Sebuah Pemetaan dari Catatan Terhadap Naskah Pidato Guru Besar (2019-2022)

Pemetaan tren riset studi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia bisa dilakukan melalui penelusuran terhadap beberapa gagasan yang disampaikan oleh para guru besar ‘baru’ di bidang studi ini. Melalui pembacaan atas naskah pidato guru besar studi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia (2019-2022), ada beberapa wacana yang dilontarkan dan kemudian menjadi tren bagi studi ini serta dapat dibagi menjadi tiga tipologi: metodologi baru dalam menafsirkan al-Qur’an; vernakularisasi dan perkembangan tafsir Nusantara;  serta gender dalam tafsir.

Metodologi Baru dalam Menafsirkan al-Qur’an

Bacaan Lainnya

Argumen utama dari tipologi pertama ini ialah menjembatani realitas teks yang statis dengan konteks yang dinamis. Secara epistemologis, tawaran metodologi ‘baru’ merupakan upaya untuk mengaktualisasikan cara pandang ontologisnya mengenai status al-Qur’an sebagai hudā li al-nās yang berlaku tanpa mengenal batasan dimensional; waktu dan tempat (shāli li kull zamān/ azminah wa makān/amkinah). Sisi pedagogis al-Qur’an menjadi main concern dari model riset ini.

Abdul Mustaqim, UIN Sunan Kalijaga, Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Islam (2019). “Tafsir Maqashidi” menjadi nomenklatur dari gagasan Mustaqim yang ingin menghadirkan metodologi tafsir ‘baru’ yang mengadopsi pendekatan maqāshid al-syarī‘ah dengan membawa spirit moderasi beragama.

Jika menelisik latar belakangnya, ada tiga ‘kegelisahan’ yang memantik lahirnya gagasan metodis ini. Pertama, wacana moderasi beragama dan perlunya rumusan metodologi orisinil dari rahim Islam yang membawa spirit washatiyah dalam menafsirkan al-Qur’an; antara kutub ‘ekstrem’: literalis dan liberalis. Kedua, memungsikan maqāshid al-syarī‘ah sebagai pisau analisis dalam tafsir yang tidak terbatas pada ayat-ayat hukum. Ketiga, problem epistemologis “Tafsir Maqashidi” yang perlu direkonfigurasi dan direkonstruksi.

Aksin Wijaya, Menghadirkan Pesan al-Qur’an yang Bermakna (Dari Epistemologi ke Aksiologi) (2021). Dari judul naskahnya, Wijaya tidak secara ‘terang-terangan’ menunjukkan model pendekatan dan metode yang ingin ia tawarkan dalam pusaran wacana metodologi penafsiran al-Qur’an. Sebagaimana Mustaqim dengan Tafsir Maqashidi-nya dan Syamsuddin dengan Maʿnā-cum-Maghzā-nya yang langsung menjadikan usulan metodisnya sebagai istilah teknis utama dalam judul naskah guru besarnya.

Wijaya lebih memilih untuk memperteguh efektivitas dari dua rumusan metode hermeneutika yang dianggapnya paling relevan yaitu hermeneutika signifikansi Nasr Hamid Abu Zayd dan hermeneutika negosiasi Khaled Abou el-Fadl dan melengkapinya dengan piranti etis yang disusunnya sendiri dan diberi nama, “Etika Kendali Diri”.  Selanjutnya, ia menyebut penggabungan keduanya dengan istilah, “Penafsiran al-Qur’an yang Bijak”.

Jika dicermati, ada tiga hal yang memotivasi Wijaya mengusulkan buah pikir metodisnya. Pertama, teologisasi metodologi tafsir dan tafsir itu sendiri, atau yang disebut olehnya dengan penyingkapan kebenaran romantis-teologis. Kedua, dominasi orientasi pencarian kebenaran metodologis alih-alih aksiologis. Ketiga, kurangnya perhatian pada prinsip etis penafsiran, baik bagi sang mufasir maupun bagi audiens tafsir.

Sahiron Syamsuddin, UIN Sunan Kalijaga, Pendekatan Maʿnā-cum-Maghzā: Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran (2022). Meskipun berbeda secara istilah, Maʿnā-cum-Maghzā terkesan memiliki semangat yang sama dengan Tafsir Maqashidi. Melalui Maʿnā-cum-Maghzā, Syamsuddin ingin turut berkontribusi menghadirkan sebuah metode penafsiran al-Qur’an kontekstual yang memiliki nuansa percampuran tradisi ‘Timur’, ulūm al-Qur’ān/ tafsīr, dan ‘Barat’, hermeneutika.

Ada tiga rasionalisasi yang bisa dicatat di balik tawaran metodis ini. Pertama, ragam tipologi pemikiran tafsir al-Qur’an kontemporer; quasi-objektivis konservatif, subjektivis, quasi-objektivis progresif, dan tipologi yang paling relevan; quasi-objektivis progresif. Kedua, ‘penyempurnaan’ tipologi quasi-objektivis progresif dengan Maʿnā-cum-Maghzā sebagai produk balanced hermeneutics. Ketiga, keluar dari perdebatan penerimaan hermeneutika sebagai pendekatan dan metode penafsiran al-Qur’an menuju asimilasi hermeneutika dengan ulūm al-Qur’ān/ tafsīr.

Vernakularisasi dan Perkembangan Tafsir Nusantara

Tipologi kedua ini mencoba untuk mencari dan menelaah setidaknya dua hal. Pertama, memotret berbagai ekspresi keberagamaan (keberIslaman) yang terekam dalam ragam aktivitas yang bisa disebut sebagai “tafsir yang hidup” atas al-Qur’an atau dikenal dengan disiplin kajian Living Qur’an.

Kedua, mengkaji ragam fenomena vernakularisasi yang mencerminkan adanya adaptasi dan transformasi dalam dialektika intelektual pemahaman terhadap al-Qur’an. Bagian ini umumnya tidak terpisahkan dari kajian atas literatur-literatur Islam yang lahir melalui perkawinan dengan budaya Indonesia—seperti halnya terjemahan, tafsir berbahasa lokal, maupun manuskrip.

Jajang A. Rohmana, Menyampaikan Pesan Al-Qur’an Melalui Bahasa Sunda: Tafsir Al-Qur’an di Jawa Barat (2022). Rohmana memberi perhatian yang intens pada fenomena vernakularisasi yang terjadi di wilayah Jawa Barat. Riset-risetnya yang bergelut dengan naskah-naskah terjemah maupun tafsir berbahasa Sunda telah menjadikannya salah satu pakar dalam fokus kajian ini.

Dalam naskah guru besarnya, Rohmana memperlihatkan beberapa risetnya, mulai dari pengaruh budaya dan bahasa Sunda yang memiliki ciri khas ketika dijadikan sebagai mediator dalam membumikan pesan-pesan al-Qur’an hingga kajian yang berupaya merekonstruksi peta sejarah intelektual Islam di Jawa Barat dengan menemukan data bahwa para penulis dan audiens tidaklah monolitik, bukan hanya didominasi oleh kyai dan santri dalam kepentingan pedagogis.

Ketertarikannya terhadap isu ini dibangun melalui pembacaan desentralisasinya. Fenomena keagamaan yang bergulir di kawasan Eropa sampai Melayu-Nusantara perlu dilihat sebagai sebuah dinamika intelektual yang memiliki prosesnya yang khas dan tidak terpisahkan dari genealogi tradisi yang mata rantainya tidak bisa diputuskan dari kawasan Timur Tengah sebagai sentral.

Ahmad Baidowi,  Urgensi Pengembangan Studi Al-Qur’an dan Tafsir (di) Indonesia (2022). Pada pidato guru besarnya, Baidowi terlihat memposisikan dirinya sebagai pengamat perkembangan studi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia. Ia ingin membuktikan bahwa pasaraya kajian al-Qur’an dan tafsir di Indonesia telah mendapatkan atensi dan anstusiasme yang cukup riuh, serta memberikan beberapa catatannya sebagai bagian yang perlu didiskusikan ulang dan dikembangkan.

Baidowi mencatat berbagai perkembangan dan memberikan catatan referensial atas karya-karya yang memiliki pengaruh signifikan di masing-masing lanskap yang menjadi objek pengamatannya. Mulai dari studi al-Qur’an yang berisi informasi perihal kajian manuskrip, Living Qur’an sampai perjumpaannya dengan era digital; lalu Ulūm al-Qur’ān yang dilengkapinya dengan dokumentasi historis persebaran karya-karya bergenre ulūm al-Qur’ān yang ditulis oleh para cendekiawan Indonesia.

Kemudian Tafsir al-Qur’an yang dideskripsikan secara dokumentatif sebagaimana pada bagian ulūm al-Qur’ān, lalu ditambahkan dengan ulasan dinamika metodologi tafsir di Indonesia serta AIAT sebagai sebuah lembaga independen yang semakin memberikan warna bagi geliat intelektualisme dalam studi ini.

Gender dalam Tafsir

Tipologi terakhir ini secara spesifik ingin membawa kajian tafsir masuk pada arena perspektif yang responsif terhadap isu gender. Pelibatan tafsir ke dalam isu ini tidak bisa dilepaskan dari atau sama halnya argumen utama dengan tipologi pertama. Namun ada satu poin tambahan lainnya yaitu berkecimpungnya tafsir dalam ranah ini merupakan bentuk klarifikasi. Sebab tafsir dianggap sebagai salah satu sumber yang melanggengkan pemahaman agama (Islam) yang mendukung adanya posisi hirarkis atau ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Kusmana, Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika Pembacaan Al-Qur’an Feminis (2022). Dalam pidato guru besarnya, Kusmana berupaya memotret ragam upaya yang dilakukan oleh para pegiat studi ini dan menawarkan tipologisasi ‘baru’ yang merupakan hasil pemadatannya terhadap dua hasil tipologisasi yang diajukan oleh Hadia Mubarak, Women’s Contemporary Reading of the Qur’an, dan Aysha Hidayatullah, Feminist Edges of the Qur’an.

Mubarak menginventarisasi ragam pembacaan penafsir feminis dan membaginya pada tiga tipologi: pembacaan skripturalis, pembacaan egalitarian, dan pembacaan kritis. Hidayatullah mengajukan empat tipa tipologi: pendekatan historis kontekstual, pendekatan intratekstual, pendekatan tauẖīdī, dan pendekatan kritis.

Kusmana kemudian menghadirkan dua tipologi ‘baru’ yang memadatkan kedua tawaran sebelumnya yaitu: pembacaan egalitarianisme dan pembacaan androsentrisme. Secara sederhana, pembacaan egalitarianisme ialah sebuah cara membaca (menafsirkan) al-Qur’an yang menekankan bahwa al-Qur’an mendukung kesetaraan dan anti patriarki—hal ini sangat dipengaruhi oleh persepsi subjektif penafsirnya.

Lalu pembacaan androsentrisme ialah ialah model pembacaan yang menerima sisi androsentris (laki-laki sebagai pusat) al-Qur’an. Alih-alih menyetir al-Qur’an agar sesuai dengan ideologi yang dianut para feminis, para pengkaji di tipologi ini lebih ‘jujur’ menerima sisi androsentris al-Qur’an yang secara redaksional eksis dan lebih tertarik untuk mencari rasionalisasi di baliknya secara historis serta objektif. Konsekuensinya, model tipologi kedua ini akan berupaya untuk bersikap kritis terhadap hasil-hasil pembacaan yang diproduksi oleh tipologi pertama.

Bahan Bacaan

Abdul Mustaqim, “Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Moderasi Beragama”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UIN Sunan Kalijaga, 2019, h. 1-78.

Ahmad Baidowi, “Urgensi Pengembangan Studi Al-Qur’an dan Tafsir (Di) Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UIN Sunan Kalijaga, 2022, h. 1-58.

Aksin Wijaya, “Menghadirkan Pesan Al-Qur’an yang Bermakna: Dari Epistemologi ke Aksiologi”, Orasi Ilmiah Guru Besar, Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2021, h. 1-83.

Jajang A Rohmana, “Menyampaikan Pesan Al-Qur’an Melalui Bahasa Sunda: Tafsir al-Qur’an di Jawa Barat”, Orasi Ilmiah Guru Besar, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2022, h. 1-26.

Kusmana, “Maksud Tuhan dalam Penafsiran Manusia: Dinamika Pembacaan Al-Qur’an Feminis”, Orasi Ilmiah Guru Besar, UIN Syarif Hidayatullah, 2022, h. 1-59.

Sahiron Syamsuddin, “Pendekatan Ma’na cum Maghza Atas Al-Qur’an: Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, UIN Sunan Kalijaga, 2022, h. 1-45.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *