Al-Qur’an diturunkan secara bertahap dalam rentang waktu 23 tahun. Salah satu fungsinya adalah untuk pemantapan hati (QS. Al-Furqan [25]: 32). Hal ini menandakan adanya pertimbangan tertentu atas kondisi penerima wahyu sekaligus menyesuaikan kultur peradaban Arab yang berkembang kala itu, yakni lisan (Zaid, 2001: 126-127).
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa pedoman baku dalam penulisan al-Qur’an adalah menggunakan rasm mushafi (Sahin, 2007: 34). Surah-surah al-Qur’an disusun berdasarkan tartib al-mushaf, yang diawali al-Fatihah dan diakhiri al-Nas. Padahal, kronologi pewahyuan tidaklah tersusun sedemikian rupa, sebab al-Fatihah bukanlah wahyu yang pertama diturunkan (al-Suyūṭī, 2012: 43).
Penelusuran urutan wahyu diharapkan membantu memahami konteks historis, memperoleh wawasan mendalam tentang bagaimana pesan-pesan ilahi disampaikan dan perkembangan ajaran Islam diterima (Saeed, 2016: 97). Tulisan ini akan membahas urgensi memahami urutan wahyu dalam tafsir al-Qur’an, serta bagaimana urutan tersebut mempengaruhi pemahaman terhadap teks.
Kronologi Pewahyuan, Penulisan al-Qur’an, dan Konteks Historis Wahyu Masa Awal
Dalam wacana studi Qur’an, terutama kajian yang membahas surah-surah al-Qur’an, terdapat dua klasifikasi susunan surahnya. Bentuk pertama adalah susunan surah sebagaimana terdapat dalam mushaf masa kini sesuai instruksi Nabi (tauqifi). Adapun bentuk keduanya ialah susunan surah berdasarkan kronologi turunnya ayat, dimulai dari ayat/surah yang pertama turun sampai yang terakhir diturunkan (Armainingsih, 2013: 13).
Berbeda dengan susunan mushaf (tartib al-mushaf) yang diyakini sebagai tauqifi –kecuali Zarqani yang berpendapat ijtihadi (Al-Zarqani, 2010: 192-200)-, proses penyusunan al-Qur’an secara kronologis (tartib al-nuzul) bersifat ijtihadi karena bersumber dari atsar dan ra’yi. Di antara tokoh yang menerapkan susunan ini ialah Muhammad Abid al-Jabiri.
Karya tafsir al-Jabiri berjudul Al-Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m. Di dalamnya, menggunakan urutan kronologis untuk mengkontekstualkan pemahaman terhadap tafsir al-Qur’an. Menurutnya, letak tujuan sebenarnya dari pemahaman tartib al-nuzul adalah untuk mengetahui proses pembentukan teks al-Qur’an yang berkesinambungan (Al-Jabiri, 2006: 243).
Wahyu pertama memulai perjalanan risalah Islam, kemudian wahyu-wahyu awal yang diturunkan seperti surah Al-Muddatsir dan Al-Muzzammil berfaidah untuk mempersiapkan Nabi Muhammad dalam menghadapi tantangan dakwah (Wijaya, 2016: 47). Seiring waktu, wahyu-wahyu menyesuaikan diri dengan perubahan situasi sosial, politik dan respons terhadap tantangan yang dihadapi.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah Yang Maha Mulia, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).
Surah Al-‘Alaq adalah wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad pada tahun 610 Masehi. Turunnya lima ayat pertama surah ini merupakan titik awal dari perjalanan wahyu ilahi yang berlangsung selama 23 tahun. Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca dan mengajarkan pengetahuan dari Allah sebagai penegasan akidah Islam (Darwazah, 2009: 316).
Ayat ini mengandung pesan fundamental tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam Islam. Dalam konteks historis, penerimaan wahyu ini terjadi pada saat masyarakat Mekkah hidup dalam kegelapan spiritual dan moral. Masyarakat Arab pada waktu itu sebagian besar tidak mengenal konsep Tuhan yang Maha Esa dan terjerat dalam praktik-praktik jahiliyah (Al-Jabiri, 2008: 192).
Dengan menekankan pada ilmu pengetahuan dan penciptaan, wahyu ini menjadi landasan awal bagi pembaharuan spiritual dan sosial yang akan diusung oleh Islam. Penelusuran historisitas ini mengajak pembaca merasakan langsung respon al-Quran terhadap perjalanan dakwah Nabi Muhammad yang baru saja dimulai (Wijaya, 2016: 129).
Setelah Surah Al-Alaq, wahyu-wahyu berikutnya datang sebagai bagian dari fase awal dakwah Islam. Surah Al-Muzzammil (73) dan Al-Muddatsir (74) merupakan bagian wahyu penting yang memberikan petunjuk kepada Nabi Muhammad untuk melanjutkan misinya dalam menyebarkan Islam.
Pertama, surah Al-Muzzammil, yang berarti orang yang berkelumun merupakan wahyu ketiga yang diterima setelah Surah Al-Alaq (Baidan, 2018: 28). Wahyu ini berisi perintah kepada Nabi Muhammad untuk melaksanakan ibadah malam dan membaca al-Qur’an sebagai bentuk persiapan spiritual sebelum menyebarkan ajaran Islam secara luas.
Wahai orang yang berkelumun (Nabi Muhammad), bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil” (QS. Al-Muzzammil [73]: 1-2).
Surah ini mencerminkan periode awal dakwah Nabi Muhammad untuk memperkuat keimanan dan kesabaran melalui ibadah dan doa malam, serta menyiapkan dirinya untuk tugas dakwah yang berat. Konteks historis di sini adalah tantangan internal dan eksternal yang dihadapi Nabi, serta kebutuhan untuk membangun kekuatan spiritual sebelum menghadapi penolakan masyarakat Quraisy (Darwazah, 2009: 315).
Kedua, surah Al-Muddatsir, berarti orang yang berselimut. Surah ini merupakan wahyu keempat Nabi Muhammad yang turun setelah surah Al-Muzzammil (Baidan, 2018: 28) yang mendapat perintah untuk bangkit dari tidur dan mulai menyebarkan pesan Islam. Di samping itu, juga menguatkan misi Nabi Muhammad dan mempersiapkannya untuk menghadapi tantangan berat di depan.
Wahai orang yang berselimut (Nabi Muhammad), bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS. Al-Muddatsir [74]: 1-2).
Dalam surah ini mengandung ancaman terhadap orang-orang yang menolak ajaran Islam dan tantangan yang akan dihadapi Nabi Muhammad. Konteks historis dari wahyu ini adalah masa-masa awal dakwah ketika Nabi menghadapi perlawanan keras dari masyarakat Quraisy yang menolak dakwah Islam.
Perubahan Konteks dan Perkembangan Masyarakat Seiring Waktu
Awalnya, wahyu fokus pada penguatan iman dan persiapan mental Nabi Muhammad serta pengikutnya. Dengan berjalannya waktu, wahyu yang diterima Nabi Muhammad menanggapi berbagai perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam. Setelah periode awal dakwah, wahyu-wahyu kemudian mulai memberikan petunjuk yang lebih spesifik mengenai hukum, etika, dan aturan sosial.
Seiring dengan berkembangnya umat Islam dan meningkatnya konflik dengan masyarakat Quraisy, wahyu-wahyu kemudian berisi peraturan tentang hubungan sosial, hukum perang, dan etika. Misalnya, Surah Al-Anfal (8) dan Surah Al-Taubah (9), yang turun setelah Perang Badar, memberikan panduan tentang hukum perang dan etika perjanjian.
Perubahan juga terjadi pada situasi sosial dan politik dalam sejarah Islam, seperti Hijrah ke Madinah, perjanjian Hudaibiyah, dan Perang Uhud, mempengaruhi wahyu yang diterima. Wahyu yang turun belakangan sering kali memberikan penjelasan dan penyempurnaan terhadap hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, serta menanggapi situasi baru yang dihadapi umat Islam.
Perkembangan Hukum dan Ajaran
Perkembangan hukum dan ajaran dalam al-Qur’an mencerminkan proses evolusi yang dinamis dan responsif terhadap kebutuhan umat Islam. Dari hukum awal yang mendasari prinsip keimanan dan moral, hukum pertengahan yang mengatur aspek sosial dan ekonomi, hingga hukum akhir yang menegaskan bahwa al-Qur’an telah beradaptasi untuk memenuhi tantangan dan perubahan zaman.
Dalam memahami perkembangan ini, perluasan wawasan tentang bagaimana ajaran Islam diterapkan dalam praktik dan bagaimana hukum tersebut berkontribusi pada pembentukan masyarakat yang adil dan sejahtera. Berikut adalah pembagian pengembangan tiga hukum berdasarkan periode wahyu:
Hukum awal. Pada awal masa kenabian, wahyu yang diterima lebih banyak berfokus pada prinsip-prinsip dasar iman dan etika sosial. Hukum awal ini bertujuan untuk membangun fondasi moral dan spiritual bagi masyarakat Muslim yang baru lahir.
Contohnya adalah surah Al-Mu’minun (23) yang berada pada urutan ke-74 dalam susunan mushaf kronologis. Surah ini tidak secara eksplisit menjelaskan hukum, namun pada sebelas ayat pertama menggarisbawahi karakteristik orang-orang beriman yang mencakup tata cara ibadah, etika, dan moralitas. Ini membentuk basis awal dari prinsip hukum Islam yang akan dikembangkan berurutan.
Hukum pertengahan. Saat umat Islam mulai berkembang dan menghadapi berbagai tantangan sosial dan politik, hukum yang diterima dalam wahyu pertengahan mencakup aspek yang lebih spesifik terkait kehidupan sosial, perdagangan, dan interaksi sosial (Aksin Wijaya, 2016: 492-500).
Selanjutnya hukum akhir. Pada periode akhir kenabian, wahyu yang diterima lebih banyak berfokus pada penyempurnaan hukum dan penegasan prinsip hukum yang telah ada. Hukum ini sering kali merupakan respons terhadap situasi konkret yang dihadapi oleh umat Islam pada masa itu (Aksin Wijaya, 2016: 129).
Satu contoh nyata perkembangan hukum dan ajaran ialah pentahapan hukum khamr. Tahap pertama ialah surah al-Nahl (16) ayat 67 yang berisi peringatan larangan khamr. Ayat ini membedakan antara sakaran dan rizqan hasanan. Bahwa antara sesuatu yang memabukkan tidak termasuk rezeki yang baik. Tahap selanjutnya ialah surah al-Baqarah (2) ayat 219 yang membandingkan manfaat dan bahayanya.
Berikutnya adalah tahap pembelajaran untuk tidak meminum khamr sebelum shalat dalam surah al-Nisa [4] ayat 43. Dan puncaknya pada surah al-Maidah [5] ayat 90 sebagai larangan untuk menjauhi khamr.
Implikasi dan Urgensi Menafsirkan Ayat dengan Memahami Urutan Wahyu
Perjalanan kehidupan kenabian Muhammad biasanya dilihat dari perspektif sejarah, tapi tidak dengan Darwazah. Ia menggunakan al-Qur’an dan tafsir nuzu>linya untuk menafsirkan sejarah kenabian Muhammad. Hasilnya ditemukan bukti logis dan faktual bahwa al-Qur’an dan sejarah kenabian saling berhubungan dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Lebih jauh, relasi antara historisitas al-Qur’an dan kenabian menurut Darwazah terbagi dalam tiga kategori. Pertama, penafsiran al-Qur’an mengenai pribadi Muhammad (pra kenabian), kedua, penafsiran al-Qur’an antara Nabi Muhammad dengan Allah serta lingkungan (latar belakang Nabi), dan ketiga, penafsiran al-Qur’an pada masa kenabian Muhammad fase Mekah dan Madinah (Aksin Wijaya, 2016: 131).
Urutan wahyu dan konteks historis memainkan peran krusial dalam memahami proses pembelajaran al-Qur’an secara bertahap. Ada dua alasan urgensi memahami sejarah urutan wahyu; pertama, menggali informasi historisitas Nabi sebagai penerima wahyu (si>rah nabawiyah) dan kedua, konteks sejarah pewahyuan al-Qur’an (Ingrid Mattson, 2013: 47).
Mengakhiri tulisan ini, berikut beberapa urgensi yang bisa disimpulkan:
Ayat-ayat yang diturunkan pada periode awal dakwah sering kali berbeda dalam konteks dan tema dibandingkan dengan ayat-ayat yang diturunkan setelahnya hingga akhir. Mengetahui kapan sebuah ayat diturunkan dapat membantu menilai konteks sosial dan historis yang mempengaruhi maknanya.
Al-Qur’an menunjukkan perkembangan dalam hukum dan ajaran seiring berjalannya waktu. Ayat-ayat yang lebih awal berisi prinsip dasar, sementara ayat-ayat yang lebih akhir mengandung penjelasan atau pembaharuan dari hukum yang telah ditetapkan.
REFERENSI
Armainingsih (2013) Eksklusifitas Penafsiran Berbasis Kronologi. Ciputat: Mazhab Ciputat.
Baidan, Nashruddin. (2018) Konsepsi Taqwa Perspektif al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Darwazah, M. Izzat. (2009) al-Tafsi>r al-Hadi>ts Tarti>b al-Suwar Hasba al-Nuzu>l. Juz 1. Beirut: Dar al-Garb al-Islami.
Ingrid Mattson (2013) Ulumul Qur’an Zaman kita. Jakarta: Zaman.
Al-Jabiri, M. Abid. (2006) Al-Madkhal Ila al-Qur’a>n al-Kari>m: al-Juz al-Awwal fi al-Ta’ri>f bi al-Qur’a>n. Juz 1. Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah.
——– (2008) Fahm al-Qur’an al-Hakim: al-Tafsir al-Wadih Hasba Tartib al-Nuzul. Juz 1. Maroko: al-Dar al-Baidha.
Saeed, Abdullah. (2016) Al-Qur’an Abad 21. Bandung: Mizan.
Sahin, A. Shabur. (2007) Ta>ri>kh al-Qur’a>n. Mesir: Nahdhah Misri.
al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn. (2012) Al-Itqa>n fi ’Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Wijaya, Aksin. (2016) Sejarah Kenabian. Bandung: Mizan.
Zaid, Nasr Hamid Abu. (2001) Tekstualitas al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS.
Al-Zarqani, M. A. A. (2010) Mana>hil al-Irfa>n fi ’Ulu>m al-Qur’a>n. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.