Seringkali dijumpai akhir-akhir ini, kekeliruan dalam memberikan labelisasi sebuah tafsir yang berujung pada legitimasi yang tidak sesuai dengan isinya. Kesalahan semacam ini dapat menimbulkan salah pemahaman yang signifikan mengenai pesan yang sebenarnya disampaikan dalam tafsir tersebut. Konsekuensi dari kesalahan tersebut, terjadinya labelisasi tafsir tertentu dalam masalah tertentu. Ini permasalahan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Lebih dari itu, terkadang tafsir tertentu dikutip secara parsial untuk mendukung argumen yang sebenarnya bertentangan dengan konteks keseluruhan tafsir tersebut. Misalnya, al-Kasysyâf digunakan untuk mendukung pandangan yang berlawanan dengan pesan asli tafsir ini, sehingga tafsir ini terkesan mendukung pemahaman yang keliru tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah cherry-picking.
Salah satu contohnya, artikel jurnal yang ditulis oleh Hanif al-Fauzi Nur, dkk, Monogami dalam Tinjauan Mubadalah, dengan jelas mengatakan (Hanif, 2022: 98):
“Imam Az-Zamaskhyari adalah seorang ulama klasik yang cukup tegas untuk menyarankan perkawinan monogami…”
Para penulis artikel tersebut dengan jelas menyimpulkan bahwa tafsir ini mendukung atau pro monogami. Sedangkan penulis saat ini menduga adanya misleading dan kesan cherry-picking dari hasil kesimpulan artikel di atas. Tulisan ini akan membuktikan dugaan tersebut dengan usaha sebaik mungkin atas segala keterbatasannya.
Harapannya, pembuktian dan kritik ini mampu memperbaiki proses pemahaman terhadap kitab tafsir khususnya dan turâst Islam umumnya. Tanpa ada klaim-klaim yang tergesa-gesa dan membuat-buat “labelisasi tafsir” yang disematkan karena pembacaan yang kurang cermat dan simplifikatif.
Sebelum masuk pada bagian utama, perlu mengulas terlebih dahulu sedikit siapa Imam al-Zamakhsyari, serta memahami pemikiran-pemikiran utamanya. Pengenalan ini akan memberikan konteks yang diperlukan untuk mengevaluasi klaim dan kesalahan labelisasi yang muncul. Sehingga, pembaca dan peneliti dapat menilai lebih baik bagaimana tafsir tersebut digunakan dan dikutip dalam berbagai argumen yang ada.
Penulis sendiri memakai kitab tafsir al-Kasysyâf yang di-taẖqȋq oleh Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh Ali Muhammad Mu’awwadh, dan Syaikh Fathi Abdurrahman bin Ahmad Hijazi, salah satu pakar bahasa dalam bidang Balaghah dan kritikus bahasa dan sastra Arab di Universitas al-Azhar Mesir. Dalam cetakan tersebut pembahasan dijumpai dari halaman 14-17.
Imam al-Zamakhsyari (467-538 H / 1075-1144 M) salah satu ulama yang hidup di pertiga akhir abad ke-5 dan pertiga awal abad ke-6 di wilayah Khawarizim. Pada masa beliau, terdapat beberapa ulama’ besar lainnya seperti Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd al-Hafizh, al-Syahrastani, Ibnu al-Arabi, Imam al-Haramain, Ibnu ‘Aqil, dan ulama’ yang terkenal dengan insiklopedinya (mausû’ah) yaitu Abu al-Faraj, Ibnu al-Jauzi (Al-Zamakhsyari, 1998: 1/5-10).
Di balik madzhab Muktazilahnya, Imam al-Zamakhsyari mampu menafsirkan al-Quran dengan bahasa arab yang indah sampai bisa diterima oleh khalayaknya manusia (Al-Zamakhsyari, 1998: 1/19). Penulis menilai seakan-akan tidak tampak pengaruh madzhabnya. Hal ini telah dibuktikan oleh Imam Sirajuddin al-Bulqini yang mampu mengekstrak paham muktazilahnya. Bisa dilihat langsung pada Al-Kasysyâf alâ Al-Kasysyâf dan juga dalam Al-Itqân, (1/190).
Unik untuk diketahui juga, Imam al-Zamakhsyari dalam masalah fikih bermadzhab Hanafi yang moderat, terkadang mengunggulkan pendapat madzhabnya dan terkadang mengunggulkan madzhab yang lain (Al-Zamakhsyari, 1998: 1/31). Di sini sudah mulai ada titik terang sebelum membuktikan tafsir QS. al-Nisa’ (4): 3, karena di balik madzhab yang dipegang, menjadi salah satu sebab munculnya interpretasi sebuah tafsir. Berikut penjelasan terkait masalah di atas.
- al-Nisa’ (4): 3 ada keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat ke-2. Dalam tafsir ayat ke-3 dijelaskan, ketika ayat ini turun dalam masalah anak yatim dan memakan hartanya, maka para wali (ingin menjadi wali yatimah) takut dosa besar sebab tidak bisa berlaku adil dalam memenuhi hak-haknya, sehingga, memilih untuk menjauhinya. Sedangkan satu di antara mereka, terkadang memiliki 10, 8 dan 6 istri dan tidak bisa memberikan haknya serta tidak bisa berlaku adil di antara istrinya.
Berdasarkan masalah tersebut, kemudian, muncul beberapa pendapat (secara dialogis): 1). Jika kalian takut tidak adil dalam memenuhi hak anak yatim, maka cukup jauhi saja. Ketakukan yang lain, mereka tidak bisa berlaku adil di antara istri-istrinya, maka cukup kurangi jumlah perempuan yang hendak dinikahi. Karena konsekuensi, orang yang menjauhi dosa atau sudah tobat tapi tetap melakukan hal yang sama, maka tetap saja tidak termasuk orang yang menjahuinya.
2). Mereka tidak menjahui dari zina, akan tetapi menjahui dari menjadi wali anak-anak yatim. Sehingga, jika takut tidak adil dalam hak-hak anak yatim serta takut zina, maka nikahilah perempuan yang dihalalkan untuk kalian tanpa mengitari sekitar perkara yang diharamkan. 3). Ada laki-laki lain atau termasuk wali yang boleh menikahinya, menemukan perempuan yatim yang memiliki harta dan cantik, lalu ia menikahi karena ingin menguasi dari yang lain.
Terkadang, di sisi laki-laki terdapat 10 anak yatim perempuan, maka–dengan ketidak mampuan mereka melawan atau tidak ada orang yang membelanya–takut bertindak zalim hak-haknya dan sembrono dalam tanggung jawabnya. Sehingga, jika takut tidak bisa adil kepada anak-anak yatim perempuan, maka nikahi perempuan selain mereka.
Dari sini, cukup jelas titik permasalahannya ayat tersebut. Penulis berasumsi, mungkin yang dijadikan landasan bahwa tafsir al-Kasysyâf pro monogami pada redaksi “فقللوا عدد المنكوحات”. Asumsi yang lain, pada awal penafsiran ayat ke-3, seakan-akan ayat ini hanya berbicara masalah anak yatim saja tanpa menyinggung tentang poligini. Padahal, jika memahami relasi redaksi itu tidak seperti dituduhkan, dari awal yang ditekankan redaksi di atas adalah “jika kalian takut” (فإن خفتم). Artinya semua mengarah kesini.
Lebih jauh lagi memahami masalah ini, pada kata (مثنى وثلاث ورباع), kata ini menjadi mastnâ, tsulâtsâ, rubâ’, dirubah dari kata yang di ulang-ulang yakni asal tiga kata tersebut adalah (ثنتين ثنتين, وثلاثا وثلاثا, وأربعا أربعا). Dalam kaidah bahasa arab disebut al-‘adl yaitu merubah isim dari satu keadaan keadaan yang lain tanpa merubah makna asalnya. Dalam bait Alfȋyah ibn Mâlik dikatakan (Ibnu ‘Aqil, 1980: 3/325) dan (Shaban, 1887: 3/353):
ومنع عدل مع وصف معتبر … في لفظ مثنى وثلاث وأخر
ووزن مثنى وثلاث كهما … من واحد لأربع فليعلما
Tercegahnya peralihan (‘adl) serta sifat (dari tanwin) diperhitungkan seperti mastna, tulasta, dan ukhar
Wazan mastna dan tsulasa seperti keduanya ini berlaku dari angka satu sampai empat, maka ketahuilah!
Dalam tafsir al-Kasysyâf dijelaskan terkait makna ayat tersebut, menikahlah kalian perempuan-perempuan yang baik untuk kalian sesuai jumlah yang yang ditentukan yakni dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat. Imam Zamakhsyari mengomentari, makna pengulangan kata tersebut, al-Quran berbicara pada semuanya (jama’), maka wajib pengulangan tersebut, agar mengena pada yang diajak bicara yakni setiap orang yang ingin menikah dengan sekaligus empat perempuan (الجمع ما أراد من العدد الذي أطلق له).
Tafsir al-Kasysyâf menggambarkannya dengan analogi membagi seribu dirham sebagaimana berikut: درهمين درهمين وثلاثة ثلاثة وأربعة أربعة. Jika dibuat tunggal (mufrad), maka tidak ada maknanya. Sederhanya, bagi seribu dirham ini dengan dua dua, dan tiga-tiga, dan empat empat. Artinya, seribu dirham itu bisa satu orang ada yang dapat dua, tiga, dan empat, tidak boleh lebih. Bebeda dengan berkata, bagi dengan dua, tiga, dan empat. Maka tidak jelas, seribu ini, satu orang dibagi dua atau seribu ini dibagi dua orang, maka bahasanya al-Kasysyâf: لم يكن له معنى.
Semakin jelas maksud tafsir al-Kasysyâf dalam mengelaborasi penafsiran ayat tersebut. Untuk masalah mengenai alasan yang dipakai pada ayat adalah huruf wâw bukan aw, juga dijelaskan. Jadi penggunaan wâw berimplikasi pada penjelasan yang telah diurai sebelumnya, namun jika aw maka implikasinya hanya boleh memilih salah satu dari bagian yang dijadikan opsi. Lebih jelas dan menjawab tuduhan pro poligini, ketika menafsirkan kata (فواحدة). Berikut redaksinya:
فالزموا أو فاختاروا واحدة وذروا الجمع رأساً، فإن الأمر كله يدور مع العدل، فأينما وجدتم العدل فعليكم به وقرى فواحدة بالرفع على: فالمقنع واحدة، أو فكفت واحدة، أو فحسبكم واحدة.
Tetaplah dan pilih satu serta tidak boleh sama sekali bahkan sekali-kali menikahi sekaligus empat perempuan. (tambah penulis) ingat! “sesungguhnya segala sesuatu berlaku bersama keadilan, dimanapun kalian temukan keadilan, maka rengkuhlah!”
Penulis memahami, ini sebuah kaidah yang perlu dipegang dan diperhatikan, kapanpun dan di manapun kaidah ini berlaku. Artinya, pokok dari pembahasan QS. al-Nisa’ (4): 3 ini dalam tafsir al-Kasysyâf terletak pada keadilan dan ini sesuai dengan ulama yang lain, bahkan hal ini juga ditegaskan dalam tafsir al-Razi yang datang setelah al-Kasysyâf, dan dikutip oleh Muhammad Sayyid Thanthawi dalam al-Tafsîr al-Washît-nya.
Terakhir, labelisasi tafsir al-Kasysyâf sebagai pro monogami adalah tidak benar, karena dari sisi madzhab yang dipegang Imam al-Zamakhsyari adalah madzhab Hanafi yang mana semua empat madzhab menafsirkan ayat ini berbeda dengan Syi’ah Rafidah yakni tidak hanya empat perempuan tapi lebih. Selain itu, tidak ada redaksi spesifik yang mengarah pada pemahaman yang dituduhkan.
Tejadi kesalahpahaman pada redaksi (فقللوا عدد المنكوحات) seakan-akan mengarah pada monogami yang dimaksud. Redaksi ini jika dipahami secara utuh merupakan konsekuensi yang sepenuhnya bergantung pada aspek keadilan. Jadi tidak berdiri sendiri serta tidak bisa dimaknai secara atomistis. Sederhananya, kewajiban pengurangan jumlah perempuan yang dinikahi itu, berangkat dari empat ke satu, jika tidak mampu berlaku adil. Sebaliknya, pengurangan tidak menjadi sebuah kewajiban, berangkat dari satu keempat, jika mampu berlaku adil. Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, inti dari keseluruhan redaksi al-Kasysyâf bermuara pada kaidah universal yang menekankan pada sisi keadilan.
فإن الأمر كله يدور مع العدل، فأينما وجدتم العدل فعليكم به
Sesungguhnya segala sesuatu berlaku bersama keadilan, di manapun kalian temukan keadilan, maka rengkuhlah!
Referensi:
Al-Fauzi Nur, Hanif. “Monogami dalam Tinjauan Mubadalah”, El-Izdiwaj: Indonesian Journal of Civil and IslamicFamily Law, Vol. 3, No.2, 2022.
Al-Zamakhsyari, Abu Qasim Mahmud bin Umar. Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzîl wa al-‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Riyadh: Maktabah al-‘Abikan, 1998.
Ibnu ‘Aqil, Abdullah bin Abdirrahman. Syarh Ibn ‘Aqîl alâ Alfîyyah Ibn Mâlik, Kairo: Dar al-Mishr, 1980.
Shaban, Muhammad bin Ali al-Shaban al-Syafi’i. Hasyîyah al-Shabân alâ Syarh al-Asymûnî li Alfîyyah Ibn Mâlik, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1997.