Bermula dari Rasa Kagum
Bagi manusia, dunia sekeliling yang berisikan berbagai macam makhuk hidup, matahari, bulan, planet-planet, bintang-bintang, cuaca, gempa bumi, hingga gerhana menciptakan rasa heran sekaligus kagum dan mungkin juga takut. Sejak itu, manusia mencari jawaban atas semua itu, bukan jawaban dari mitologi, tetapi sesuatu yang lebih memuaskan rasa ingin tahu. Filsafat lahir dari kenyataan itu. (Buckingham: 2011, 13)
Plato mengeksplisitkan bahwa filsafat dan pengetahuan memang dimulai dengan rasa kagum. (Hadi: 1994, 16). Ungkapan lain dari itu adalah rasa heran atau mungkin rasa terkesima. Rasa kagum bukan rasa ingin tahu. Rasa kagum jauh lebih dahulu daripada rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu lebih berarti misalnya seseorang melihat sebuah perangkat canggih lalu penasaran bagaimana perangkat tersebut bekerja. Rasa ingin tahu tidak pada semua orang ada. Ia hanya ada pada orang yang sebelumnya sudah memiliki pengetahuan yang hendak melanjutkan pengetahuannya. Rasa kagum dimiliki oleh semua orang dan biasanya terhadap hal-hal yang tampak sederhana. Rasa kagum membuat yang sederhana itu menjadi mengagumkan dan tidak sesederhana penampakannya.
Rasa kagum lalu memberikan semacam rasa tahu terhadap sesuatu. Setelah rasa tahu itulah muncul rasa ingin tahu. Jadi, rasa ingin tahu tidak terjadi karena seseorang sama sekali tidak tahu, justru karena ada pengetahuan awal yang memicu rasa ingin tahu karena tidak mungkin rasa ingin tahu muncul jika sama sekali tidak ada rasa tahu sebelumnya. Misalnya, tidak akan ada rasa ingin tahu seseorang terhadap Gunung Merapi jika tidak pernah tahu tentang Gunung Merapi, paling tidak lewat mendengarnya, melihatnya dalam gambar, dan lain-lain.
Rasa tahu adalah semacam “pengetahuan umum setiap orang” tentang suatu hal; sedangkan rasa ingin tahu adalah menganggap diri tidak “setahu setiap orang” sehingga seakan-akan orang yang memiliki rasa ingin tahu merasa tidak mengetahui apa-apa tentang hal tersebut atau menganggap pengetahuannya selama ini tidak lengkap atau bahkan tidak benar sama sekali. Rasa kagum menggerakkan rasa ingin tahu tersebut untuk berhadapan dengan suatu hal yang di satu sisi menyembulkan diri untuk diketahui tetapi di sisi lain menyembunyikan dirinya untuk diketahui lebih lanjut.
Rasa ingin tahu bisa saja bernilai saintifik dan bisa pula filosofis. Jika bernilai saintifik, maka rasa ingin tahu merupakan usaha untuk menemukan seperangkat jawaban yang dirangkai menjadi rumusan-rumusan tertentu. Adapun jika bernilai filosofis, maka rasa ingin tahu membawa masuk kepada suatu hal sebagai kesadaran baru terhadap hal tersebut, kesadaran yang keluar dari “pengetahuan umum setiap orang” tanpa kehilangan rasa kagum terhadap hal itu. Bedanya, rasa ingin tahu saintifik menghilangkan rasa kagum dan rasa ingin tahu filosofis mempertahankan rasa kagum.
Dari Rasa Kagum ke Epistemologi
Pengetahuan tentang sesuatu terdiri dari dua hal, yaitu pengetahuan itu sendiri dan sesuatu itu sendiri. Keduanya tidak sama dan tidak terpisahkan. Sesuatu dibicarakan lewat pengetahuan terhadapnya, namun pembicaraan tidak hanya tentang sesuatu tersebut tetapi juga tentang pengetahuan tentang sesuatu itu. Pembicaraan tentang pengetahuan tentang sesuatu itulah yang disebut epistemologi.
Rasa kagum terhadap sesuatu memang melahirkan pengetahuan tentang sesuatu itu sendiri tetapi filsafat tidak hanya berbicara tentang sesuatu itu sendiri tetapi juga tentang pengetahuan terhadap pengetahuan terhadap sesuatu tersebut. Dalam hal itu juga ada rasa kagum tersendiri sehingga melahirkan berbagai macam pertanyaan seperti: bagaimana manusia bisa mengetahui? Bagaimana manusia bisa mempertanyakan sesuatu? Mungkinkah pengetahuan bisa disebut benar? Bagaimana jika ternyata pengetahuan tidak sama dengan kenyataan? Apakah pengetahuan bersifat universal dan absolut atau temporal dan lokalitas? Bisakah sesuatu diketahui hingga hakikatnya atau hanya sampai pada penampakannya? Apakah ada batas-batas bagi pengetahuan? Jadi, epistemologi tidak hanya memahami bagaimana sebuah pengetahuan bisa hadir tetapi juga bisa sampai kepada memverifikasi mana pengetahuan yang benar dan mana yang tidak benar hingga menghilangkan keraguan terhadap pengetahuan.
Epistemologi itu sendiri telah mengandaikan bahwa ada pengetahuan yang benar tentang sesuatu hal, meskipun juga mengandaikan ada pengetahuan yang keliru. Namun ada sebuah warna di dalam epistemologi yang lebih mengedepankan pengetahuan yang keliru daripada yang benar dan sampai kepada kesimpulan bahwa pengetahuan pastilah tidak pernah benar atau paling tidak tidak mampu sampai kepada pengetahuan yang sejati. Sebutlah itu sebagai skeptisisme.
Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya bahwa asal dari pengetahuan rasa kagum yang berubah menjadi rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu sesungguhnya adalah pengakuan terhadap adanya ketidaktahuan dan juga keraguan terhadap pengetahuan yang sebelumnya sudah ada atau diketahui oleh semua orang. Pada hal itu, skeptisisme memiliki tempatnya. Memang, pengetahuan selalu menempel dengan keraguan. Setiap pengetahuan memang harus dibenturkan dengan kenyataan untuk menguji validitasnya. Pengetahuan juga harus bersedia menerima kebenaran yang berbeda dengan dirinya dan mengakui jika akhirnya terbukti dia salah dan harus diganti dengan kebenaran lain.
Skeptisisme juga mengingatkan adanya keterbatasan manusia, termasuk keterbatasan pengetahuannya dan keyakinannya. Maksud dari keterbatasan pengetahuan dan keyakinan adalah bahwa manusia memiliki pengetahuan tetapi selalu ada kemungkinan pengetahuannya tidak benar. Misalnya, manusia meyakini sesuatu, tetapi selalu ada dua kemungkinan yaitu keyakinannya benar dan keyakinannya keliru. Jika benar, maka itu hanya kebetulan. Jika kebetulan, maka tidak ada bedanya antara keyakinan yang keliru dengan keyakinan yang kebetulan benar karena sama-sama bukan pengetahuan bagi pemilik keyakinan itu. Di antara keyakinan dan pengetahuan itulah ada skeptisisme, keraguan. (Papineau: 2017, 84)
Pengetahuan manusia yang senantiasa berkembang menjadi bukti bahwa pengetahuan manusia terbatas dan kerena itu, berkembang. Berkembang berarti pengetahuan manusia tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu sehingga pengetahuan manusia sampai pada titik tertentu dan melangkah ke titik lain di waktu dan ruang yang berbeda di masa datang.
Skeptisisme mulai kehilangan tempat ketika tujuannya berakhir kepada segala sesuatu hingga kebenaran benar-benar tidak ada sehingga skeptisisme sendiri kehilangan pijakan kebenaran yang membuatnya menjadi tidak benar. Skeptisisme juga kehilangan tempat ketika meragukan segala landasan bagi berdirinya kebenaran karena itu berarti skeptisisme meragukan landasan bagi dirinya sendiri untuk menyatakan dirinya benar. Saat skeptisisme meragukan segala hal, paling tidak dia tidak sedang meragukan dirinya sendiri dan saat itulah dia tidak lagi skeptis.
Keberadaan manusia adalah keberadaan yang terbatas dan dari sanalah keraguan berasal. Keberadaan manusia hadir bersama ketiadaan. Saat manusia mengaku ada, maka saat itu pula muncul keraguan bahwa jangan-jangan dia tidak benar-benar ada dan kalaupun ada, maka mungkin ada dalam mimpi atau ada yang tidak sejati karena dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Keberadaan manusia yang dihantui oleh ketiadaan terbukti dengan peranan kematian, waktu, perpisahan, kesepian, kegagalan, pertentangan terhadap kehendak, dosa, keputusasaan, dan lain-lain. (Hadi: 1994, 22) Semua itu membuat manusia seperti berada di wilayah antara ada dan tiada.
Pada wilayah antara ada dan tiada sebagaimana disebutkan di atas itulah pengetahuan manusia hadir. Manusia menggantungkan beradanya pada pengetahuan yang tidak pernah henti dihantui oleh ketiadaan. Karena itulah, keberadaan manusia tidak pernah selesai; selalu dalam masa pembentukan yang diancam oleh kehancuran. Eksistensi manusia selalu berada di dalam pertanyaan, pertanyaan terhadap eksistensinya yang justru merupakan pertanyaan yang diajukan oleh manusia sendiri.
Setiap manusia mencapai sebuah pengetahuan, maka saat itu dia menemukan dirinya, namun sejak saat itu pula, pertanyaan datang menyergap dan menggugat pengetahuan yang telah dicapai, lalu semua berantakan. Namun, pengetahuan kembali datang setelah pertanyaan dan manusia kembali memenuhi dirinya. Jadi, pemenuhan diri manusia senantiasa terjadi sebagaimana kehancurannya juga tidak pernah henti terjadi.
David Hume berkata bahwa sering terjadi pengetahuan manusia tidak menggambarkan dunia sesungguhnya, tetapi lebih merupakan relasi antara satu ide dengan ide lainnya. Karena itulah dibutuhkan pengalaman untuk menyulam semua ide-ide tersebut agar solid. Meski demikian, pekerjaan belum selesai. Memang pengetahuan memberikan beberapa kepastian tentang kenyataan dunia, tetapi selalu saja ada celah pengetahuan tersebut keliru hingga memerlukan pembuktian lanjutan. (Tim DK: 2019, 64)[]
Bahan Bacaan
Buckingham, Will, The Philosophy Book: Big Ideas Simply Explained, New York: DK Publishing, 2011.
Hadi, P. Hardono, Epistemologi: Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Papineau, David, Philosophy: Theories and Great Thinkers, New York: Shelter Harbor Press, 2017.
Tim DK, How Philosophy Works: The Concepts Visually Explained, New York: DK Publishing, 2019.