Fenomena marriage is scary kini tengah menjadi tren di sosial media dimana dalam tren ini memuat kekhawatiran generasi muda mengenai penikahan. Adapun kekhawatiran-kekhawatiran yang sering diungkapkan berakar dari kekerasan dalam rumah tangga baik dalam bentuk fisik, emosional, atau psikologis, ketidaksetaraan gender, dan manajemen konflik yang buruk sehingga menyebabkan perceraian.
Tingginya angka perceraian di Indonesia juga menjadi faktor penguat kekhawatiran tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, angka perceraian mencapai 408.347 kasus dengan faktor perceraian antara lain: zina, mabuk, madat, judi, meninggalkan salah satu pihak, dihukum penjara, poligami, kekerasan dalam rumah tangga, cacat badan, perselisihan dan pertengkaran terus menerus, kawin paksa, murtad, ekonomi, dan lain-lain.
Dalam Islam hubungan suami istri yang mengarungi kehidupan rumah tangga harus didasarkan pada prinsip-prinsip kebaikan dan kepatutan. Interaksi antara suami dan istri harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Tindakan ini adalah etika dasar dalam membangun rumah tangga, dan juga berfungsi untuk memelihara dan menghidupkan semua kebajikan yang dirasakan secara seimbang oleh kedua belah pihak.
Salah satu prinsip dalam Al-Qur’an yang dapat menjawab keresahan mengebai marriage is scary terdapat dalam Surah An-Nisa ayat 19 dimana didalamnya menyatakan prinsip perilaku yang dikenal sebagai mu’āsyarah bil ma’rūf yang berarti berlaku adil dalam hal tempat tinggal dan penghidupan, serta melembutkan ucapan.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya.”
Para ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini turun terkait dengan kebiasaan penduduk Madinah pada masa jahiliah dan awal Islam. Saat seorang laki-laki meninggal, putra atau kerabat laki-lakinya menutupi jandanya dengan pakaian sebagai tanda bahwa mereka berhak menikahinya. Jika mereka ingin, mereka dapat menikahi janda tersebut tanpa memberi mahar baru, kecuali mahar yang pernah diberikan oleh almarhum (Zuhaili, 2003: 236).
Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya bahwa sebelum datangnya Islam, perempuan adalah kaum yang tertindas dan sering kali kehilangan hak-haknya. Allah SWT kemudian menetapkan hak-hak bagi mereka dalam pernikahan dan melarang perlakuan buruk terhadap mereka. Hak pertama yang diberikan adalah larangan untuk memperlakukan perempuan sebagai warisan, serta larangan untuk menekan mereka agar menyerahkan harta mereka sebagai tebusan diri.
Hak kedua yang ditetapkan adalah perlakuan baik terhadap perempuan, termasuk dalam tutur kata yang lembut, sikap yang baik, menjaga penampilan, serta berlaku adil dalam memberikan nafkah dan giliran. Hal ini disebabkan karena perempuan memiliki perasaan, emosi, dan sensitivitas yang tajam yang perlu diperhatikan dengan bijak.
Allah SWT dalam firman-Nya, (وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ) “dan pergaulilah mereka para wanita secara patut,” mengecam keras perilaku buruk yang pernah terjadi pada masa jahiliah. Pada masa itu, laki-laki sering bersikap kasar, keras, dan sewenang-wenang terhadap perempuan, menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap martabat dan hak-hak mereka.
Hak ketiga adalah hak perempuan untuk menerima mahar mereka secara penuh. Sebelum Islam, jika seorang suami ingin menceraikan istrinya, ia sering kali berusaha merebut kembali mahar yang telah diberikan dengan berbagai cara, termasuk dengan cara menuduh istri melakukan perbuatan yang memalukan agar istri merasa terpojok dan bersedia menyerahkan kembali mahar tersebut (Zuhaili, 2003: 236-239).
- Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berpendapat bahwa beberapa ulama menginterpretasikan kalimat “dan pergaulilah mereka dengan ma’ruf” sebagai amanah untuk berlaku baik kepada istri yang disayangi, namun pandangan lain memperluas arti ma’ruf untuk mencakup juga tidak mengganggu atau mendorongnya. Di sisi lain, Asy-Sya’rawi berpendapat bahwa konsep ini juga berlaku terhadap pasangan yang tidak dicintai lagi, membedakan antara ma’ruf yang diwajibkan dan mawaddah, yang bertujuan untuk mempererat ikatan pernikahan dengan sikap baik, kegembiraan dalam kehadirannya, dan sebagainya, yang tidak sama dengan ma’ruf yang bisa dilakukan tanpa adanya rasa cinta ((Shihab, 2009: 382)
Ayat ini juga menegaskan bahwa istri memiliki hak untuk menerima perlakuan yang baik (ma’ruf) seiring dengan tanggung jawab. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks pernikahan, kedua pasangan memiliki tanggung jawab dan hak yang saling melengkapi, meskipun tidak identik.
Meskipun tidak diatur secara ketat, hal ini mendorong suami dan istri untuk bekerja sama dalam pembagian tugas rumah tangga yang adil dan bermanfaat bagi seluruh keluarga. Meskipun suami bertanggung jawab secara finansial terhadap keluarga, istri juga diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan penghasilan keluarga melalui pekerjaan (M. Quraish Shihab, 2009: 383).
Kewajiban istri terhadap suami yang tercantum dalam buku nikah meliputi: ketaatan, kesopanan, keadilan, serta menjalankan peran sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kewajiban ini menjadi tolok ukur untuk menilai apakah suami dan istri telah menjalankan perannya dengan benar. Di sisi lain, Islam memberikan hak-hak kepada perempuan, seperti hak atas perlakuan baik, nafkah lahir dan batin, kepemilikan harta pribadi dan bersama, serta hak mengajukan gugat cerai dan mendapatkan warisan.
Namun, banyak perempuan yang belum memahami hak-hak tersebut karena berbagai alasan, seperti pendidikan rendah dan pengaruh budaya atau agama yang keliru. Masyarakat sering menganggap bahwa peran istri hanyalah melayani suami tanpa adanya timbal balik, mengabaikan hak-hak dan potensi yang dimiliki perempuan (Ilyas, 2003: 122).
Menurut Husein Muhammad, kesetaraan gender adalah kunci untuk membangun rumah tangga yang harmonis. Keluarga dianggap sebagai fondasi masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga penting untuk merujuk pada tujuan perkawinan dalam Islam. Dalam Islam, perkawinan adalah akad atau perjanjian yang menghalalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizhan), menandakan bahwa perkawinan adalah hubungan yang harus diperhatikan dengan serius.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengidentifikasi tiga tujuan utama pernikahan. Pertama, pernikahan bertujuan untuk melestarikan keturunan sebagai upaya melanjutkan kehidupan manusia di bumi, yang disebut prokreasi. Kedua, pernikahan adalah cara untuk menyalurkan hasrat biologis dan menjaga alat reproduksi. Ketiga, melalui pernikahan, diharapkan kedua belah pihak dapat menemukan ketenangan jiwa, sehingga pernikahan menjadi sumber kebahagiaan dan kedamaian.
Ketiga tujuan ini seharusnya menjadi norma dasar dalam pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan kedua belah pihak dalam rumah tangga, baik untuk kebutuhan personal (seksual) maupun kepentingan bersama. Pernikahan idealnya menjadi wadah untuk menciptakan relasi kemanusiaan yang sehat dan harmonis, bukan tempat konflik atau bencana. Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan untuk saling menghormati hak dan martabat satu sama lain, serta menghargai pendapat masing-masing (Muhammad, 2022: 276-280).
Prinsip mu’āsyarah bil ma’rūf, yang berarti memperlakukan pasangan dengan baik dan adil dalam pernikahan, memiliki peran penting dalam menciptakan rumah tangga yang harmonis, aman, dan penuh kasih sayang. Di tengah fenomena marriage is scary, penerapan prinsip ini menjadi semakin relevan untuk meredakan kekhawatiran generasi muda terhadap pernikahan.
Salah satu kekhawatiran utama generasi muda adalah adanya kekerasan dalam rumah tangga. Prinsip mu’āsyarah bil ma’rūf menuntut pasangan untuk saling menghormati, bersikap lembut, dan empati satu sama lain. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan, baik fisik, emosional, maupun psikologis, dapat dihindari, menjadikan rumah tangga sebagai tempat yang aman bagi kedua belah pihak.
Ketidaksetaraan gender juga menjadi perhatian dalam konteks pernikahan. Melalui prinsip mu’āsyarah bil ma’rūf, Islam menekankan pentingnya keadilan dalam pembagian tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga. Suami dan istri diharapkan saling adil dalam sikap dan tindakan, yang pada akhirnya dapat mencegah konflik dan perceraian.
Kekhawatiran generasi muda terhadap pernikahan sering kali berakar pada pengalaman buruk yang mereka saksikan. Dengan konsistensi dalam penerapan mu’āsyarah bil ma’rūf, pernikahan dapat menjadi contoh hubungan yang saling mendukung dan penuh kasih sayang. Ini tidak hanya mengatasi ketakutan terkait pernikahan tetapi juga mengembalikan keyakinan bahwa pernikahan dapat menjadi sumber kebahagiaan dan kesejahteraan.
REFERENSI
Al-Zuhaili, Wahbah. (2003). Tafsir Al-Munir: Aqidah, Syariah, Manhaj. Jilid 2. Damaskus: Dar Al-Fikr.
Badan Pusat Statistik Indonesia. Jumlah Perceraian Menurut Provinsi dan Faktor, 2023. Diakses pada 15 Agustus 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/YVdoU1IwVmlTM2h4YzFoV1psWkViRXhqTlZwRFVUMDkjMw==/jumlah-perceraian-menurut-provinsi-dan-faktor–2023.html?year=2023
Ilyas, Hamim. (2003). Perempuan Tertindas: Kajian Hadis-hadis “Misoginis”. Yogyakarta: elSAQ Press & PSW.
- Quraish Shihab. (2009). Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 2. Jakarta: Lentera Hati.
Muhammad, Husein. (2022). Perempuan, Islam, dan Negara. Cet. 1. Yogyakarta: IRCiSoD.