Pertanyaan paling dasar tentang hubungan Tuhan-manusia adalah ‘apakah Tuhan benar-benar percaya kepada manusia?’, Jika iya, berbagai ayat dalam kitab suci—sebagai rujukan otoritatif keagamaan—menunjukkan ‘keraguan’ Tuhan. Jika tidak, lalu mengapa manusia diberi kuasa lebih dari entitas selainnya?
Beberapa ayat dan konsep dalam Al-Qur’an seringkali mengarah pada pandangan antroposentris sekaligus perspektif yang menunjukkan tanggungjawab manusia atas alam. Tak ayal, ayat-ayat tersebut kemudian hadir dalam kacamata yang ‘saling bertentangan’.
Pada satu sisi mendukung dengan penuh kehadiran manusia sebagai penguasa tunggal, subyek juga obyek, di muka bumi. Selama suatu perbuatan mendatangkan keuntungan bagi manusia, maka sah dilakukan.
Di sisi lain, ayat yang persis sama, atau setidaknya masih dalam perikop yang satu, hadir untuk menjelaskan paham yang sebaliknya. Bahwa, pengaruh kekuatan manusia yang dirasa akan mengarah kepada kekuasaan yang destruktif dan kehadiran manusia lah penyebab rusaknya bumi saat ini. Sehingga menempatkan manusia sebagai subyek dan obyek tidaklah tepat.
Dalam penjelasan Bazerman dan Hoffman, kerusakan lingkungan yang terjadi adalah sebab perbuatan manusia yang bersumber dari tiga tingkatan; individual, organizational, dan institutional. (Bazerman & Hoffman, 1999: 6)
Perusakan yang menurutnya sangat terstruktur dan saling berkaitan tersebut senada dan sekali lalu mengafirmasi ‘protes’ malaikat kepada Tuhan tentang penentuan manusia sebagai khalifah fil ardl (Q.S. al-Baqarah [2]: 30). Malaikat mengetahui lebih dulu tentang potensi destruktif manusia terhadap ekosistem alam.
Akan tetapi, penetapan manusia sebagai penguasa tunggal tidak juga bisa dilepaskan dari petunjuk yang ada pada ayat yang sama dan satu ayat sebelumnya. Tuhan mengatakan Dialah yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu (Q.S. 2:29) dan Aku hendak menjadikan khalifah di bumi (Q.S. 2:30).
Tulisan pendek ini akan mengulas secara singkat tentang bagaimana pandangan al-Qur’an dalam menempatkan manusia sebagai salah satu entitas yang ada di muka bumi. Benarkah manusia memiliki hak sebebas-bebasnya dalam mengelola? Atau justru ‘kekuasaan’ tersebut di-salaharti-kan dan di-salahpraktik-an?
Memahami Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah ideologi sekaligus praktik, baik secara sadar maupun tidak sadar, yang mempertimbangkan eksistensi dan kepentingan manusia sebagai tujuan utama dari keseluruhan eksistensi.
Tujuan dari ideologi ini adalah untuk memungkinkan manusia memberlakukan rasa keteraturan dan makna pada dunia, serta memberikan identitas individu dan kolektif kepada umat manusia.
Goralnik, menyebut antroposentrisme sebagai human-centered, atau secara harfiah berarti berpusat pada manusia. Tetapi sejatinya, antroposentrisme adalah keyakinan etis (ethical belief) bahwa hanya manusia yang memiliki nilai intrinsik.
Sebaliknya, makhluk selain manusia hanya hadir untuk mengeluarkan potensi maksimalnya dalam menghargai intrinsic value manusia, sekaligus memenuhi kebutuhan sebagai pelayan (to serve humans). (Goralnik dan Nelson, 2012: 145)
Aristoteles, menempatkan manusia di puncak hierarki alam. Dalam “De Anima”, Aristoteles menyebutkan bahwa jiwa manusia memiliki tiga fungsi: vegetatif (pertumbuhan dan reproduksi), sensitif (persepsi dan gerakan), dan rasional (pemikiran dan penalaran).
Fungsi ketiga, rasionalitas, adalah fungsi jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lain sekaligus menempatkannya berada di puncak hierarki. Aristoteles menekankan bahwa manusia harus menggunakan rasionalitas mereka untuk mengelola dunia fisik, memimpin, dan mengendalikan makhluk lain berdasarkan kapasitas rasional mereka.
Akan tetapi demikian, paham antroposentrisme disebut sebagai hambatan terhadap pembangunan berkelanjutan karena mempromosikan dualisme, hierarki, dan keyakinan bahwa manusia terpisah dari alam.
Pemisahan mental dan fisik ini memungkinkan manusia merasa tidak memiliki hubungan dengan alam, dan telah berkontribusi pada gagasan bahwa biosfer ada untuk konsumsi manusia. Selain itu, gagasan bahwa non-manusia hanya memiliki nilai sejauh manusia memberikan nilai tersebut merupakan dasar fundamental dari pemikiran antroposentris (Alan dan Arlete, 2024: 3-4)
Manusia sebagai khalifah, khalifah fil ardl, dan khalifatullah
Pada surat al-Baqarah [2]: 30, Tuhan berfirman:
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” …
Kata khalifah (خليفة) berasal dari kata kh-l-f (خلف) yang berarti menggantikan, mengambil tempat, atau merubah. Kata kh-l-f jika disandingkan dengan kata lain, seperti rabb (رب)—yang bermakna tuan atau Tuhan—dapat memberikan pemaknaan yang lebih spesifik, yakni pergantian dengan tujuan yang lebih baik dari pada yang digantikan. (Ibnu Manzhur, 1414 H: j. 9, h. 85).
Ibnu Faris menegaskan bahwa penggunaan kata kh-l-f dalam bentuk kata kerja (fi’l) maupun kata benda (ism) mengindikasikan bahwa subyek pengganti tersebut tidak berdiri sendiri dan ada obyek yang digantikan sebelumnya. (Ibnu Faris, 1979: j. 2, h. 210.)
Sementara kata khalifah adalah berarti pengganti atau orang yang menggantikan, dan merupakan bentuk derivatif dari kh-l-f yang mengikuti kaidah bentuk kalimat فعيل (fa’iil) dengan tambahan ta’ marbuthah untuk menunjukkan makna pleonastis.
Lalu siapa yang digantikan? Jika dipahami secara leterlek, adanya konsep ‘khalifatullah’ (pengganti Allah) memberikan pemahaman bahwa yang ‘digantikan’ adalah Allah. Tetapi, pemahaman seperti itu tentu akan ditentang dengan keras. Tidak ada yang bisa menggantikan-Nya.
Maka, untuk menjawabnya ada dua pendapat. Pendapat pertama disampaikan oleh Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf yang menyebutkan bahwa penghuni bumi sebelum manusia adalah malaikat. Sehingga kehadiran manusia adalah sebagai pengganti dari eksistensi malaikat.
Selain itu, menurutnya, kalimat khalifatullah fil ardl bukanlah penyandaran kata khalifah dengan Dzat Allah. Karena Dzat Allah tidak mungkin tergantikan. (al-Zamakhsyari, 1407 H: j. 1, h. 124)
Pendapat kedua merujuk kepada argumentasi Fakhruddin al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Al-Razi menjabarkan bahwa benar yang digantikan adalah Allah, akan tetapi penyandaran kata khalifah pada khalifatullah tidak dalam makna hakikat (haqiqatul-khilafah mumtani’atun fi haqqillah).
Penyandaran lafal Allah dimaksudkan dalam pemaknaan peran dan fungsi manusia sebagai pelaksana dalam menegakkan hukum Allah (nafadzul-hukmi) dalam hal pengelolaan bumi. (al-Razi, 1420 H: j. 26, h. 386)
Fahruddin Faiz dalam salah satu seri “Ngaji Filsafat”-nya menyampaikan bahwa khalifatullah bukan dalam arti mewakili Tuhan sebagai penguasa bumi. Ini berdasarkan dua hal. Pertama, Tuhan selalu ada di sekitar manusia dan tidak perlu diwakilkan. Kedua, kata ‘mewakili’ mengindikasikan ‘ketidakhadiran’ Tuhan dan mencukupkan ‘kehadiran’ manusia sebagai wakil Tuhan.
Mengutip Ibnu Arabi, Fahruddin menjelaskan bahwa manusia merupakan ‘pengganti’ Tuhan karena kedekatan sifat-sifat manusia dengan sifat-sifat ketuhanan. Sebab itu, takhallaq bi akhlaqillah merupakan bentuk tanggungjawab aplikatif bagi manusia sebagai representasi sifat-sifat Tuhan.
Khalifatullah: Antoposentris vis a vis Post-antroposentris
Pandangan antroposentrisme bukan merupakan hal yang baru. Bahkan, jika merujuk kepada firman Tuhan pada al-Baqarah [2]: 29, ayat tersebut sangat mengamini pandangan bahwa manusia adalah pusat segalanya. Dia dengan tegas mengatakan:
Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dengan begitu, boleh saja jika mengatakan bahwa antroposentrisme merupakan pandangan yang wajar, untuk tidak mengatakannya sebagai hal yang sepenuhnya buruk dan/atau dianjurkan. Hal ini bukan semata karena ayat Tuhan mengamini konsep tersebut, tetapi juga karena potensi progresif yang hanya dimilki manusia dibanding makhluk hidup lainnya.
Menempatkan antroposentrisme sebagai pandangan tidak secara inheren buruk atau merusak, tetapi interpretasi dan penerapannya dapat memiliki konsekuensi yang negatif dan destruktif jika tidak disertai dengan kesadaran etis dan tanggung jawab terhadap alam dan makhluk hidup lainnya.
Beberapa potensi negatif yang bisa ditimbulkan, dan bisa dikatakan sudah terjadi, adalah eksploitasi alam, pengabaian hak makhluk lain, dan ketidak seimbangan ekologi. Jika antroposentrisme dibiarkan berjalan sendiri, maka dampak buruk lainnya bukan tidak mungkin akan terus berkembang.
Salah satu paradigma yang sejalan dengan konsep khilafah yang proporsional adalah post-antroposentrisme (post-anthropocentrism), yakni gagasan yang menantang antroposentrisme dan mengusulkan perspektif yang lebih holistik.
Bagi post-antroposentrisme, manusia hanyalah satu bagian dari jaringan kehidupan yang lebih luas dan harus merangkul semua makhluk hidup (living) dan benda mati (non-living) sebagai saling berhubungan dalam affectionate ties (ikatan penuh kasih). (Pease and Bozalek, 2021: h. 221)
Dengan paradigma berpikir post-antroposentrisme, kedudukan manusia sebagai khalifah tidak lagi berarti dominasi atas alam, melainkan tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi alam sebagai amanah dari Allah.
Alam tidak hanya diciptakan untuk kepentingan manusia tetapi juga sebagai bagian dari tanda-tanda yang mengarahkan manusia untuk mengenali keagungan dan kebesaran Allah (Q.S. 2:164, Q.S. 6:99). Dalam pandangan ini, manusia tidak boleh memandang alam hanya sebagai objek yang bisa dieksploitasi, melainkan harus menghormatinya sebagai bagian dari ciptaan Allah.
Dalam ayat lain, disebutkan bahwa seluruh makhluk di alam semesta ber-tasbih (memuji Allah) dengan caranya sendiri (Q.S. 17:44). Itu menunjukkan bahwa semua makhluk, baik yang bernyawa maupun yang tidak, memiliki nilai spiritual dan fungsi dalam ekosistem. Kesadaran akan adanya tasbih alam ini harusnya mampu mendorong manusia untuk menghormati dan hidup berdampingan dengan alam secara lebih bertanggung jawab.
Poinnya adalah, di dalam menyadari jabatan khalifah yang diemban oleh manusia, perlu memahami beberapa hal; kesetaraan antara manusia dan makhluk lain, keterhubungan dalam ekosistem, penolakan terhadap eksploitasi alam, dan penghargaan terhadap agensi non-manusia. Pengakuan terhadap entitas selain manusia merupakan kunci dari ‘hak’ tertentu yang harus dihargai.
Maka, sekarang, pertanyaan paling dasar tersebut berubah menjadi pertanyaan pamungkas: ‘apakah Tuhan benar-benar percaya kepada manusia?’
Referensi
de Lima, Alan Freire dan Arlete Freire de Lima. 2024. “Anthropology, Anthropocentrism and Anthropocene: From the Anthropocene towards Anthropous Humanism and Environmentalist Anthropology”, dalam jurnal Revista de Gestao Social e Ambiental, v. 18, n. 1.
Faris, Ibnu. 1979. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr. j. 2.
Goralnik, L. dan M. P. Nelson. 2012. “Anthropocentrism” dalam Encyclopedia of Applied Ethics. Amsterdam: Elsevier Inc.
Bazerman, Max H. dan Andrew J. Hoffman. February 2000. “Sources of Environmentally Destructive Behavior: Individual, Organizational and Institutional Perspectives” dalam Research in Organizational Behavior, 21, Michigan: University of Michigan.
Manzhur, Ibnu. 1414 H. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar al-Shadir., j. 9.
Az-Zamakhsyari. 1407 H. al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidl al-Tanzil. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiy. j. 1.
Ar-Rozy, Fakhruddin. 1420 H. Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. j. 26.
Bozalek, Vivien dan Bob Pease. 2021. Post-Anthropocentric Social Work: critical posthuman and new materialist perspectives. New York: Routledge.