Menelusuri Filsafat Cinta dalam Al-Qur’an: Anugerah yang Menyimpan Misteri atas Ontologinya

Tidak bisa terelakan bahwa, cinta merupakan bagian yang sangat intim dalam kehidupan manusia. Setiap dari mereka memiliki pengalaman serta kesadaran yang bervariasi tentang cinta yang hadir di masa lalu bahkan sampai saat ini. Kendati demikian, ketergantungan manusia atas pengalaman cintanya menyebabkan tidak seorangpun yang dapat memberikan pemahaman objektif terkait cinta yang kerap kali menyelimuti hati mereka yang tanpanya kehidupan yang berarti ini tidak bisa dijalanai secara maknawi.(Palmquist, 2007: 414-415)

Sebagai satu entitas yang bersifat abstrak dan eksisten dalam diri manusia, cinta merupakan suatu pembahasan yang tetap menjadi teka-teki bagaimana dia bisa menjadi ada. Apa itu cinta? Bagaimana mengetahui bahwa itu cinta? Adakah alasan dibalik rasa cinta? Artikel ini hendak mengelaborasi kembali makna cinta yang tidak bisa dindera oleh mata, namun hadir di dalam hati berupa rasa. Sebuah entitas yang digaungkan para pujangga dalam mengilustrasikan indahnya pesona seorang kekasih serta pujaan hatinya. Sebagai batasan, cinta yang penulis maksud ialah cintanya makhluk, lain halnya dengan cintanya kholiq sebagaimana ter-maktub dalam Q.S Ali Imran ayat 31 dan ayat 76, serta ayat-ayat lain yang serupa. Hal ini berbeda, sebagaimana manusia tidak bisa menyamai melihatnya makhluk dengan melihat kholiq begitupun dengan sifat-sifat lainnya. (Al-Bantani, 2021: 27)

Menurut Paul Tillich, cinta merupakan entitas yang mendampingi kehidupan manusia, sedangkan kehidupan berada pada kondisi aktualnya. Hal ini mengindikasiakan bahwa, ia berdiri sendiri sebagai sesuatu yang lain yang bertalian dengan kehidupan. (Palmquist, 2007: 418-419) Cinta yang kerap kali dirasakan oleh manusia berkorelasi terhadap pengenalan dan pengetahuannya akan sesuatu yang menjadi objek cinta seperti diri sendiri, kebaikan, keindahan, objek mutlak, dsb. (Al-Ghazali, 2007: 20-30) Bahkan filsafat itu sendiri bermuara atas nama cinta (philos), yakni cinta akan kebijaksanaan (Philoshophia).(FR, 2024: 6) Namun adakalanya cinta hadir tanpa disadari tanpa orang tahu sedikitpun apa yang mereka cintai.

Sebagai suatu relasi absolut dengan kehidupan, mungkin ia rasa dan emosi, tapi tatkala sadar karena rasa/emosi tersebut memudar, bisakah seseorang berkata tanpa rasa, dan mengklaim begitu saja tanpa bukti nyata bahwa itu adalah cinta. Lantas, apa makna otentik dari cinta sebenarnya? Apakah cinta hanya eksis sebagai cinta ketika manusia merasakannya? Jika demikian, akan sangat menyesatkan apabila memahami cinta sebagai perasaan tanpa didasari komitmen kehendak, terlebih dalam tekanan romantik, karena jika cintanya pudar pertalian akan dianggap selesai, namun sebagian besar realita menolak demikian. (Palmquist, 2007: 421-422) Lantas, bagaimana Al-Qur’an menjelaskan?

Mengingat bahwa, Al-Qur’an merupakan hidangan bagi para pembacanya ialah sebuah realita. (Shihab, 2002: v) Pembahasanya yang teramat universal mencakup segala sesuatu yang ada bahkan akan ada di dunia. Hal ini berlaku pula untuk mereka yang hendak menggali makna cinta, karena ia kerap kali eksis dalam ruang lingkup sosio-historis kehidupan manusia, dan hal ini jelas disebutkan dalam salah satu firman-Nya, yang berbunyi:

…وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗ… ٢١

“…Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang…” (Q.S Ar-Rum [30]: 21)

Dalam Al-Qur’an sendiri, ada dua kata yang di dalamnya memiliki makna cinta: Pertama, الود disebutkan sebanyak 28 kali. Kedua, الحب disebutkan sebanyak 95 kali. (Baqi 1992) Kendati demikian, kedua kata tersebut maknanya tidak selalu diartikan cinta, menurut Al-Ashfahani lafadz الود mulanya bermakana menyukai serta berharap memiliki. (Al-Ashfahani, 2017: 736) sedangkan lafadz الحب barulah yang memang semula memiliki arti cinta bahkan berlebih. Kemudian محبة yakni mecintai berarti menginginkan sesuatu yang terlihat dan teranggap baik. Dan dibalik itu lafadz tersebut memiliki arti biji/benih sebagaimana tertera pada Q.S Al-Baqarah ayat 261 (Al-Ashfahani, 2017: 447-448) Sebagaimana ulama katakan bahwa cinta adalah fitrah. (Shihab, 2019: 1) Adapun fitrah merupakan asal dari segala fenomena.

Walaupun terkesan dekat bahkan sama persis, pada prinsipnya kedua kata ini (cinta dan suka) benar-benar berbeda sama sekali, cinta bukan menyukai begitupun sebaliknya. Dalam sebuah realitas, intuisi kerap kali dihadapkan dengan fenomena keduanya yang tampak serupa. Suka tidak berarti cinta, karena cinta memiliki makna yang lebih spesifik dalam arti buta. Mungkin fenomena cinta paling layak ditemui dalam novel karya Nizami Ganjavi dengan judul Layla Majnun. Sebagai gambaran bagaimana orang yang dimabuk cinta hingga menjadi gila (majnun).

Bisa dikatakan bahwa Qais (majnun) sangat menginginkan Layla karna ia adalah cintanya, meski demikian cinta berpotensi penuh harap ingin memiliki, namun keinginan itu sendiri bukanlah cinta sejatinya. (Al-Ashfahani, 2017: 449) Jika rasa suka, rindu, ingin, dan semacamnya mengacu atas nama cinta, lantas cinta itu sendiri mengacu kemana? Apakah dapat dikatakan mengacu kepada objek yang dicintainya? Jika iya, maka cinta tidak boleh berubah keadaanya, sedangkan objek dapat berubah. Jika dari perubahan itu menjadikannya benci, maka cinta dianggap gugur dan menjadi suka saja, karena suka bisa relatif, namun cinta tidak. (Mokorowu, 2016: 16) Hal ini sebagaimana disinggung oleh Abdurrahman Al-Kautsar dibeberapa sosial media bahwa, termasuk mencintai ialah kesiapan diri menerima rasa sakit dari objek yang dicintai. Artinya meskipun mengalami perubahan, seperti kecewa dsb. Cinta tetaplah cinta itu sendiri, sebagai sebuah elemen kehidupan yang di dalamnya kemuliaan bersemayam dan tidak tersentuh energi negatif serta berbahaya. (Laksono, 2022: 113)

Jika mengingat kembali, ayat di atas (Q.S Ar-Rum [30]: 21) rasanya tidak asing di mata dan telinga, bahwa ayatnya sering tercantum dalam surat undangan pernikahan dan dilantunkan oleh para qāri’ bagi mereka yang hendak memadu cinta lantas mengekpresikannya. Adapun para mufassir memiliki interpretasi beragam terkait kata tersebut. Menurut Al-Qurtubi, Ibnu Abbas dan Mujahid memaknai kata مودة sebagai hubungan intim, Sedangkan As-Suddi memahaminya sebagai cinta. Kendati memaknai kata مودة dengan hubungan intim, Ibnu Abbas sendiri juga memiliki pemahaman serupa dengan As-Suddi. (Al-Qurthubi, 2009: 39-40)

Begitupun Muhammad Nawawi Al-Bantani memiliki pemahaman serupa dengan keduanya, yakni مودة memiliki arti محبة (cinta). (Al-Bantani, 2019: 228) Demikian pulalah yang dipahami Ibnu Katsir sebagaimana ter-maktub dalam tafsirnya. (Katsir, 1998: 278) Az-Zuhaili memahami cinta sebagai modal untuk mereka (suami-isteri) agar dapat berkolaborasi dengan sinergi, saling membantu tatkala menemui jalan buntu (masalah). Hal ini membuat mereka saling melengkapi, menjadikannya sebuah pondasi utuh dan kuat sehingga kebersamaan membuat mereka terasa nyaman, tentram, dan terwujudnya keharmonisan. (Az-Zuhaili, 2016: 92)

Pada akhirnya, walaupun مودة secara bahasa berarti suka, adakalanya ia merujuk pada inti maknanya, yakni محبة (cinta). Hal itu mendorong gairah serta rasa, membangun komponen utuh dan sistematis. Sebagaimana dijelaskan di atas, selain bermakna cinta ia bermakna biji/benih. Dan inilah asal mula kejadian, seperti pohon sebelum berbuah, mulanya ia hanya sebutir biji (cinta) yang ditanamkan, darinyalah akar, batang, ranting, daun terbentuk, kemudian lahirlah buah. Maka Rahmah laksana air yang menyiraminya.

Demikian pula dengan benih (cinta) dalam rumah tangga, tidaklah salah Ibnu Abbas memaknai مودة sebagai hubungan intim, karena adakalanya ia merupakan ekspresi dan salah satu manifestasi dari apa yang disebut sebagai cinta. Mengapa adakalanya? karena pada dasarnya, hubungan intim dapat dilakukan walau hanya sekedar pemenuhan hawa nafsu semata, diluar akad yang sah, bukan atas dasar cinta. Meski keduanya merasa saling cinta, namun jika pada hakikatnya membawa dampak negatif maka hal itu tidak bisa dikatakan cinta. Lain halnya dalam ruang lingkup rumah tangga, Benih atas dasar cinta ditanamkan dalam rahim, membentuk sel-sel baru seiring berjalannya waktu, hingga pada akhirnya melahirkan cinta yang baru. Dan rahmah adalah kasih sayang yang tercurah dari seorang laki-laki kepada istri (dalam segala kondisi) tatkala ia dilanda suatu musibah. (Al-Qurthubi, 2009: 40)

Adanya fenomena demikian mengindikasikan bahwa cinta yang sebenarnya memang murni pemberian dari Allah Swt. yang ditanamkan dalam hati manusia untuk mendampingi kehidupan. Dan karenanyalah semua menjadi ada, bahkan dapat dikatakan adanya dunia ini adalah manifestasi cinta itu sendiri, cinta terhadap eksistensi, keindahan, dan kehidupan. (Shihab, 2019: 12) Hal ini sebagaimana yang digagas oleh Plato bahwa, cinta ialah sumber kekuatan laksana energi luar biasa yang mana tujuan akhirnya mengarah kepada sang idea. (Laksono, 2022: 113) Hal inilah yang mengiring persatuan manusia yang semula merupakan objek terpisah, yakni persatuan antara pecinta dengan yang dicinta, termasuk di dalamnya cinta antara pencipta dengan yang dicipta sebagai satu-kesatuan yang esensial. (Palmquist, 2007: 419)

Cinta menghendaki perkenalan, perkenalan menghendaki pertemuan, pertemuan menghendaki kebahagiaan, kebahagiaan yang bermuara atas nama cinta menghendaki keabadian. Cinta sebagai eksistensi bermanifestasi menjadi sebagian kecil akan tanda-tanda kebesaran Tuhan. Cinta merupakan rahasia sejati, jika bukanlah ia sebuah rahasia, maka sudah tidak menarik lagi untuk menyingkapnya. (Vedu Pamungkas Putra, dkk, 2022: 805) Oleh karenanya bagaimana ia bisa hadir begitu saja ada tanpa kita sadari, masihlah sebuah misteri.

Referensi

Al-Ashfahani, Ar-Raghib. 2017. Al-Mufradat Fi Ghoribil Qur’an. 1st ed. Jilid 1 Depok: Pustaka Khazanah Fawa’id.

———. 2017b. Al-Mufradat Fii Ghoribil Qur’an. 1st ed. Jilid 3. Depok: Pustaka Khazanah Fawa’id.

Al-Bantani, Muhammad Nawawi. 2019. Tafsir Munir: Marah Labid. 7th ed. Jilid 2. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.

———. 2021. Nuruzzholam. Edited by Mohammed Abdulsalam Ibrahim. 2nd ed. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. 2007. The True Power Of Love. 1st ed. Bandung: Mizan.

Al-Qurthubi, Muhammad. 2009. Tafsir Al-Qurthubi. Jilid 14. Jakarta: Pustaka Azzam.

Az-Zuhaili, Wahbah. 2016. Tafsir Al-Munir. 1. Jilid 16. Jakarta: Gema Insani.

Baqi, Muhammad Fuad Abdul. 1992. Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadzil Qur’an. 3rd ed. Darul Fikri.

FR, Imaduddin. 2024. Filsafat Bagi Pemula. 1st ed. Yogyakarta: PT.Anak Hebat Nusantara.

Katsir, Imaduddin Ibnu. 1998. Tafsir Al-Qur’an Al-’Adzim: Ibnu Katsir. 1st ed. Jilid. 6. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.

Laksono, Alfian Tri. 2022. “Memahami Hakikat Cinta Pada Hubungan Manusia.” JAQFI: Jurnal Aqidah Dan Filsafat Islam 7 (1): 104–16.

Mokorowu, Yanny Yeski. 2016. Makna Cinta. 1st ed. Yogyakarta: PT Kanisius.

Palmquist, Stephen. 2007. Pohon Filsafat. 2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jilid 1. Tanggerang: Lentera Hati.

———. 2019. Jawabannya Adalah Cinta. 1st ed. Tanggerang Selatan: Lentera Hati.

Vedu Pamungkas Putra, Multi Saridewi, Wawan Hernawan. 2022. “Konsep Memadu Cinta Dalam Pernikahan: Studi Kritik Hadis” 8: 798–807.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *