, maka perlakuan atas mereka tidak bisa disamakan dengan yang dikehendaki makna fâhisyah.
Persekusi yang terjadi di Indonesia justru disasarkan kepada para kaum LGBTIQ+ yang baru tahapan orientasi seksual. Tentu, sikap penyingkiran ruang sosial kaum LGBTIQ+ yang dialamatkan kepada kaum sodomi masa nabi Luth menjadi pemahaman agama yang salah parkir dan fatal. Ayat ini ditujukan kepada siapapun selama melakukan sodomi, ia harus dihukumi seperti halnya kaum Sodom masa nabi Luth.
Adapun pada al-Naḥl/16: 90, sedikitpun, al-Qur’an tidak pernah mengafirmasi perlakuan persekusi. Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, permusuhan, dan penganiayaan serta segala pelanggaran hak dalam bidang interaksi sosial kepada siapapun termasuk dalam hal penganiayaan terhadap kaum LGBTIQ+ sekalipun dalam tujuan penegakan hukum.
Pendampingan perintah kebaikan yang diiringi pelarangan keburukan dalam al-Nahl/16: 90 sekaligus menunjukkan sebuah kebencian Allah terhadap penganiayaan, dalam hal ini, persekusi pada LGBTIQ+, sekalipun, sebagian dari mereka melakukan pelanggaran moral, peniadaan hak hidup sedikitpun tidak dibenarkan.
Maka, sekiranya diperoleh dua poin krusial yang didapati dari wacana tafsir dua ayat di atas antara lain: 1) LGBTIQ+ tidak masuk ranah fâhisyah selama sebatas orientasi seksual yang tidak diwujudkan dalam perbuatan seksual sesama jenis; 2) Peniadaan hak hidup dan penganiayaan kaum LGBTIQ+ sama sekali tidak dibenarkan oleh al-Qur’an sekalipun dalam ranah penegakan hukum.
Rekomendasi Menuju Aksi
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka ada beberapa rekomendasi yang bisa dikemukakan sebagai bentuk solidaritas dalam menegakkan hak-hak dasar kemanusiaan yang sudah semakin tercerabut dari kelompok-kelompok minoritas, termasuk LGBTIQ+ yang memiliki kecenderungan orientasi seksual, identitas gender dan karakteristik seksual yang berbeda dari umumnya.
Pertama, mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif dan tindakan lain yang diperlukan untuk mencegah dan memberikan perlindungan dari penyiksaan, perlakuan kejam dan hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan, yang dilakukan atas dasar orientasi seksual atau identitas jender korban, termasuk tindakan yang bersifat hasutan.
Kedua, mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mengidentifikasi korban penyiksaan dan tindakan yang kejam serta hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, yang dilakukan atas dasar orientasi seksual atau identitas jender, dan menyediakan upaya pemulihan baik medis, psikologis maupun ganti rugi.
Ketiga, melaksanakan program pelatihan dan peningkatan kesadaran bagi polisi, personil penjara dan semua pejabat lain di sektor publik dan swasta yang memiliki kewenangan untuk mencegah tindakan-tindakan tersebut.
Keempat, edukasi tentang seksualitas untuk masyarakat dan para penegak hukum. Termasuk dalam hal ini memiliki kemampuan kategorisasi antara orientasi seksual dan perbuatan.
Kelima, tokoh agama perlu menyebarkan pemahaman yang komprehensif dan tidak parsial. Adapun pemahaman tentang LGBTIQ+ harus dibersamakan dengan persamaan kebutuhan hak hidup seperti manusia lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penafsiran al-A‘râf/7: 80, LGBTIQ+ tidak termasuk dalam kategori fâhisyah jika orientasi seksualnya tidak diwujudkan dalam hubungan seksual sesama jenis. Oleh karena itu, perlakuan sosial dan hukum terhadap LGBTIQ+ tidak dapat disamakan dengan pelaku sodomi di masa Nabi Luth as. Kemudian, merujuk pada al-Naḥl/16: 90, peniadaan hak hidup dan penganiayaan terhadap LGBTIQ+ tidak dibenarkan oleh al-Qur’an, bahkan dalam penegakan hukum.
Perlindungan hukum terhadap HAM, termasuk hak hidup dan hak bekerja, harus ditegakkan negara untuk melindungi kaum LGBTIQ+ tanpa alasan apapun. Negara dilarang melakukan persekusi atau diskriminasi sosial terhadap mereka, terutama jika orientasi seksual tidak diwujudkan dalam bentuk konkret penyimpangan hubungan seksual. Jika ingin melarang LGBTIQ+, perlu sikap hukum tegas yang jelas mengenai hal ini.
Referensi
al-Thabarî, Jarîr. 2016. “Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân.” Mabâhits al-Qur’ânî. Accessed Juli 20, 2024. https://tafsir.app/tabari/7/81.
al-Zuhaili, Wahbah. 2003. al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj. juz 7. Damaskus: Dar al-Fikr .
Departemen Agama RI. 2008. Hubungan Antar Umat Beragama: Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an.
DPR RI. 2000. “LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 208.” komnasham. Accessed Juli 20, 2024. https://www.komnasham.go.id/files/1565071405uu-no-26-tahun-2000-$WBLQ.pdf.
Kepolisian RI. 2009. “PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2009.” Berita Negara Nomor 150 Tahun 2009. Accessed Juli 20, 2024. https://peraturan.go.id/files/bn150-2009.pdf.
Muhammad, Husein. 2011. Fiqh Seksualitas: Risalah Islam untuk Pemenuhan Hak-hak Seksualitas. Jakarta: PKBI-IPPF.
RI, Komnas HAM. 2000. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000. Diakses Juli 20, 2024. https://www.komnasham.go.id/files/1565071405uu-no-26-tahun-2000-$WBLQ.pdf.
Shihab, M. Quraish. 2012. Tafsir al-Mishbah. jilid 6. Jakarta: Lentera Hati.
The Yogyakarta Principles. 2020. “Yogyakarta Principles 2007.” www.yogyakartaprinciples.org. Accessed Juli 20, 2024. http://yogyakartaprinciples.org/wp-content/uploads/2016/10/Yogyakarta20Principles2020Bhs20Indonesia.pdf.
UPMC Children’s Hospital of Pittsburgh. 2021. “Basic Definitions: Sexual Orientation, Gender Identity and Expression (SOGIE).” chp. Accessed Juli 20, 2024. https://www.chp.edu/-/media/chp/departments-and-services/adolescent-and-young-adult-medicine/documents/gender-and-sexual-development/basic-definitions-sogie.pdf?la=en.
Zakiah, Naila Rizki. 2018. Bahaya Akut Persekusi LGBT. Jakarta Selatan: Lembaga Badan Hukum Masyarakat.