Menilik Tren Tafsir Indonesia dalam Satu Pancawarsa (2019-2024): Sebuah Overview

Keberagaman karya tafsir di Indonesia yang muncul sejak abad ke-17 semakin tumbuh subur dalam beberapa dekade belakangan. Salah satu faktor pendorongnya adalah karena sifat teks Al-Qur’an yang statis dan final, sementara problem manusia yang dinamis dan selalu berkembang. Munculnya berbagai literatur tafsir tak lain dalam rangka menjawab tantangan zaman sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an.

Berkaitan dengan itu, Abdul Mustaqim memandang ‘tafsir’ secara ontologis dapat dilihat dari dua aspek; sebagai proses dan sebagai produk pemikiran. Tafsir sebagai proses berarti kerja penafsiran tak akan pernah menemui babak final, sedangkan tafsir sebagai produk pemikiran berarti ia selalu subjektif sehingga kebenarannya bersifat relatif dan tentatif. (Mustaqim, 2010)

Bacaan Lainnya

Dengan kerangka ‘tafsir sebagai produk’, ia dapat mewujud sesuai kebutuhan zaman. Misalnya, tren penafsiran era Islam awal lebih didominasi oleh penafsiran melalui lisan (riwayat). Era berikutnya muncul tafsir tulisan yang dominan berbahasa Arab. Kini, tafsir berevolusi menjadi beragam gaya penyajian. Model penyajian tafsir melalui catatan kaki, hasil riset akademik, atau model tematik kolaborasi cukup banyak ditemui di Indonesia.

Tafsir Indonesia dalam Perbincangan

Disadari atau tidak, kekayaan karya tafsir di Indonesia rupaya telah lebih dulu disorot oleh kesarjanaan Barat. Hal ini terekam dalam beberapa tulisan tokoh seperti Peter G. Riddell dalam Earliest Qur’anic Exegetical Activity in Malay-Speaking State (1989), Howard M. Federspiel dalam Popular Indonesian Literature of the Qur’an (1994) dan A. H. Johns dalam Qur’anic Exegesis in the Malay-Indonesian World: an Introduction Survey (2005).

Usaha serupa disusul oleh kesarjanaan Indonesia seperti Nashruddin Baidan dalam Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (2003). Begitu juga, Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (2013) menelaah literatur tafsir Indonesia dari tahun 1960-an sampai 1990-an. Karya Gusmian ini lantas menjadi rujukan populer terkait studi tafsir nusantara.

Setahun kemudian, M. Nurdin Zuhdi dalam Pasaraya Tafsir Indonesia: dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi (2014) melengkapi keterbatasan kajian Gusmian. Zuhdi mengurai literatur tafsir Indonesia dari tahun 2000 hingga 2010. Topik serupa banyak dikembangkan dalam bentuk artikel seperti kajian Roifa, dkk tentang tafsir pra kemerdekaan (1900-1945) dan Sofyan Saha tentang tafsir era reformasi. (Muchlisin & Nisa, 2017: 240-241)

Sederet riset tersebut setidaknya menjadi bukti betapa perkembangan tafsir di Indonesia masih terus kontinu, bahkan hingga hari ini. Tulisan ini akan meninjau buah pikir mufasir Indonesia dalam lima tahun terakhir (2019-2024) secara umum. Dalam hal ini, penulis melakukan kategorisasi karya tafsir berdasarkan motif dan gaya penyusunannya menjadi tiga; diseminasi tawaran metodologis, bahan atau pembukuan hasil daras dan tematik populer.

Tawaran Pendekatan Penafsiran

Model tafsir seperti ini lahir dari riset akademik yang digarap dengan sangat serius. Ide awal dari model tafsir ini biasanya didiseminasikan melalui orasi ilmiah. Trend setter model ini misalnya Abdul Mustaqim dengan pendekatan tafsir maqashidi dan Sahiron Syamsuddin dengan pendekatan ma’na cum maghza. Tak sekadar teoretis, kedua rumusan pendekatan itu berhasil menelurkan ‘tafsir sebagai produk’ praktis-aplikatif.

Pada tahun 2019, Abdul Mustaqim mengimplementasikan tawaran pendekatannya itu melalui kitab karyanya, al-Tafsīr al-Maqāshidy. Setahun kemudian, Sahiron Syamsuddin juga menerbitkan book chapter kolaborasi berjudul Pendekatan Ma’na cum Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis. Karya ini mendapat respons positif dari para sarjana, ditandai dengan munculnya book chapter susulan yang berjudul Lebih dekat dengan Ma’na cum Maghza (2022).

Beriringan dengan itu, tahun 2019 juga terbit buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam karya Faqihuddin Abdul Kodir. Buku ini sejatinya adalah implementasi dari tawaran metode pembacaan ayat-ayat terkait perempuan dengan menerapkan prinsip kesalingan. Serupa dengan dua karya sebelumnya, buku ini meminjam gaya tafsir tematik sebagai kerangka dasar dalam penyajian penafsiran.

Bahan atau Hasil Daras

Model lain yang turut mewarnai tren tafsir belakangan adalah tafsir yang disusun untuk bahan pengajaran yang relatif ringkas (ijmali). Tafsir ini lazim mempertahankan bahasa lokal atau memadukannya dengan Bahasa Indonesia, misalnya Tafsir Al-Mubarak (2020) karya K.H. Taufiqul Hakim. Demikian juga, Tafsir Al-Bayan (2022) karya K.H. Shodiq Hamzah yang ditujukan sebagai bahan pembelajaran pada majelis pengajian beliau.

Contoh lainnya, Tafsir Al-Mahfuzh (2023) karya Ahmad Sarwat yang juga disusun sebagai bahan ajar dalam kajian rutin tafsir oleh pendiri Rumah Fiqih Indonesia tersebut. Penulisannya belum rampung dan masih terus berjalan beriringan dengan kajian rutinnya. Saat ini, karya itu sudah terbit sebanyak 7 jilid dan sampai pada Surah Ali Imran.

Sementara dalam bentuk yang lebih komprehensif, muncul Hidāyat al-Qur’ān fī Tafsīr al-Qur’ān bi al-Qur’ān (2023) karya M. Afifuddin Dimyathi yang resmi di-launching pada 10 Februari 2024 di Pondok Pesantren Darul ‘Ulum Jombang. Selain itu, lahir juga Tafsir As-Siroj (2023) karya K.H. Masruchan Bisri yang rilis pada 31 Maret 2024 di Pesantren Askhabul Kahfi Semarang. Keduanya cukup kompatibel untuk dijadikan sebagai bahan ajar ataupun referensi.

Adapun tafsir dengan model pembukuan hasil daras seperti Safīnatu Kallā Saya’lamūn fī Tafsīri Syaikhinā Maimūn (2022) karya Ismail Al-Ascholy. Tafsir ini merupakan catatan hasil ceramah pengajian rutin Tafsir Jalālain yang diampu oleh K.H. Maimoen Zubair. Oleh karenanya, tafsir ini dinisbatkan pada K.H. Maimoen Zubair. Model tafsir ini mirip dengan Tafsir Asy-Sya’rawi yang justru tidak ditulis oleh Syekh Mutawali Asy-Sya’rawi sendiri.

Contoh lainnya adalah Tafsir Asmaulhusna (2024) karya Izza Rahman yang rilis pada 06 Juli 2024 di Universitas Muhammadiyyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka). Karya ini berangkat dari hasil kajian yang ia sampaikan pada pengajian Ramadhan tentang asmaul husna di Masjid Al-Amin Petukangan, Jakarta Selatan.

Tematik Populer

Model ini disusun untuk menghadirkan bacaan populer bagi seluas-luasnya pembaca. Beberapa karya dengan model ini disajikan dalam bentuk kompilasi tulisan tentang tema tertentu. Berbeda dengan model bahan daras yang punya penekanan target pembaca khusus, model ini dikemas lebih ringan untuk keluasan jangkauan pembaca. Judul yang digunakan juga biasanya dekat dengan fenomena keseharian dan dominan memakai Bahasa Indonesia.

Contoh model ini seperti Tafsir Kebahagiaan (2019) karya Akhsin Sakho Muhammad, Wasathiyyah (2019) karya M. Quraish Shihab, Tafsir Tematik Moderasi Beragama (2022) karya kolektif tim Kemenag RI dan Tafsir Ayat-Ayat Kebangsaan (2023) karya Brilly El-Rasheed. Tafsir Tarbawi juga banyak ditulis oleh para tokoh seperti Salman Harun (2019), Nur Afif & Ansor Bahary (2020), Fakhruddin Nursyam (2021) dan Abu Ubaidah (2022).

Karya lain misalnya, dua karya tafsir tentang ayat-ayat doa yang termaktub dalam Al-Qur’an. Pertama, Tafsir Rabbanā min Kalāmi Rabbinā (2021) karya Moh. Abdul Kholiq Hasan. Ide penulisan karya ini bermula dari kultum subuh yang rutin ia sampaikan pada tahun 2009 di salah satu masjid di Surakarta. Ide itu kemudian ditindaklanjuti menjadi sebuah riset hingga terbitlah karya ini. Kedua, Tafsir Ayat-Ayat Do’a (2021) karya M. Rizqi Romdhon.

Ada juga tafsir yang ditulis secara tematik-kolektif. Salah satunya diarusutamakan oleh kanal media mainstream tafsir seperti Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air, Toleransi dan Bela Negara dalam Al-Qur’an (2021) karya tim redaksi tafsiralquran.id. Demikian juga buku Tafsir Ayat Cahaya: Mengungkap Ragam Pesan Mencerahkan Surah An-Nur Ayat 35 (2024) karya kolektif yang dimotori oleh tim redaksi tanwir.id.

Catatan Reflektif

Secara umum, sederet literatur tafsir yang terbit pada lima tahun terakhir relatif menggunakan Bahasa Indonesia dan mengarusutamakan tafsir bergaya tematik. Di sisi lain, model tafsir dari pembukuan hasil daras dapat menjadi angin segar bagi varian khazanah tafsir di Indonesia. Dengan demikian, ada potensi kemunculan karya-karya monumental lain yang berasal dari kodifikasi aktifitas penafsiran lisan, utamanya yang disiarkan via audio-visual.

Terlebih dengan big data, eksplorasi aktifitas penafsiran via ruang virtual dapat dilakukan seluas-luasnya. Peluang ini akan membuka potensi kajian terhadap temuan tafsir verbal yang sering luput dari perhatian. Sebab, selama ini definisi ‘tafsir’ masih banyak dipahami sebagai teks tertulis, alih-alih teks yang tersampai-wariskan. Meski demikian, melimpahnya khazanah tafsir tulis telah sekian lama menjadi ‘sajian menu riset’ bagi para pegiat studi tafsir nusantara.

 

Daftar Pustaka

Muchlisin, A. R., & Nisa, K. (2017). Geliat Tafsir ‘Ilmi di Indonesia dari Tafsir Al-Nur hingga Tafsir Salman. Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, 2(2), 239–257. https://doi.org/10.18326/mlt.v2i2.239-257

Mustaqim, A. (2010). Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *